|
TANGGAL
1 Oktober diperingati bersama sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan itu
menjadi indikasi bahwa Pancasila harus menjadi kunci saksi dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pascareformasi, krisis kebangsaan kita
justru tampak dalam hal yang sangat fundamental, yakni krisis ideologi.
Ideologi hanya menjadi permainan politik, bukan platform dan nilai yang
dipraktikkan dalam tata kelola berpolitik dan bernegara. Akibatnya, sila-sila
dalam Pancasila hanya dibaca saat acara seremonial, selebihnya tak berguna.
Menurut
Michael Morfit dalam In Asian Survey
(1981), Pancasila tidak hanya masa lalu yang berakhir menjadi `mitologi',
tetapi Pancasila merupakan proyeksi Indonesia di masa depan, baik proyeksi
dalam hal ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya. Dengan
demikian, situasinya tergantung masyarakat sejauh menempatkan Pancasila. Kalau
Pancasila dijadikan sebagai media proyeksi yang strategis dan dilaksanakan
secara konsekuen, benar apa yang juga dikatakan Geoffrey B Hainswort (1987)
bahwa Pancasila nanti akan menempatkan Indonesia menjadi pemimpin perkembangan
bangsa, ekonomi, dan masyarakat Indonesia menuju 2000-an.
Namun,
kalau Pancasila dilepas dari frame strategis tersebut, benar apa yang dikatakan
Charles Dickens dalam A Tale of Two
Cities (1870), bahwa ketika ideologi dibiarkan berserak-serakan, ideologi
akan menimbulkan abad kegilaan, ketidakpercayaan, kegelapan, dan muncullah
musim menggigilnya keputusasaan. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia.
Nasib Pancasila kita
Idealisme
Pancasila dengan sifat-sifat yang terbuka, humanis, toleran, dan transformatif
ternyata dialihkan pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingan politik yang
individualistis sehingga Pancasila tidak lagi membawa berkah, tetapi azab dan
kesengsaraan. Pada masa Orde Lama (Orla), keterbukaan Pancasila menyebabkan
diterimanya komunisme yang ateis dan pada masa Orde Baru (Orba) diterimanya
otoritarianisme yang mengingkari kedaulatan rakyat. Lebih parah lagi pada zaman
reformasi sekarang ini.
Masyarakat sudah tidak lagi peduli dengan Pancasila,
tetapi ketika ada isu Pancasila menggeliat, para elite akan m menyiapkan
jaring-jaring unm tuk melakukan politisasi yang tidak hanya membuat masyarakat
susah, tetapi malah membunuh karakter dan nalar Pancasila itu sendiri. Pancasila
seolah sudah tidak `laku jual' lagi sehingga harus `dibuang' di tempat sampah.
Cuma
orang `gila' yang mau ngopeni (merawat) Pancasila. Atau kalau mengamini
pendapat Daniel Bell dalam The End of
Ideology, ideologi telah mati.
Daniel Bell ini mendasarkan pernyataannya dalam realitas riil yang terjadi di
Amerika dan Eropa. Ideologi telah terjebak dalam jalan buntu. Senada dengan
Bell, Howard Wriggins dalam The Rule
Imperative: Strategies for Political Survival in Asia and Africa, yang
menjelaskan ideologi nasional di Mesir, Tunisia, Ghana, Turki, Pakistan, India,
Sri Lanka, Indonesia, dan beberap negara ketiga lainnya, telah dikecam banyak
pihak.
Meneguhkan ideologi politik
Makna
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kembali dipertanyakan.
Pancasila dikatakan tidak lagi mendapatkan tempat di tengah pertarungan elite
politik. Pancasila telantar dan hilang dari spirit kehidupan berbangsa. Untuk
itu, merefleksikan ulang dengan kondisi bangsa tercinta ini, khususnya tentang
ideologi Pancasila yang `rapuh' dan tidak berfungsi, ialah sebuah keniscayaan.
Kerapuhan Pancasila sekarang ini disebabkan impitan yang multikompleks. Tidak
hanya karena kepentingan politik, tetapi juga karena phobia keagamaan yang
biasanya menimbulkan konflik laten yang berkepanjangan.
Dalam
momentum sekarang ini, perlu kiranya kita melakukan refungsionalisasi kembali
nilai-nilai transformasi Pancasila di tengah bangsa tercinta. Refungsionalisasi
berarti menanamkan dan mentransformasikan kembali nilai dan makna Pancasila
dalam kehidupan kebangsaan kita tanpa harus menghilangkan watak asli nilai dan
makna tiap golongan yang ada di Indonesia. Atau dalam ba hasa Kuntowijoyo
(2001), Pancasila adalah common de
nominator (`pembagi bersama' alias titik temu) bagi berbagai pemikiran.
Karakteristik
sebagai common denominator ini akan
menempatkan Pancasila sebagai pemersatu yang akan menjadi rujukan semua
golongan. Karena Pancasila merupakan rujukan, ia harus bersikap radikal.
Radikal bukan berarti Pancasila harus beringas, galak, tak terkendali, dan di
luar hukum, melainkan radikal merupakan revolusi gagasan yang akan membuat
Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini
diorganisasikan.
Pancasila
yang radikal, atau dalam bahasa Kuntowijoyo dikatakan sebagai radikalisasi
Pancasila, akan membangun Pancasila dalam lima hal. Pertama, mengembalikan
Pancasila kepada jati dirinya, yakni sebagai ideologi negara.
Dalam arti, Pancasila harus menjadi satuan dasar ideologi terhadap
ideologi-ideologi satuan kecil yang memberikan rambu-rambu petunjuk arah dan common denominator yang mempertemukan
ideologi-ideologi itu. Dalam konteks ini, Pancasila akan mampu tampil membangun
kekuatan ideologis bangsa yang mengakomodasi semua elemen dan golongan.
Kedua,
mengubah persepsi Pancasila sebagai ilmu. Perbedaan di antara keduanya ialah
ideologi bersifat subjektif, dipaksakan terhadap fakta, dan tertutup, sedangkan
ilmu bersifat objektif, menghormati fakta, dan terbuka. Sebagai ilmu, Pancasila
dapat dianggap sebagai filsafat sosial, cara pandang negara terhadap
gejala-gejala sosial. Dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori
sosial yang mampu memberikan solusi terhadap problem bangsa yang makin
kompleks.
Ketiga,
menuntut Pancasila dilaksanakan secara konsisten, koheren, dan koresponden.
Konsisten dalam arti menuntut tiap pihak untuk menjalankan Pancasila demi
kemaslahatan bangsa, bukan kemaslahatan sepihak, sehingga Pancasila akan tampil
koheren dan menyatu dengan semua unsur dalam masyarakat tanpa menghilangkan
nilai dan identitas masyarakat tertentu tersebut.
Keempat,
menjadikan Pancasila sebagai pelayan kepentingan horizontal, bukan kepentingan
pelayan vertikal. Dalam arti, sila-sila Pancasila semata-mata ditunjukkan untuk
kesejahteraan lahir-batin rakyat banyak. Sila keadilan sosial, misalnya ialah
isyarat bahwa pemerataan dan pemerataan kekayaan harus diusahakan. Sila
kerakyatan adalah pertanda bahwa rakyatlah yang berkuasa. Sila persatuan
berarti bahwa hubungan yang menguntungkan pusat harus diganti dengan hubungan
yang menguntungkan daerah. Sila kemanusiaan berarti penegakan tanpa pilih
kasih.
Sila
ketuhanan berarti negara menjamin kebebasan beragama, berdakwah, dan
berkepercayaan kepada Tuhan di luar agama-agama. Kelima, menjadikan Pancasila
sebagai kriteria kritik kebijakan negara. Setiap sektor, baik eksekutif,
legislatif, dan yudikatif harus punya pegangan untuk merencanakan, menjalankan,
memonitor, dan mengevaluasi kerjanya di tingkat teratas, nonteknis, dan
kebijakan.
Kelima
radikalisasi tersebut akan meneguhkan Pancasila sebagai ideologi bangsa, yang
tidak hanya membangun kinerja formal saja secara praktis, tetapi juga membangun
nilai ketuhanan yang teguh, sebagian yang dikatakan Soekarno dalam pidato
kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. “Menyusun
Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi tiap-tiap orang
Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Hendaknya bangsa Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertanggung jawab--Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada egoisme agama. Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang
berbudi pekerti luhur, dan ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.“
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar