Rabu, 16 Oktober 2013

Trilogi Haji dan Krisis Bangsa

Trilogi Haji dan Krisis Bangsa
Musa Asy’arie  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
KOMPAS, 16 Oktober 2013


RITUAL tahunan ibadah haji telah tiba. Umat Islam sedunia menyambutnya dengan perasaan penuh sukacita. Di mana-mana berkumandanglah Labbaika Allahumma Labbaik.

Bagi umat Islam Indonesia kini, mendapatkan kesempatan beribadah haji adalah keberuntungan yang besar. Sebab untuk berhaji harus menunggu sekian lama giliran waktunya, bahkan hingga puluhan tahun, belum tentu masih hidup pula. Meskipun ada uang, kesehatan dan kemampuan, kalau belum sampai giliran waktunya, tidaklah bisa langsung menjalankan ibadah haji.

Makna historik ibadah haji adalah untuk mengambil hikmah peristiwa kenabian yang berpusat pada episode perjalanan hidup Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan putra mereka, Nabi Ismail, yang kemudian menjadi landasan spiritual bagi pembangunan kota Mekkah.

Dimulai dari saat Nabi Ibrahim menerima firman Tuhan melalui mimpinya untuk ”menyembelih putranya”, kemudian Nabi Ibrahim mengalami kebimbangan yang dalam untuk memahami firman Tuhan itu. Melalui pemikiran dan perenungan yang dalam, kebimbangan itu berproses secara dialektik dan kemudian membentuk pandangan hidup, yaitu trilogi cinta, kebenaran, dan pengorbanan.

Cinta dan pengorbanan

Perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim untuk ”menyembelih” putranya, secara fundamental berlawanan dengan prinsip kemanusiaan universal. Anak adalah buah cinta kasih dan bermakna bagi kelangsungan hidup suatu generasi. Karena itu, diperlukan pemaknaan simbolik dan perintah itu tak berarti harus dilakukan seperti apa adanya.

Dalam konteks mimpi Nabi Ibrahim, maka Tuhan menggantinya dengan hewan korban seekor domba. Penyembelihan hewan korban itulah yang sampai saat ini dilakukan sebagai bagian dari ibadah haji dan secara simbolik seharusnya dapat mendorong peningkatan kepedulian kepada nasib sesama, dengan bersedia berkorban atas nama cinta dan kebenaran.

Proses pemaknaan terhadap firman Tuhan diperlukan agar pemahaman manusia terhadap firman Tuhan tidak jatuh pada formalisme yang sempit dan berlawanan dengan kemanusiaan universal. Fenomena sosial menunjukkan, pemahaman yang sempit terhadap doktrin keagamaan sering kali memicu konflik kekerasan. Sejarah pun mencatat kekerasan atas nama agama terjadi dalam berbagai aspek kehidupan umat beragama. Nabi Ibrahim adalah pusat pertemuan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi kekerasan juga terjadi hingga sekarang dalam kehidupan antarpemeluk Yahudi, Kristen dan Islam meskipun sama-sama berpusat pada Nabi Ibrahim.

Makna simbolik dalam kisah Nabi Ibrahim tersebut sesungguhnya hendak menjelaskan makna trilogi cinta, kebenaran dan pengorbanan. Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan cinta, bahkan manusia akan mati tanpa rawatan cinta.

Dan, cinta itu harus didasarkan pada kebenaran untuk memberikan makna pada pengorbanan yang lahir atas nama cinta itu. Dalam konteks Nabi Ibrahim, trilogi cinta, kebenaran, dan pengorbanan telah digambarkan secara sempurna, di mana manifestasi cinta yang menuntut suatu pengorbanan itu didasarkan pada kebenaran Ilahi sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan berlaku sepanjang masa.

Dalam kehidupan yang serba materi dan pragmatis dewasa ini, terasa semakin sulit seseorang untuk mendapatkan cinta yang tulus. Cinta adalah sesuatu yang kodrati, yang muncul dan diterima secara langsung apa adanya. Cinta adalah sesuatu yang otentik dan menjadi salah satu kebutuhan emosional yang paling mendasar.

Cinta perlu pengorbanan karena mencintai adalah memberi dan memberi pada dasarnya memerlukan landasan kebenaran sehingga pengorbanan atas nama cinta tidak boleh melanggar moral dan prinsip kemanusiaan universal. Atas nama cinta, pengorbanan tidak bisa diwujudkan dengan kekerasan, perampokan, dan korupsi.

Keluar dari krisis

Trilogi cinta, kebenaran, dan pengorbanan yang dipetik dari hikmah perjalanan Nabi Ibrahim sebenarnya dapat menjadi dasar untuk bisa keluar dari krisis bangsa. Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan salah satu rukun Islam adalah menjalankan ibadah haji bagi yang mampu, serta sudah puluhan juta yang melakukan ibadah haji, maka Indonesia seharusnya dapat memperoleh berkah dari ibadah haji ini.

Karena itu, sebagai bangsa yang sedang bergulat melawan krisis, dengan trilogi haji, yaitu cinta, kebenaran dan pengorbanan dapat menginspirasi bangsa untuk mengatasinya. Kalau mencintai bangsa dan negara, kita harus bersedia berkorban untuknya. Adapun pengorbanan kita pada bangsa dan negara harus didasarkan pada kebenaran yang menjadi landasan hidup berbangsa dan bernegara itu sendiri, yaitu Pancasila. Oleh karena itu, dialektika cinta dan Pancasila diharapkan melahirkan pengorbanan untuk membangun peradaban bangsa lebih maju.

Tanpa dasar cinta yang otentik dan pengorbanan untuk menghormati perbedaan, maka kebinekaan bangsa tak akan menjadi rahmat. Ia malah bisa berbalik jadi malapetaka, dengan munculnya konflik kekerasan yang terjadi di mana-mana. Kesediaan untuk menghargai dan menghormati adanya perbedaan adalah suatu pengorbanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengorbanan itu hanya bisa ditumbuhkan oleh cinta yang otentik sehingga perbedaan itu jadi proses pengayaan jiwa bangsa.

Bagi bangsa Indonesia, landasan kebenaran itu adalah Pancasila yang sekarang terasa lemah gaungnya. Trilogi cinta, kebenaran, dan pengorbanan yang diajarkan dalam ibadah haji harus diaktualisasikan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.


Karena itu, kita sesungguhnya memerlukan ”haji” kebangsaan, yaitu mewujudkan trilogi cinta, kebenaran, dan pengorbanan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, kita perlu meningkatkan kepedulian untuk merawat dan memupuk cinta pada bangsa dan negara berdasarkan atas kebenaran Pancasila. Hanya dengan cara itu ia akan dapat melahirkan pengorbanan dan pengabdian kita mengatasi berbagai masalah dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, untuk membangun kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih adil, sejahtera dan bermartabat, lebih berperadaban mulia. Semoga.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar