|
Pada rapat 19 September 2013, Bank Sentral Amerika Serikat
(AS), the Federal Reserve (the Fed), telah memutuskan untuk tetap
mempertahankan kebijakan stimulus moneternya atau yang lebih dikenal dengan
istilah quantitative easing (QE). `Pembatalan' (atau penundaan) pengurangan
stimulus moneter atau lebih dikenal dengan istilah taperingini awalnya disambut
positif oleh pasar, sebagaimana tecermin dari penguatan nilai tukar sejumlah
mata uang, termasuk rupiah.
Sayangnya, dampak positif tersebut tidak berlangsung lama. Nilai
tukar rupiah yang sempat menguat kini kembali melemah. Pada akhir pekan lalu
(27 September), nilai tukar rupiah berada di level Rp 11.532 per dolar AS dimana pada saat penundaan taperingdiumumkan (19 September),
kurs rupiah berada di level Rp 11.278 per dolar AS.
Inti dari kebijakan QE ini adalah
the Fed membeli obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah (treasury bonds) mau
pun korporasi (terutama bank komersial) melalui open market. Dari pembelian
obligasi ini, pemerintah dan korporasi mendapatkan dana segar untuk membiayai
berbagai hal. Pemerintah menggunakan untuk membiayai belanja negara dan
bank-bank komersial menggunakannya untuk menyalurkan kredit. Di harapkan, hal
ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS.
Sejak krisis ekonomi 2008, AS
telah mengeluarkan kebijakan QE sebanyak tiga kali. QE jilid tiga diumumkan
pada September 2012 di mana sejak Januari 2013, the Fed membeli obligasi
sebesar 85 miliar dolar AS setiap bulannya. Kebijakan QE ini terbukti memberikan
hasil positif bagi perekonomian AS. Tingkat pengangguran menurun dari 8,1
persen pada September 2012 menjadi 7,3 persen pada Agustus 2013. Para ekonom
memperkirakan tren positif ini akan berlanjut di mana tingkat pengangguran
diperkirakan akan turun menjadi 6,9 persen pada Juni 2014.
Kebijakan tapering adalah
kebalikan QE. Pada 19 Juni 2013, the Fed menyatakan kebijakan QE jilid tiga
akan diperkecil skalanya pada akhir 2013 dan diakhiri pertengahan 2014 walau
jadwal pastinya akan bergantung pada laju ekonomi AS. Tapering, antara lain,
dilakukan melalui kenaikan suku bunga acuan the Fed dan pengurangan pembelian
obligasi. Belum disebutkan sampai kapan the Fed menunda pemberlakuan tapering
ini. Namun, para analis memperkirakan the Fed akan mulai menerapkan
taperingpada Desember 2013.
Di tengah ketidakpastian
kebijakan tapering AS, perekonomian Indonesia juga meng hadapi sejumlah tantangan
eksternal lainnya yang tidak ringan. Saat ini, sejumlah negara emerging markets
tengah mengalami perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Cina, misalnya, melemah
menjadi 7,5 persen pada kuartal II 2013, jauh di bawah capaian pada kuartal
keempat 2007 sebesar 14,8 persen. Tahun ini, ekonomi Cina diperkirakan `hanya'
tumbuh 7,5 persen.
Ekonom Wood Mackenzie, Ed
Rawle, memprediksikan bahwa pelemahan ekonomi Cina tersebut tidak bersifat sementara
(cyclical blip), tetapi fenomena
transisi yang bersifat struktural jangka pan jang. Transisi struktural ini
terjadi karena pemerintah baru Cina sedang melakukan reformasi struktural untuk
memperbaiki kualitas perekonomiannya akibat overinvestment yang dibiayai utang.
Konsekuensi dari rendahnya
pertumbuhan ekonomi Cina tentunya perekonomian negara-negara yang memiliki
hubungan ekonomi yang dekat dengan Cina akan terganggu. Partner utama dagang
Cina dan negara pengekspor komoditas besar (termasuk Indonesia) akan terpukul
dengan kondisi yang terjadi di Cina ini. Cina adalah pasar ekspor nonmigas
terbesar Indonesia (sebesar 13,45 persen).
Bagi Indonesia, pelemahan ekonomi Cina tidak hanya mengganggu ekspor, sisi konsumsi juga akan terganggu.
Bagi Indonesia, pelemahan ekonomi Cina tidak hanya mengganggu ekspor, sisi konsumsi juga akan terganggu.
Karena, booming ekspor komoditas
inilah yang selama ini telah turut meningkatkan daya beli (khususnya di
daerah). Indonesia juga masih akan tetap dihadapkan pada isu klasik yang muncul
dari sisi fiskal. Isu klasik fiskal ini terutama berasal dari tekanan subsidi
BBM. Pemerintah mem perkirakan konsumsi BBM bersubsidi pada 2014 akan mencapai
51 juta kilo-liter (kl) atau meningkat 6,25 persen dibandingkan kuota 2013 yang
mencapai 48 juta kl. Tingginya subsidi BBM ini tidak hanya disebabkan oleh
peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi, tetapi juga karena tekanan harga
minyak yang diperkirakan akan meningkat. Peningkatan harga minyak terjadi
akibat kurang - nya pasokan minyak di pasar global.
Studi Wood Mackenzei memperlihatkan
bahwa secara keseluruhan, saat ini telah terdapat sekitar lima juta barel per
hari minyak yang hilang dari pasar global, terutama akibat situasi geopolitik
yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Kondisi ini tentunya berpotensi
mendorong kenaikan harga minyak mentah. Ditambah dengan potensi pelemahan nilai
tukar rupiah yang masih terjadi, subsidi BBM diperkirakan akan mencapai Rp
230,8 triliun pada 2014.
Melihat berbagai kondisi di
atas, tampaknya pemegang otoritas ekonomi perlu lebih cermat dan bijak dalam
mempertimbangkan kebijakan yang akan diambilnya. Dari sisi moneter, Bank
Indonesia (BI) hendaknya perlu lebih cermat dalam mengidentifikasi dinamika
yang terjadi. Dalam menghadapi situasi eksternal yang unpredictable ini, BI
hendaknya tidak terlalu cepat mengeluarkan `jurus pamungkasnya'. Sebab, kekurangbijakan
dalam mengeluarkan kebijakan justru berpotensi menimbulkan pengaruh yang
terbalik dari ekspektasi yang sebelumnya.
Dalam hal rencana kebijakan
penghentian tapering AS yang belum jelas, misalnya, BI ternyata meresponsnya
dengan mengeluarkan `jurus pamungkasnya' berupa kenaikan suku bunga acuan (BI
Rate) menjadi 7,25 persen, hanya selang beberapa hari sebelum dilangsungkannya
Rapat Dewan Gubernur the Fed (19 September).
Respons BI ini, selain memperlihatkan
ketidakcermatan dalam mengantisipasi dinamika eksternal yang akan terjadi, juga
memperlihatkan kekurangbijakan BI.
Kenaikan suku bunga yang berlangsung cepat ini berpotensi mengurangi kepercayaan pasar terhadap kemampuan BI dalam mengelola krisis. Di luar itu, kebijakan suku bunga tinggi ini justru akan menyebabkan kesulitan ekonomi yang lebih tinggi yang ujungnya akan menyebabkan kemampuan kita menghasilkan devisa melalui ekspor dan investasi menjadi berkurang.
Kenaikan suku bunga yang berlangsung cepat ini berpotensi mengurangi kepercayaan pasar terhadap kemampuan BI dalam mengelola krisis. Di luar itu, kebijakan suku bunga tinggi ini justru akan menyebabkan kesulitan ekonomi yang lebih tinggi yang ujungnya akan menyebabkan kemampuan kita menghasilkan devisa melalui ekspor dan investasi menjadi berkurang.
Dari sisi fiskal, pemerintah
harus segera mengidentifikasi sumber-sumber pelemahan ekonomi. Kebijakan pengurangan
impor harus disiapkan.
Salah satunya adalah dengan mendorong tumbuhnya
industri-industri substitusi impor. Kilang minyak harus dibangun mengingat
migas telah menjadi sumber utama defisit perdagangan kita. Ketergantungan ekspor komoditas harus
dikurangi. Indonesia harus lebih banyak menciptakan industri manufaktur
berbasis pengolahan sumber daya alam dalam rangka meningkatkan produktivitas
dan nilai tambah. Perbaikan sektor jasa yang selama ini selalu menjadi penyumbang
defisit transaksi berjalan juga harus dilakukan.
Saat ini adalah momentum yang
tepat untuk melakukan reformasi struktural ekonomi kita. Bila tidak,
perekonomian Indonesia akan semakin tidak menentu akibat ketergantungannya yang
besar pada aspek eksternal. Tentunya, reformasi struktural tersebut membutuhkan
dukungan fiskal dan moneter sekaligus
penciptaan iklim investasi yang lebih
baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar