Harga kedelai kembali meningkat pada tiga
atau empat bulan terakhir ini, harga kedelai meningkat dari Rp 5.500 per kg
menjadi Rp 8.000-10.000 per kg.
Hal ini karena harga kedelai impor naik.
Pertama, rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS saat ini, Rp 12.000 per
dolar AS. Kedua, karena produksi di negara produsen AS tahun tahun ini
menurun 16 juta bushel menjadi 3,26 miliar bushel.
Indonesia sampai saat ini masih mengimpor
kedelai 1,3 juta ton, 1,2 juta ton (92 persen) total impor berasal dari AS
dan sisanya dari Argentina. Harga kedelai impor pada Juli 2013 yakni US
13,3525 per bushel (1 bushel = 35,24 liter, atau harga kedelai impor di
tingkat pedagang saat ini pada kisaran Rp 9.000 per kg.
Kenaikan harga kedelai ini tentu menyulitkan
perajin tahu-tempe dan masyarakat karena akan menaikkan harga jual, padahal
daya beli masyarakat masih lemah.
Bagi petani, hal ini menjadi suatu
rangsangan untuk berproduksi. Produksi kedelai Indonesia tahun 2012
berjumlah 783.000 ton turun 8 persen dibandingkan tahun 2011 yakni 851.000
ton. Ini disebabkan penurunan luas tanam akibat kemarau panjang.
Total kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta
ton. Pada 2012 Indonesia mengimpor kedelai sekitar 1,4 2 juta ton. Pada
2013 luas tanam kedelai hasil ARAM BPS produksi kedelai nasional turun 4
persen akibat kemarau di sebagian wilayah Indonesia. Produsen utama kedelai
di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur (36 persen), Jawa Tengah (18
persen), NTB (10 persen), dan Aceh (6,5 persen).
Target swasembada kedelai 2014 seperti yang
dicanangkan jauh dari harapan, dan target itu memang tidak tercapai.
Penyebab utamanya, harga kedelai selama ini memang sangat rendah, jauh dari
harga ekspetasi petani.
Membudidayakan kedelai kurang disukai petani
karena kurang menguntungkan. Bagi petani, lebih baik menanam padi gogo
dengan harga jual Rp 3.700-4000 per kg, jagung dengan harga jual Rp 2.500
per kg, kacang hijau dengan harga jual Rp 10.000-11.000 per kg, atau kacang
tanah dengan harga Rp 10.000-11.000 per kg.
Hal ini yang dilakukan petani di
Banten. Sentra kedelai di Provinsi Banten terdapat di Kabupaten
Pandeglang (produsen terbesar) dan Kabupaten Lebak (kedua terbesar).
Produksi kedelai di Provinsi Banten pada 2013 meningkat 4 persen, berbeda
dengan provinsi lain yang sebagian mengalami penurunan.
Kenyataannya memang demikian, curah hujan
tinggi pada musim kemarau (MK) membuat petani banyak yang menanam kedelai
pada MK-II ini. Biasanya petani menanam tanaman lain seperti padi gogo atau
kacang hijau dan kacang tanah.
Angin Segar
Apa yang diinginkan petani ternyata sudah
disambut baik pemerintah. Dengan menetapkan Peraturan Harga Beli Petani
(PHBP), Permendag No.25/M-DAG/PER/6/2013 adalah Rp 7.000 per kg (Medan
Bisnis, 24 September 2013).
Hal ini merupakan angin segar bagi petani
dan diharapkan pada musim tanam (MT) mendatang, khususnya pada MK, luas
tanam kedelai diharapkan meningkat signifikan. Usaha melalui ekstensifikasi
dan intensisifikasi kedelai yang sudah dilakukan pemerintah akan dapat
terwujud dengan adanya HPP di atas.
Selama ini Kementerian Pertanian memang
telah memperkenalkan Varietas Unggul Baru (VUB), seperti Anjasmoro,
Grobogan, Baluran, dan Argomulyo. Varietas tersebut sebagian besar mendapat
respons positif dari petani, potensi hasilnya 2,0-3,0 ton per ha.
Hasil percontohan dengan luasan 2,5 ha yang
dilakukan tim penulis (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten) di
Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, mampu menghasilkan
produksi (panen ubinan) untuk Varitas Anjasmoro 3,04 ton pipilan kering per
ha untuk jarak tanam 40 x 20 cm2, dan 2,8 ton per ha untuk jarak tanam 40 x
20 cm2.
Varietas lainnya Argomulyo menghasilkan 2,0
ton per ha untuk jarak tanam 40 x 20 cm2 dan 1,9 ton per ha, untuk jarak
tanam 40 x 15 cm2. Juga dengan luas percontohan 2,5 ha di Kecamatan
Cigeulis Kabupaten Pandeglang dengan Varitas Anjamoro mampu menghasilkan
2,08 ton per ha, untuk jarak tanam 40 x 20 cm2, dan 1,92 ton untuk jarak
tanam 40 x 15 cm2.
Hal tersebut masih dilakukan dengan
Tanpa Olah Tanah (TOT). Jika dengan pengolahan tanah maka hasilnya akan
lebih tinggi, produktivitas 2,0-2,5 ton per ha bukan hal muluk-muluk,
bahkan dapat mencapai 2,25-2,75 ton per ha.
Teknologi yang diterapkan juga masih
sederhana dan relatif terjangkau petani. Hanya perlu penambahan kapur
pertanian (dolomit, Rhizobium, dan pupuk organik). Hasil rata-rata di
tingkat petani saat ini adalah 1,3 ton per ha per MT.
Jika dengan produksi 2,0 ton per ha dan
harga Rp 7.000 per kg, petani akan mendapat penerimaan Rp 14 juta per ha,
biaya kedelai sekitar Rp 4-5 juta per ha, masih ada keuntungan Rp 9-10 juta
per ha per tiga bulan.
Jadi, cukup menarik bagi petani. Jika
dibandingkan dengan padi gogo, dengan produksi 4 ton per ha dan harga Rp
3.700 per kg gabah kering panen akan mendapat penerimaan Rp 14,8 juta
relatif sama dengan kedelai.
Pengembangan kedelai juga dilakukan di
lahan-lahan Perhutani yang masih usia tanaman muda. Hal ini sudah dilakukan
di Kabupaten Pandeglang (sekitar 50.000 ha). Petani dapat menggarap kedelai
di lahan Perhutani tanpa dipungut biaya, bahkan dibantu pupuk oleh
Perhutani karena bermanfaat kepada tanaman jati atau mahoni yang dikelola
Perhutani.
Kelemahan tanaman kedelai adalah memiliki
hama penyakit relatif banyak, terutama sesudah masa primordia (pembungaan),
seperti ulat grayak, penggerek polong, penggerek batang, ulat daun, dan
kepik. Kedelai sebaiknya ditanam pada MK karena pada MH serangan hama
penyakit akan lebih tinggi dan tanaman kedelai sangat rentan terhadap
genangan atau banjir.
Konsumen utama kedelai adalah perajin tahu
tempe yang menyerap sekitar 50-60 persen supply kedelai. Saat ini perajin
tahu tempe sebagai konsumen utama kedelai berjumlah 115.000 di seluruh
Indonesia (Suara Pembaruan, 16-02-2011). Tingkat konsumsi rata-rata kedelai
di Indonesia adalah 8-9 kg per tahun.
Untuk tercapainya ekstensifikasi dan
intensifikasi ini, penyediaan benih bermutu sangat penting bagi kedelai,
karena ini yang menjadi salah satu kendala. Benih kedelai tidak
tersedia di pasar/kios tani seperti benih padi dan jagung.
Pasarnya bersifat monopoli dengan
penjual/penyedia tunggal Badan Litbang Pertanian Cq Balai Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian Malang atau Balai-balai benih (Balai Benih Induk/BBI milik
Dinas Pertanian Provinsi), dan Balai Benih Unggul (BBU) milik Dinas
Pertanian Kabupaten setempat.
Kualitas Benih
Dari pengalaman penulis, hal yang paling
utama untuk keberhasilan budi daya kedelai adalah benih bermutu dan sehat.
Untuk itu, memang harus ditumbuhkembangkan petani penangkar kedelai agar
ketersediaan benih lebih terjamin.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian,
dapat memberdayakan BBU di setiap kabupaten untuk memasarkan benih
bersertifkat kedelai. Bisa juga melalui Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) sebagai perpanjangan tangan Kementan di setiap provinsi.
Hal ini memang akan dilakukan pada 2014.
Ekstensifikasi lahan kedelai dapat pada
lahan sawah irigasi, atau pembukaan lahan baru. Kedelai dapat tumbuh mulai
dari lahan tanah yang kurang subur sampai subur. Jadi, rentang lahannya
tidak hanya di lahan irigasi, tapi juga dapat ditanam di lahan gambut,
lahan pasang surut, lahan kering, dan sebagainya.
Lahan-lahan yang belum termanfaatkan yang
berjumlah jutaan ha dapat dimanfaatkan untuk budi daya kedelai. Tapi paling
baik jika pemerintah cq Kementerian Pekerjaan Umum membangun jaringan
irigasi baru seluas-luasnya, dapat bermanfaat juga untuk meningkatkan
produksi padi, kedelai, jagung, dan tanaman lain.
Jika Indonesia ingin berswasembada kedelai
berarti perlu tambahan luas tanam 1 juta ha, dengan produktivitas eksisting
1,3 ton per ha, atau jika produktivitas ditingkatkan menjadi 2,0 ton per
ha, perlu tambahan luas tanam 0,65 juta ha. Luas tanam kedelai di Indonesia
saat ini 0,70 juta ha. Pola tanam padi- palawija (jagung atau kedelai)
sangat dianjurkan karena bermanfaat untuk memutus siklus hama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar