|
Kisah tentang
Ibu Yati mungkin sudah pernah Anda dengar. Sehari-hari memulung sampah, pakaiannya
lusuh, hidupnya sangat sederhana. Tetapi, setahun lalu, bersama suami, kedua
orang itu mampu membuat pengurus Masjid Al-Ittihad di daerah Tebet, Jakarta
Selatan, menangis. Mengapa menangis? Pengurus masjid terharu karena biasanya
pemberi kurban adalah orang-orang berduit.
Adapun Bu Yati dan suaminya tidak berduit, tetapi merekalah orang kaya dalam arti yang sebenarnya. Bukan gubernur yang keluarganya punya 100-an perusahaan dan adiknya yang punya mobil Ferrari. Juga bukan pengacara terkenal yang pelitnya minta ampun.
Mereka berdua benar-benar kaya karena mampu memberi kurban dua kambing besar. Tahun ini berkat keberanian keduanya, kita juga mulai menyaksikan orang-orang yang hidupnya sederhana memberi kurban. Ini berbeda benar dengan orang-orang tertentu yang lebih senang pamer konsumsi. Tetapi, siapa yang hidupnya lebih bahagia?
Ekonomi kita selalu membedakan antara income dan spending. Dalam teori ekonomi klasik, kekayaaan selalu diukur dengan income (pendapatan), dan orang-orang kaya diukur dari apa yang mereka bisa beli.
Dalam perekonomian Indonesia, kalangan kaya biasanya identik dengan jenis mobil yang dimiliki, siapa yang menjadi istri atau suami, dan apa jabatannya. Maka, begitu merasa kaya, seseorang mulai membeli mobil yang jarang bisa dimiliki orang lain (Ferrari dan Lamborghini), menikahi model atau artis, dan menduduki jabatan-jabatan strategis.
Demikianlah kaya, diartikan sebagai "Spending for themselves" (mengeluarkan uang untuk diri sendiri). Maka, jangan heran kalau para ekonom belakangan sangat kecewa saat menghubungkan kekayaan suatu bangsa dengan tingkat kebahagiaan. Banyak negara kaya yang ditemukan rakyatnya kurang bahagia.
Lara Atkins, seorang peneliti pada Simon Fraser University, pun menggali makna spending. Dia membedakan antara spending money for others (mengeluarkan uang untuk orang lain) dengan spending money for themselves (mengeluarkan uang untuk keperluan pribadi). Melalui studi di Uganda dan Canada yang melibatkan 820 orang, India (101 orang dewasa), dan Afrika Selatan (207 mahasiswa), dia menemukan kebahagiaan itu jarang dirasakan oleh mereka yang hanya "Spending money for themselves".
Lewat serangkaian eksperimen dia membagi-bagikan uang kepada responden yang lalu ditugasi memberikan uang itu untuk anak-anak yang sedang sakit. Sebagian uang dipakai untuk memberi kesenangan pribadi. Manakah yang membuatnya lebih bahagia? Eksperimen itu menemukan kebahagiaan muncul dari memberi (spending on others).
Elizabeth Dunn, seorang psikolog dari University of Columbia, bekerja sama dengan Harvard Business School dan menelisik ribuan responden. Respoden-responden diminta memilih skor kebahagiaan masing-masing dan melaporkan pendapatan tahunannya. Setelah itu, mereka diminta menghitung berapa besar pendapatan yang dihabiskan untuk diri sendiri (biaya tagihan-tagihan dan keperluan untuk pribadi dan bersenang-senang), dan berapa yang diberikan untuk orang lain (hadiah, donasi, dan charity).
Kesimpulannya, mereka yang memberi lebih banyak untuk orang lain ternyata hidupnya lebih bahagia. Sementara mereka yang tak mempunyai porsi pendapatan untuk orang lain, rata-rata merasa hidupnya biasa-biasa saja. Kenyataan ini pula yang sering saya temui dalam forum Aksi (Asosiasi Kewirausahaan Sosial) yang "berkegiatan usaha untuk memberi".
Tingkat kebahagiaan mereka sangat berbeda dengan kelompok lain yang terlibat kegiatan sosial untuk mencari nafkah, atau bahkan mengerjar pendapatan. Orang-orang seperti ini pun belakangan mulai tampak, tetapi mereka kurang bahagia dan selalu merasa miskin. ●
Adapun Bu Yati dan suaminya tidak berduit, tetapi merekalah orang kaya dalam arti yang sebenarnya. Bukan gubernur yang keluarganya punya 100-an perusahaan dan adiknya yang punya mobil Ferrari. Juga bukan pengacara terkenal yang pelitnya minta ampun.
Mereka berdua benar-benar kaya karena mampu memberi kurban dua kambing besar. Tahun ini berkat keberanian keduanya, kita juga mulai menyaksikan orang-orang yang hidupnya sederhana memberi kurban. Ini berbeda benar dengan orang-orang tertentu yang lebih senang pamer konsumsi. Tetapi, siapa yang hidupnya lebih bahagia?
Ekonomi kita selalu membedakan antara income dan spending. Dalam teori ekonomi klasik, kekayaaan selalu diukur dengan income (pendapatan), dan orang-orang kaya diukur dari apa yang mereka bisa beli.
Dalam perekonomian Indonesia, kalangan kaya biasanya identik dengan jenis mobil yang dimiliki, siapa yang menjadi istri atau suami, dan apa jabatannya. Maka, begitu merasa kaya, seseorang mulai membeli mobil yang jarang bisa dimiliki orang lain (Ferrari dan Lamborghini), menikahi model atau artis, dan menduduki jabatan-jabatan strategis.
Demikianlah kaya, diartikan sebagai "Spending for themselves" (mengeluarkan uang untuk diri sendiri). Maka, jangan heran kalau para ekonom belakangan sangat kecewa saat menghubungkan kekayaan suatu bangsa dengan tingkat kebahagiaan. Banyak negara kaya yang ditemukan rakyatnya kurang bahagia.
Lara Atkins, seorang peneliti pada Simon Fraser University, pun menggali makna spending. Dia membedakan antara spending money for others (mengeluarkan uang untuk orang lain) dengan spending money for themselves (mengeluarkan uang untuk keperluan pribadi). Melalui studi di Uganda dan Canada yang melibatkan 820 orang, India (101 orang dewasa), dan Afrika Selatan (207 mahasiswa), dia menemukan kebahagiaan itu jarang dirasakan oleh mereka yang hanya "Spending money for themselves".
Lewat serangkaian eksperimen dia membagi-bagikan uang kepada responden yang lalu ditugasi memberikan uang itu untuk anak-anak yang sedang sakit. Sebagian uang dipakai untuk memberi kesenangan pribadi. Manakah yang membuatnya lebih bahagia? Eksperimen itu menemukan kebahagiaan muncul dari memberi (spending on others).
Elizabeth Dunn, seorang psikolog dari University of Columbia, bekerja sama dengan Harvard Business School dan menelisik ribuan responden. Respoden-responden diminta memilih skor kebahagiaan masing-masing dan melaporkan pendapatan tahunannya. Setelah itu, mereka diminta menghitung berapa besar pendapatan yang dihabiskan untuk diri sendiri (biaya tagihan-tagihan dan keperluan untuk pribadi dan bersenang-senang), dan berapa yang diberikan untuk orang lain (hadiah, donasi, dan charity).
Kesimpulannya, mereka yang memberi lebih banyak untuk orang lain ternyata hidupnya lebih bahagia. Sementara mereka yang tak mempunyai porsi pendapatan untuk orang lain, rata-rata merasa hidupnya biasa-biasa saja. Kenyataan ini pula yang sering saya temui dalam forum Aksi (Asosiasi Kewirausahaan Sosial) yang "berkegiatan usaha untuk memberi".
Tingkat kebahagiaan mereka sangat berbeda dengan kelompok lain yang terlibat kegiatan sosial untuk mencari nafkah, atau bahkan mengerjar pendapatan. Orang-orang seperti ini pun belakangan mulai tampak, tetapi mereka kurang bahagia dan selalu merasa miskin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar