|
DALAM
perkembangan kota dan urbanisme di mana semua orang menuju, apakah yang kita
butuhkan? Inilah gagasan kota masa depan: mampu menampung ledakan penduduk
sekaligus menjadi lingkungan berkualitas.
Kita butuh
dekat dengan keluarga, teman, tempat sekolah, tempat kerja, dan lain-lain. Sisi
inilah yang paling disoroti dalam Oslo Architecture Triennale. Berlangsung di
Oslo, Norwegia, pekan terakhir September 2013, acara tiga tahunan dunia
arsitektur ini menampilkan kegiatan pameran, workshop, ceramah, dan
konferensi. Acara ini juga berkoinsidensi dengan acara-acara penting di kota
yang menyenangkan ini di musim gugur, antara lain, pameran besar memperingati
150 tahun pelukis Edvard Munch, yang lukisannya berjudul ”The Scream” menjadi
ikon seni rupa modern—semacam Monalisa di zamannya.
Meski ini
pameran arsitektur, jangan harap bakal menemukan contoh bangunan ”modern
minimalis” (?) seperti dijajakan para pengembang di televisi dan media kita.
Kalau istilah-istilah dari Marx dan kelompok-kelompok kiri baru atau new
left, banyak. Fokus seluruh kegiatan adalah keberlangsungan (sustainability)
kehidupan bersama. Di situlah hendak dicari keseimbangan, semacam persimpangan
di mana tiga hal bertemu, yakni ekologi, ekonomi, dan kesamaan (equity).
Contoh praktis,
misalnya, bagaimana lingkungan hunian yang mencakup itu semua terselenggara.
Melalui foto-foto dan teks dipamerkan sebuah hunian kolektif di pinggiran kota
Kopenhagen, Denmark. Terdiri dari 54 rumah, semuanya tersambung jadi rumah
panjang berbentuk melingkar. Di tengah adalah halaman luas mirip lapangan,
berfungsi sebagai tempat bermain, kebun, dan lain-lain. Ada dapur umum,
dilengkapi ruang makan besar. Kebersamaan sebagai komunitas inilah yang mereka
kembangkan.
”Alam itu
sebenarnya hukumnya bebrayatan,” kata Marco Kusumawijaya, arsitek
Indonesia dan Direktur Rujak Center for Urban Studies yang hadir di acara ini.
”Beberapa suku kita di Indonesia, kan, juga punya rumah panjang,” lanjutnya.
Pemikiran-pemikiran
alternatif inilah yang dikembangkan dalam triennale itu. Dalam kehidupan
kontemporer, seperti mereka contohkan, gerakan-gerakan di akhir tahun 1960-an
dan awal 1970-an banyak memberikan alternatif di bidang kebudayaan. Periode itu
menjadi semacam momen historis yang diam-diam memengaruhi pemikiran tentang
”keberlangsungan” dalam praktik arsitektur dan desain kontemporer serta
masyarakat secara luas.
Apa itu
gerakan-gerakan alternatif di bidang kebudayaan di tahun 1960-an/1970-an?
Antara lain tentu kehidupan komunal hippies pada waktu itu. Artefak-
artefak generasi masa itu masih bisa dijumpai saat ini, selain di dunia desain
dan arsitektur juga musik, fashion, dan lain-lain, sampai ke pemikiran
yang dikenal dengan counter culture.
Soal etik
Acara ini
menjadi ajang kritik bagi praktik dunia arsitektur sekarang, yang menurut para
partisipan dianggap telah terlalu didikte oleh modal. Pembicara yang amat tajam
menyoroti ini adalah Alfredo Brillembourg, pendiri Urban-Think Tank di Caracas,
Venezuela. Dia menjadi salah satu pembicara kunci dalam seminar bertema ”The
Future of Comfort”. Retorika-retorikanya memikat.
Sebagaimana
pembicara lain, ia mempertanyakan kemewahan-kemewahan pada zaman ini. Menurut
dia, arsitek sekarang harus beranjak dari sekadar membikin gedung dan
rancangan-rancangan yang diharapkan menjadi ikon dunia arsitektur. Arsitektur
bukan hanya masalah estetik, melainkan juga etik. Bicara tentang kota adalah
bicara tentang manusia. Kalau kita mengabaikan manusia sebagai obyek sekaligus
subyek dalam arsitektur, yang tertinggal hanyalah bata dan semen.
Melalui
foto-foto yang diproyeksikan ke layar lebar, ia perlihatkan hunian kumuh di
sejumlah kota besar di dunia. Sebutannya slum. Dia mengajak kita melihat slum dengan
cara berbeda.
”Apa yang
kalian sebut slum, kami menyebutnya rumah kami,” kata Alfredo, mengutip
seorang ketua komunitasslum. Hunian informal ini dalam beberapa hal mencoba
mengolah kemungkinan-kemungkinan yang bisa dimanfaatkan dari situ, termasuk
sampah. ”Sudah tentu banyak problem di situ. Hanya saja, saya ingin mengajak
untuk melihat slum bukan sebagai problem, melainkan sebagai solusi,”
ucap Alfredo.
Dia tunjukkan
konsumsi berlebihan sebagian kecil masyarakat dunia, yang dalam tema konferensi
ini berhubungan dengan ”kenyamanan” (comfort). Kenyamanan, termasuk penciptaan
zona nyaman, menurut dia adalah soal berbagi atau sharing.
Lagi-lagi, ini
sebenarnya bagian dari hukum alam. Ruang dan waktu. Ruang milik bersama, waktu
tergantung putaran yang hendak Anda ikuti. Terseret arus percepatan teknologi
dan nafsu produktivitas industri, lama-lama Anda tersengal-sengal, kena
serangan jantung. Mengikuti ruang dan waktu alam, Anda menemukan harmoni.
Termasuk hidup bebrayatan tadi. Itulah sebagian pesan dari Oslo. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar