Selasa, 20 Agustus 2013

Penggabungan Usaha Industri Telekomunikasi

Penggabungan Usaha Industri Telekomunikasi
Abdul Salam Taba ;   Alumnus Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar dan School of Economics, The University of Newcastle, Australia
KORAN TEMPO, 20 Agustus 2013

Rencana penggabungan usaha antara PT XL Axiata Tbk (XL) dan PT Axis Telecom Indonesia (Axis) telah menimbulkan pro dan kontra. Bagi pihak pro, aksi korporasi kedua operator tersebut bisa meningkatkan kualitas layanan dan kinerja operator telekomunikasi, serta menguntungkan konsumen. Sebab, hal itu tidak hanya memicu peningkatan efisiensi infrastruktur dan penurunan belanja modal maupun biaya operasional operator secara signifikan, tapi juga membuat konsumen bisa menikmati kualitas layanan dengan kapasitas jaringan yang semakin membaik.
Sedangkan pihak kontra beranggapan penggabungan usaha antara XL dan Axis berpotensi mendistorsi pasar telekomunikasi. Sebab, hasil penggabungan akan membuat pangsa pasar dan penguasaan alokasi frekuensi kedua operator itu, yang notabene merupakan operator telekomunikasi dengan kepemilikan saham didominasi asing, semakin besar yang berakibat menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri telekomunikasi.
Secara umum, penggabungan usaha dibagi menjadi tiga macam, yakni penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi), sebagaimana diatur dalam Pasal 102 dan 103 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Terlepas jenis penggabungan usaha mana yang akan dipilih, yang pasti total pangsa pasar dari penggabungan usaha yang dilakukan XL dengan Axis masih di bawah 50 persen.
Sebab, pangsa pasar industri seluler-yang lazimnya diukur berdasarkan Herfindahl-Hirschman Index (HHI)-saat ini masih dikuasai oleh Telkomsel dengan jumlah pelanggan sebesar 125 juta. Posisi kedua diduduki Indosat dengan pelanggan yang berjumlah 55,9 juta, sementara basis pelanggan XL dan Axis masing-masing berjumlah 49,1 juta dan 17 juta. Artinya, penggabungan usaha yang dilakukan XL dan Axis tersebut tidak menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Namun proses penggabungan usaha kedua operator tersebut harus tetap dicermati oleh stakeholders, khususnya kementerian atau lembaga yang berwenang. Sebab, bergabungnya perusahaan, baik melalui penggabungan, peleburan, maupun pengambilalihan, berdampak mengubah konsentrasi pasar (market concentration) dan kekuatan pasar (market power) suatu perusahaan, dari yang semula tidak dominan menjadi perusahaan dominan.
Melalui posisi dominannya, perusahaan bisa melakukan penyalahgunaan (distorsi) pasar, baik secara unilateral (unilateral conduct) maupun secara terkoordinasi (coordinated conduct), misalnya dengan menetapkan harga yang tinggi atau menciptakan entry barrier. Singkatnya, kajian terhadap proses penggabungan usaha mutlak dilakukan untuk mencegah terjadinya praktek penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang oleh hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan 29 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Karena itu, keterlibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, serta Bursa Efek Indonesia diperlukan untuk mengawasi dan mencegah terjadinya distorsi pasar dalam bentuk apa pun, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang merupakan pembina dan regulator industri telekomunikasi.
Keterlibatan Kemenkominfo dan BRTI seyogianya terfokus pada aspek teknis, terutama masalah penomoran, kode akses, dan alokasi spektrum frekuensi pasca-penggabungan XL dan Axis. Sebab, ketiga hal tersebut, khususnya spektrum frekuensi yang dianggap sumber daya alam terbatas dan dikuasai negara, serta harus digunakan secara adil, rasional, dan efisien-sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Konvensi International Telecommunication Union (ITU)-merupakan masalah yang krusial.
Dikatakan krusial karena hasil penggabungan usaha akan membuat XL menguasai rentang frekuensi yang lebih luas dari operator seluler penguasa pasar. Data menunjukkan, saat ini XL menguasai frekuensi seluler di rentang spektrum 900 MHz, 2.100 MHz, dan 1.800 MHz, baik untuk 2G maupun 3G, sementara Axis memiliki dua kanal frekuensi di rentang spektrum 900 MHz dan 1.800 MHz. Akibatnya, setelah penggabungan, emiten berkode EXCL bisa menguasai lima blok 3G dari semula tiga blok, sementara di rentang 1.800 MHz dan 2.100 MHz XL seluas 22,5 MHz dari semula hanya 7,5 MHz.
Kondisi tersebut tidak hanya "mengancam" keberadaan Telkomsel, tapi juga Indosat sebagai penguasa pasar seluler peringkat kedua saat ini. Pasalnya, penguasaan rentang frekuensi pasca-penggabungan menunjang ekspansi layanan data XL dan mengurangi belanja modal untuk pembangunan BTS. Sebab, secara teknis operasional operator yang memiliki rentang frekuensi lebih luas hanya menggunakan BTS lebih sedikit.
Hal itu mungkin yang membuat beberapa kalangan meminta agar alokasi frekuensi operator yang diakuisisi XL dikembalikan ke regulator (Kemenkominfo) dengan alasan bertentangan dengan Pasal 25 ayat (1) PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, yang menyatakan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.
Namun ketentuan pasal tersebut tidak bersifat langsung mengikat, dalam arti tanpa pengecualian. Sebab, pada ayat (2) dalam pasal yang sama dinyatakan izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari.... Artinya, alokasi frekuensi hasil penggabungan usaha bisa dialihkan kepada operator yang mengambil alih jika disetujui menteri, dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika, yang merupakan regulator dan pembina industri telekomunikasi.
Selain itu, rencana penggabungan usaha antara XL dan Axis bukan yang pertama kali, melainkan sudah pernah terjadi beberapa kali dan tidak satu pun operator yang mengembalikan atau ditarik frekuensinya. Ambil contoh, konsolidasi Telkom Mobile dengan Telkomsel, pengambilalihan Satelindo oleh Indosat, konsolidasi Bakrie Telecom dengan Sampoerna Telecom Indonesia, saling-silang antara Smartfren dan Smart Telecom, dan terakhir masuknya 80 persen saham CT Corp ke Telkom Vision yang menguasai frekuensi 200 MHz di rentang spektrum 3,5 GHz untuk penyelenggaraan layanan televisi berlangganan yang berbasis satelit.

Dalam konteks demikian, rencana penggabungan usaha antara XL dan Axis seyogianya didukung dengan pemberian insentif. Insentif yang dimaksudkan dapat berupa pengalihan blok nomor dan kode akses, termasuk spektrum frekuensi milik Axis kepada XL. Kalaupun nantinya sebagian atau seluruh frekuensinya harus ditarik, penarikan tersebut hendaknya berdasarkan pertimbangan mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sebab, aksi korporasi yang dilakukan XL tersebut sejatinya berdampak memicu peningkatan kinerja dan kesehatan industri telekomunikasi secara nasional. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar