Rabu, 02 Oktober 2013

Pancasila dan Krisis Ideologi Politik Kita

REFLEKSI HARI KESAKTIAN PANCASILA
Pancasila dan Krisis Ideologi Politik Kita
Muhammadun  ;  Analis studi politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 01 Oktober 2013


TANGGAL 1 Oktober diperingati bersama sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan itu menjadi indikasi bahwa Pancasila harus menjadi kunci saksi dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Pascareformasi, krisis kebangsaan kita justru tampak dalam hal yang sangat fundamental, yakni krisis ideologi. Ideologi hanya menjadi permainan politik, bukan platform dan nilai yang dipraktikkan dalam tata kelola berpolitik dan bernegara. Akibatnya, sila-sila dalam Pancasila hanya dibaca saat acara seremonial, selebihnya tak berguna.

Menurut Michael Morfit dalam In Asian Survey (1981), Pancasila tidak hanya masa lalu yang berakhir menjadi `mitologi', tetapi Pancasila merupakan proyeksi Indonesia di masa depan, baik proyeksi dalam hal ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya. Dengan demikian, situasinya tergantung masyarakat sejauh menempatkan Pancasila. Kalau Pancasila dijadikan sebagai media proyeksi yang strategis dan dilaksanakan secara konsekuen, benar apa yang juga dikatakan Geoffrey B Hainswort (1987) bahwa Pancasila nanti akan menempatkan Indonesia menjadi pemimpin perkembangan bangsa, ekonomi, dan masyarakat Indonesia menuju 2000-an.

Namun, kalau Pancasila dilepas dari frame strategis tersebut, benar apa yang dikatakan Charles Dickens dalam A Tale of Two Cities (1870), bahwa ketika ideologi dibiarkan berserak-serakan, ideologi akan menimbulkan abad kegilaan, ketidakpercayaan, kegelapan, dan muncullah musim menggigilnya keputusasaan. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia.

Nasib Pancasila kita

Idealisme Pancasila dengan sifat-sifat yang terbuka, humanis, toleran, dan transformatif ternyata dialihkan pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingan politik yang individualistis sehingga Pancasila tidak lagi membawa berkah, tetapi azab dan kesengsaraan. Pada masa Orde Lama (Orla), keterbukaan Pancasila menyebabkan diterimanya komunisme yang ateis dan pada masa Orde Baru (Orba) diterimanya otoritarianisme yang mengingkari kedaulatan rakyat. Lebih parah lagi pada zaman reformasi sekarang ini. 

Masyarakat sudah tidak lagi peduli dengan Pancasila, tetapi ketika ada isu Pancasila menggeliat, para elite akan m menyiapkan jaring-jaring unm tuk melakukan politisasi yang tidak hanya membuat masyarakat susah, tetapi malah membunuh karakter dan nalar Pancasila itu sendiri. Pancasila seolah sudah tidak `laku jual' lagi sehingga harus `dibuang' di tempat sampah.

Cuma orang `gila' yang mau ngopeni (merawat) Pancasila. Atau kalau mengamini pendapat Daniel Bell dalam The End of Ideology, ideologi telah mati.
Daniel Bell ini mendasarkan pernyataannya dalam realitas riil yang terjadi di Amerika dan Eropa. Ideologi telah terjebak dalam jalan buntu. Senada dengan Bell, Howard Wriggins dalam The Rule Imperative: Strategies for Political Survival in Asia and Africa, yang menjelaskan ideologi nasional di Mesir, Tunisia, Ghana, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Indonesia, dan beberap negara ketiga lainnya, telah dikecam banyak pihak.

Meneguhkan ideologi politik

Makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kembali dipertanyakan. Pancasila dikatakan tidak lagi mendapatkan tempat di tengah pertarungan elite politik. Pancasila telantar dan hilang dari spirit kehidupan berbangsa. Untuk itu, merefleksikan ulang dengan kondisi bangsa tercinta ini, khususnya tentang ideologi Pancasila yang `rapuh' dan tidak berfungsi, ialah sebuah keniscayaan. Kerapuhan Pancasila sekarang ini disebabkan impitan yang multikompleks. Tidak hanya karena kepentingan politik, tetapi juga karena phobia keagamaan yang biasanya menimbulkan konflik laten yang berkepanjangan.

Dalam momentum sekarang ini, perlu kiranya kita melakukan refungsionalisasi kembali nilai-nilai transformasi Pancasila di tengah bangsa tercinta. Refungsionalisasi berarti menanamkan dan mentransformasikan kembali nilai dan makna Pancasila dalam kehidupan kebangsaan kita tanpa harus menghilangkan watak asli nilai dan makna tiap golongan yang ada di Indonesia. Atau dalam ba hasa Kuntowijoyo (2001), Pancasila adalah common de nominator (`pembagi bersama' alias titik temu) bagi berbagai pemikiran.

Karakteristik sebagai common denominator ini akan menempatkan Pancasila sebagai pemersatu yang akan menjadi rujukan semua golongan. Karena Pancasila merupakan rujukan, ia harus bersikap radikal. Radikal bukan berarti Pancasila harus beringas, galak, tak terkendali, dan di luar hukum, melainkan radikal merupakan revolusi gagasan yang akan membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini diorganisasikan.

Pancasila yang radikal, atau dalam bahasa Kuntowijoyo dikatakan sebagai radikalisasi Pancasila, akan membangun Pancasila dalam lima hal. Pertama, mengembalikan Pancasila kepada jati dirinya, yakni sebagai ideologi negara.
Dalam arti, Pancasila harus menjadi satuan dasar ideologi terhadap ideologi-ideologi satuan kecil yang memberikan rambu-rambu petunjuk arah dan common denominator yang mempertemukan ideologi-ideologi itu. Dalam konteks ini, Pancasila akan mampu tampil membangun kekuatan ideologis bangsa yang mengakomodasi semua elemen dan golongan.

Kedua, mengubah persepsi Pancasila sebagai ilmu. Perbedaan di antara keduanya ialah ideologi bersifat subjektif, dipaksakan terhadap fakta, dan tertutup, sedangkan ilmu bersifat objektif, menghormati fakta, dan terbuka. Sebagai ilmu, Pancasila dapat dianggap sebagai filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial. Dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial yang mampu memberikan solusi terhadap problem bangsa yang makin kompleks.

Ketiga, menuntut Pancasila dilaksanakan secara konsisten, koheren, dan koresponden. Konsisten dalam arti menuntut tiap pihak untuk menjalankan Pancasila demi kemaslahatan bangsa, bukan kemaslahatan sepihak, sehingga Pancasila akan tampil koheren dan menyatu dengan semua unsur dalam masyarakat tanpa menghilangkan nilai dan identitas masyarakat tertentu tersebut.

Keempat, menjadikan Pancasila sebagai pelayan kepentingan horizontal, bukan kepentingan pelayan vertikal. Dalam arti, sila-sila Pancasila semata-mata ditunjukkan untuk kesejahteraan lahir-batin rakyat banyak. Sila keadilan sosial, misalnya ialah isyarat bahwa pemerataan dan pemerataan kekayaan harus diusahakan. Sila kerakyatan adalah pertanda bahwa rakyatlah yang berkuasa. Sila persatuan berarti bahwa hubungan yang menguntungkan pusat harus diganti dengan hubungan yang menguntungkan daerah. Sila kemanusiaan berarti penegakan tanpa pilih kasih.

Sila ketuhanan berarti negara menjamin kebebasan beragama, berdakwah, dan berkepercayaan kepada Tuhan di luar agama-agama. Kelima, menjadikan Pancasila sebagai kriteria kritik kebijakan negara. Setiap sektor, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus punya pegangan untuk merencanakan, menjalankan, memonitor, dan mengevaluasi kerjanya di tingkat teratas, nonteknis, dan kebijakan.


Kelima radikalisasi tersebut akan meneguhkan Pancasila sebagai ideologi bangsa, yang tidak hanya membangun kinerja formal saja secara praktis, tetapi juga membangun nilai ketuhanan yang teguh, sebagian yang dikatakan Soekarno dalam pidato kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. “Menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi tiap-tiap orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Hendaknya bangsa Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertanggung jawab--Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dan ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar