Rabu, 16 Oktober 2013

Di Tengah Ketidakpastian Tapering Amerika

Di Tengah Ketidakpastian Tapering Amerika
Sunarsip Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA, 30 September 2013


Pada rapat 19 September 2013, Bank Sentral Amerika Serikat (AS), the Federal Reserve (the Fed), telah memutuskan untuk tetap mempertahankan kebijakan stimulus moneternya atau yang lebih dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). `Pembatalan' (atau penundaan) pengurangan stimulus moneter atau lebih dikenal dengan istilah taperingini awalnya disambut positif oleh pasar, sebagaimana tecermin dari penguatan nilai tukar sejumlah mata uang, termasuk rupiah.

Sayangnya, dampak positif tersebut tidak berlangsung lama. Nilai tukar rupiah yang sempat menguat kini kembali melemah. Pada akhir pekan lalu (27 September), nilai tukar rupiah berada di level Rp 11.532 per dolar AS dimana pada saat penundaan taperingdiumumkan (19 September), kurs rupiah berada di level Rp 11.278 per dolar AS.

Inti dari kebijakan QE ini adalah the Fed membeli obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah (treasury bonds) mau pun korporasi (terutama bank komersial) melalui open market. Dari pembelian obligasi ini, pemerintah dan korporasi mendapatkan dana segar untuk membiayai berbagai hal. Pemerintah menggunakan untuk membiayai belanja negara dan bank-bank komersial menggunakannya untuk menyalurkan kredit. Di harapkan, hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS.

Sejak krisis ekonomi 2008, AS telah mengeluarkan kebijakan QE sebanyak tiga kali. QE jilid tiga diumumkan pada September 2012 di mana sejak Januari 2013, the Fed membeli obligasi sebesar 85 miliar dolar AS setiap bulannya. Kebijakan QE ini terbukti memberikan hasil positif bagi perekonomian AS. Tingkat pengangguran menurun dari 8,1 persen pada September 2012 menjadi 7,3 persen pada Agustus 2013. Para ekonom memperkirakan tren positif ini akan berlanjut di mana tingkat pengangguran diperkirakan akan turun menjadi 6,9 persen pada Juni 2014.

Kebijakan tapering adalah kebalikan QE. Pada 19 Juni 2013, the Fed menyatakan kebijakan QE jilid tiga akan diperkecil skalanya pada akhir 2013 dan diakhiri pertengahan 2014 walau jadwal pastinya akan bergantung pada laju ekonomi AS. Tapering, antara lain, dilakukan melalui kenaikan suku bunga acuan the Fed dan pengurangan pembelian obligasi. Belum disebutkan sampai kapan the Fed menunda pemberlakuan tapering ini. Namun, para analis memperkirakan the Fed akan mulai menerapkan taperingpada Desember 2013.

Di tengah ketidakpastian kebijakan tapering AS, perekonomian Indonesia juga meng hadapi sejumlah tantangan eksternal lainnya yang tidak ringan. Saat ini, sejumlah negara emerging markets tengah mengalami perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Cina, misalnya, melemah menjadi 7,5 persen pada kuartal II 2013, jauh di bawah capaian pada kuartal keempat 2007 sebesar 14,8 persen. Tahun ini, ekonomi Cina diperkirakan `hanya' tumbuh 7,5 persen.

Ekonom Wood Mackenzie, Ed Rawle, memprediksikan bahwa pelemahan ekonomi Cina tersebut tidak bersifat sementara (cyclical blip), tetapi fenomena transisi yang bersifat struktural jangka pan jang. Transisi struktural ini terjadi karena pemerintah baru Cina sedang melakukan reformasi struktural untuk memperbaiki kualitas perekonomiannya akibat overinvestment yang dibiayai utang.

Konsekuensi dari rendahnya pertumbuhan ekonomi Cina tentunya perekonomian negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi yang dekat dengan Cina akan terganggu. Partner utama dagang Cina dan negara pengekspor komoditas besar (termasuk Indonesia) akan terpukul dengan kondisi yang terjadi di Cina ini. Cina adalah pasar ekspor nonmigas terbesar Indonesia (sebesar 13,45 persen).
Bagi Indonesia, pelemahan ekonomi Cina tidak hanya mengganggu ekspor, sisi konsumsi juga akan terganggu.

Karena, booming ekspor komoditas inilah yang selama ini telah turut meningkatkan daya beli (khususnya di daerah). Indonesia juga masih akan tetap dihadapkan pada isu klasik yang muncul dari sisi fiskal. Isu klasik fiskal ini terutama berasal dari tekanan subsidi BBM. Pemerintah mem perkirakan konsumsi BBM bersubsidi pada 2014 akan mencapai 51 juta kilo-liter (kl) atau meningkat 6,25 persen dibandingkan kuota 2013 yang mencapai 48 juta kl. Tingginya subsidi BBM ini tidak hanya disebabkan oleh peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi, tetapi juga karena tekanan harga minyak yang diperkirakan akan meningkat. Peningkatan harga minyak terjadi akibat kurang - nya pasokan minyak di pasar global.

Studi Wood Mackenzei memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, saat ini telah terdapat sekitar lima juta barel per hari minyak yang hilang dari pasar global, terutama akibat situasi geopolitik yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Kondisi ini tentunya berpotensi mendorong kenaikan harga minyak mentah. Ditambah dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah yang masih terjadi, subsidi BBM diperkirakan akan mencapai Rp 230,8 triliun pada 2014.

Melihat berbagai kondisi di atas, tampaknya pemegang otoritas ekonomi perlu lebih cermat dan bijak dalam mempertimbangkan kebijakan yang akan diambilnya. Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) hendaknya perlu lebih cermat dalam mengidentifikasi dinamika yang terjadi. Dalam menghadapi situasi eksternal yang unpredictable ini, BI hendaknya tidak terlalu cepat mengeluarkan `jurus pamungkasnya'. Sebab, kekurangbijakan dalam mengeluarkan kebijakan justru berpotensi menimbulkan pengaruh yang terbalik dari ekspektasi yang sebelumnya.

Dalam hal rencana kebijakan penghentian tapering AS yang belum jelas, misalnya, BI ternyata meresponsnya dengan mengeluarkan `jurus pamungkasnya' berupa kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7,25 persen, hanya selang beberapa hari sebelum dilangsungkannya Rapat Dewan Gubernur the Fed (19 September).

Respons BI ini, selain memperlihatkan ketidakcermatan dalam mengantisipasi dinamika eksternal yang akan terjadi, juga memperlihatkan kekurangbijakan BI. 
Kenaikan suku bunga yang berlangsung cepat ini berpotensi mengurangi kepercayaan pasar terhadap kemampuan BI dalam mengelola krisis. Di luar itu, kebijakan suku bunga tinggi ini justru akan menyebabkan kesulitan ekonomi yang lebih tinggi yang ujungnya akan menyebabkan kemampuan kita menghasilkan devisa melalui ekspor dan investasi menjadi berkurang.

Dari sisi fiskal, pemerintah harus segera mengidentifikasi sumber-sumber pelemahan ekonomi. Kebijakan pengurangan impor harus disiapkan.

Salah satunya adalah dengan mendorong tumbuhnya industri-industri substitusi impor. Kilang minyak harus dibangun mengingat migas telah menjadi sumber utama defisit perdagangan kita. Ketergantungan ekspor komoditas harus dikurangi. Indonesia harus lebih banyak menciptakan industri manufaktur berbasis pengolahan sumber daya alam dalam rangka meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Perbaikan sektor jasa yang selama ini selalu menjadi penyumbang defisit transaksi berjalan juga harus dilakukan.


Saat ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan reformasi struktural ekonomi kita. Bila tidak, perekonomian Indonesia akan semakin tidak menentu akibat ketergantungannya yang besar pada aspek eksternal. Tentunya, reformasi struktural tersebut membutuhkan dukungan fiskal dan moneter sekaligus
penciptaan iklim investasi yang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar