Rabu, 16 Oktober 2013

Amandemen Kutukan Bangsa dalam UUD

Amandemen Kutukan Bangsa dalam UUD
Samsudin Adlawi  Wartawan Jawa Pos, Suka mengamati Gejala Bahasa
JAWA  POS, 16 Oktober 2013



 Indonesia kini sudah memasuki usia ke-69. Dalam usia kemerdekaan yang sudah mendekat seabad itu masih ada pertanyaan yang cukup mengganggu: sudahkah seluruh rakyat Indonesia menikmati kemerdekaan negaranya yang diperoleh dengan tumbal; tidak hanya harta, melainkan juga jiwa dan raga? Sudahkah rakyat hidup makmur seperti cita-cita konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945?

Memang benar bangsa ini sudah terlepas dari cengkeraman pemerintah kolonial. Bahkan, tercatat sudah enam anak bangsa terbaik secara bergantian memimpin negeri ini secara berdaulat. Namun, buah tangan kepemim­pinan mereka toh belum mampu memerdekakan puluhan juta rakyat dari perjuangan melawan musuh laten: kemiskinan. 

Sesuai dengan data yang direkam BPS (Badan Pusat Statistik), hingga September 2012 jumlah penduduk miskin di Indonesia 28,59 juta orang. Kehidupan mereka sangat susah. Secara guyonan, seorang teman bilang, nasib 28 juta saudara kita yang hingga kini belum berhasil memerdekakan diri dari kemiskinan yang menjajahnya itu sudah sesuai dengan amanat konstitusi. Awalnya saya kaget mendengar intermezo tersebut. Tapi, setelah dia membacakan isi bait kedua pembukaan UUD 1945 secara lengkap, saya pun jadi mengerti. 

Bunyi lengkap bait kedua pembukaan UUD 1945 tersebut adalah: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dalam redaksional salah satu pilar kehidupan berbangsa itu disebutkan dengan jelas bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mengantarkan rakyat negeri ini hanya sampai "di depan pintu gerbang kemerdekaan". Alias tidak sampai masuk ke alam kemerdekaan yang sesungguhnya. Maka, wajar jika puluhan juta rakyat masih belum bisa menikmati kehidupan yang berkeadilan sosial dan diliputi kemakmuran. Sebab, kehidupan yang seperti itu hanya ada dalam istana kemerdekaan, bukan hanya di depan pintu gerbang kemerdekaan. 

Karena itu, mendesak segera dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini eksekutif dan legislatif) untuk mengamandemen bait kedua UUD 1945. Kalimat ''mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur'' seyogyanya diperbaiki menjadi: ''mengantarkan rakyat Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia..." Alternatif kedua: ''mengantarkan rakyat Indonesia ke dalam rumah kemerdekaan negara Indonesia...'' Agar tampak lebih gagah dan sakral. kata ''rumah'' bisa diganti dengan kata ''istana''. Istana identik dengan kemakmuran. Penghuni istana biasanya hidup serba berkecukupan. Bahasa kerennya, sejahtera. Hidup sejahtera dan makmur merupakan impian semua bangsa yang berjuang lepas dari penjajahan. Kehidupan di depan pintu gerbang kemerdekaan sama saja dengan kehidupan sebelum merdeka. Yakni, hidup dalam serba kekurangan dan penuh penderitaan. 

Mengentaskan rakyat dari jurang kemiskinan justru bisa dicap inkonstitusional karena menabrak amanat pasal 34 ayat 1 UUD 1945: "Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara''.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), lema pelihara diartikan sebagai jaga dan atau rawat. ''Dipelihara'' berarti ''dijaga'' dan atau ''dirawat''. Dengan definisi seperti itu, pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk menjaga dan merawat rakyat fakir miskin serta anak telantar. Tidak tampak semangat atau perintah konstitusi untuk menghijrahkan rakyat dari alam kemiskinan menuju ke alam kesejahteraan. 

Karena undang-undang dasar adalah pijakan yang menjadi haluan segala tindakan pemerintah, disadari atau tidak, isinya (yang tidak sesuai) akan menjadi ''kutukan'' bagi sebuah bangsa. Karena itu, revisi terhadap bait kedua UUD 1945 dan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 harus segera dilakukan. Kalau tidak, pertama, sebagian rak­yat akan tetap hidup menderita "di depan pintu gerbang kemerdekaan". Kedua, rakyat miskin akan tetap eksis dengan kemiskinannya karena negara terus memeliharanya dan enggan menghijrahkannya. 

Yang berkewajiban mengamandemen tentu saja MPR. Bagi negarawan di MPR yang masih punya sisa masa bakti tidak sampai setahun, ini kesempatan emas untuk beramal bakti bagi bangsa, terutama rakyat miskin. Bagi para calon legislator DPR RI (yang kalau terpilih juga jadi anggota MPR), tema tersebut sangat mujarab untuk jualan saat kampanye mendatang. Ayo, siapa cepat, dapat! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar