Rabu, 02 Oktober 2013

“Quo Vadis” Renegosiasi Kontrak Pertambangan

“Quo Vadis” Renegosiasi Kontrak Pertambangan
Ahmad Redi  ;  Doktor Hukum Universitas Indonesia;
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam
KOMPAS, 01 Oktober 2013


SUDAH lebih dari empat tahun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No 4/2009) memerintahkan agar renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Pertambangan Batubara (PKP2B) dilaksanakan, tetapi hingga saat ini belum tercapai. Renegosiasi KK dan PKP2B secara yuridis diatur dalam Pasal 169 huruf b UU No 4/2009 yang menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak UU ini diundangkan (12 Januari 2009).

Berdasarkan hal tersebut, seharusnya pada 12 Januari 2010, semua KK dan PKP2B telah selesai direnegosiasi antara Pemerintah dan kontraktor. Keseriusan Pemerintah Indonesia merenegoisasi KK dan PKP2B secara konkret baru terlihat pada 2012 dengan dibentuknya tim Evaluasi Penyesuaian KK dan PKP2B melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012. Tim ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Dilihat dari substansi UU No 4 Tahun 2009 paling sedikit enam hal yang harus direnegosiasi: luas wilayah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban pengelolaan dan pemurnian, kewajiban divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dari dalam negeri.
Dari keenam hal tersebut, berdasarkan Keppres No 3/2012 hanya tiga hal yang akan direnegosiasi, yaitu luas wilayah kerja, penerimaan negara, pengolahan dan/atau pemurnian mineral.
Substansi strategis mengenai kewajiban divestasi saham perusahaan pertambangan asing kepada pihak Indonesia (Pasal 112 UU No 4/2009) dan substansi pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri (Pasal 106 UU No 4/2009), tidak menjadi isu prioritas. Padahal, kedua hal tersebut fundamental untuk menyejahterakan rakyat.
Melalui divestasi saham perusahaan tambang asing kepada pihak Indonesia, akan terjadi peralihan kepemilikan ke pihak Indonesia sehingga kontrol dan manfaat ekonomi bisa untuk kepentingan masyarakat, berdasarkan prinsip-prinsip best mining practice.
Hukum kontrak
Pemerintah boleh saja berdalih bahwa Pasal 169 huruf b memerintahkan agar KK dan PKP2B harus disesuaikan. Namun, ada rezim hukum lain yang terlibat dalam renegosiasi tersebut, yaitu hukum kontrak.
Kontrak mempunyai kekhususan dan keberlakuan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Secara teoretis dan yuridis terdapat tiga prinsip yang satu sama lain saling berkaitan, yakni the principle of consensualism; the principle of the binding force of contract; dan principle of freedom of contract. Dari prinsip tersebut, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki posisi tawar kekuasaan (bargaining power) seimbang. Jika posisi tawar kekuasaan tidak seimbang, suatu kontrak dapat menjadi unconscionable.
Ia rentan pada pemaksaan kehendak oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah, sehingga keseimbangan kekuasaan sangat penting dalam mencapai kontrak yang berkeadilan. Terutama apabila yang menjadi pihak dalam kontrak merupakan negara dalam kedudukan hukum privat yang diwakili oleh pemerintah.
Walaupun faktanya tidak serta-merta negara selalu dalam posisi kuat ketika berkontrak, negara pun dapat dalam posisi lemah dan dirugikan, misalnya ketika kontrak dibuat oleh pejabat pemerintah yang korup sehingga manfaat kontrak tidak diterima oleh negara.
Terhadap posisi tidak seimbang ini UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) memberikan pedoman kemungkinan renegosiasi atas kontrak tertentu yang mengalami situasi tertentu. Situasi tersebut, misalnya mengenai hardship (Article 6.2.2 UPICCs), yaitu apabila terdapat peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak.
Pemerintah tampaknya sangat berhati-hati melakukan renegosiasi. Pasal 169 huruf b UU No 4/2009 tidak serta-merta dapat dilaksanakan tanpa melihat aspek sanctity of contract dan asas pacta sunt servanda dalam kontrak. Artinya, apabila terjadi pemaksaan secara sepihak oleh pemerintah, kerentanan sengketa sangat besar.
Keadilan
Aspek keadilan harus diwujudkan dalam renegosiasi kontrak, Pemerintah Indonesia menginginkan agar manfaat dari tambang tersebut harus sesuai dengan porsi masing-masing, artinya manfaat yang diperoleh negara sesuai kontrak saat ini belum adil. Namun, renegosiasi KK atau PKP2B juga harus mempertimbangkan kepentingan kontraktor yang secara bisnis ingin mendapatkan keuntungan besar dalam investasi yang high cost, high risk, high technology. Keinginan kedua pihak harus diakomodasi sehingga terhadap isi KK dan PKP2B harus mencerminkan keadilan kepada kedua belah pihak.
Sejalan dengan konsepsi keadilan tersebut, John Rawls dalam buku Justice As Fainerss menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity.
John Rawls menegaskan bahwa penegakan keadilan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu (1) memberikan hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang; (2) mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberikan keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang.

Berdasarkan hal tersebut di atas, renegosiasi KK dan PKP2B sebagai amanat dari UU No 4/2009, yang merupakan amanat rakyat, yang termanifestasi dari pembentukan UU oleh DPR harus dilaksanakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar