Senin, 01 Juli 2013

Tiba Saatnya Indonesia “Naik Kelas”

Tiba Saatnya Indonesia “Naik Kelas”
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Tak terasa era multipolarisme sudah berjalan hampir 22 tahun sejak bubarnya Uni Soviet, Desember 1991, menyusul keruntuhan, perpecahan, dan reunifikasi negara-negara Eropa Timur mulai Oktober 1988. Bersyukur tak ada lagi struktur bipolaris Uni Soviet-Amerika Serikat yang menimbulkan kerugian triliunan dollar AS akibat lomba senjata nuklir/konvensional AS vs Uni Soviet dan NATO vs Pakta Warsawa.

Tak ada lagi proxy wars dua adidaya itu di satelit mereka di Dunia Ketiga. Berkurang sudah jumlah pakta/pangkalan militer ala Subic Bay (Filipina) atau Cam Ranh (Vietnam). Politik subversif yang mahal di negara boneka masing-masing tak ada lagi. Tak ada alasan menyesali berakhirnya Perang Dingin selama 46 tahun, yang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya dengan mencatut nama demokrasi dan perdamaian.

Struktur multipolaris lebih dari dua kutub kekuatan tentu juga mengandung kelemahan. Ia tetap berpotensi memicu konflik, tetapi intensitasnya relatif rendah. Ia bisa menimbulkan instabilitas, tetapi wataknya jinak (benign). Ia membuka peluang bagi negara-negara berteriak lantang, tetapi tak perlu lagi menghunus pedang.
Kutub-kutub kekuatan utama tak cuma AS atau China, tetapi juga bisa India atau Jepang. Kutub-kutub itu tak cuma tingkat negara, bisa juga benua atau wilayah, seperti Eropa Barat, Asia-Pasifik, atau Afrika. 

Definisi ”kutub” (polar) masih belum permanen karena tak mustahil tumbuh lagi kutub-kutub baru kelak.
Kutub-kutub itu, dengan pemerintah sebagai pemeran utama, menyimpan ambisi untuk ikut menentukan masa depan yang lebih sejahtera. Pemerintah bertindak sebagai penyambung lidah aktor-aktor nonpemerintah, seperti pengusaha, media massa konvensional/sosial, asosiasi profesional, LSM, partai, dan rakyat. Kuasa (power) tak lagi terkonsentrasi pada pemerintah yang terpilih secara demokratis karena terbagi rata ke semua aktor.

Hidup di dunia multipolar rasanya lebih aman dan nyaman dibanding bipolar. Rasa aman dan nyaman tak lagi dijamin stok persenjataan atau jampi-jampi ideologi, tetapi oleh sandang dan pangan. Ya, sandang dan pangan itulah yang mesti selalu disediakan pemerintah dengan memaksimalkan semua sumber daya agar perut rakyat tak lapar, bisa bekerja, dan punya rumah.

Rakyat tak tertarik lagi pada sekadar cita-cita muluk negara. Rakyat berhak tahu ramifikasi dari apa yang dimaksud dengan ”kepentingan nasional”. Melihat tanda-tanda zaman, dua elemen yang dikandung ”kepentingan nasional” tersebut adalah kemandirian bangsa dan kedaulatan wilayah. Rupanya dua elemen ini pula yang jadi aspirasi rakyat Indonesia.

Kemandirian dan kedaulatan

Di Asia-Pasifik, berakhirnya bipolarisme memunculkan kembali sengketa-sengketa daratan/perairan yang tumpang tindih, antara dua atau lebih negara. Sengketa-sengketa itu telah berlangsung sejak medio 1990 dan sampai kini belum terkelola baik. Asumsinya, perang besar takkan pecah di kawasan ini dalam waktu dekat.

Sengketa-sengketa itu laten, tetapi termanifestasi dalam bentuk ketegangan diplomatik saja. Semua sengketa tersingkap lagi karena tiap negara yang terlibat mengincar potensi sumber-sumber kekayaan di wilayah sengketa. Multipolarisme menjamin stabilitas dan perdamaian global dan regional. Apalagi belum tampak sebuah kekuatan hegemonik tunggal yang beriktikad buruk menciptakan instabilitas regional.

Telah terbukti Asia-Pasifik kawasan dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di dunia, sekalipun beberapa negara di wilayah ini—termasuk Indonesia—pernah mengalami krisis moneter 1997-1998. Asia-Pasifik adalah kawasan kerja sama ekonomi, politik, dan keamanan yang melibatkan lebih dari 20 negara melalui berbagai forum multilateral. Beruntung Indonesia menyandang status middle power di Asia-Pasifik.

Kita belum naik kelas jadi ”negara strategis”, seperti Australia atau Jepang. Namun, lokasi geografis, jumlah penduduk, dan kekayaan alam kita mencapai kelas strategis. Vonis kita akan naik kelas atau tidak diputuskan dalam masa ujian tahun 2014-2019, ketika Indonesia dipimpin presiden yang baru. Dua mata pelajaran yang harus kita hafal mati untuk naik kelas adalah kemandirian bangsa dan kedaulatan wilayah.

Modal-modal sosial lain kita sudah punya: sejarah perjuangan yang berat, raihan-raihan kepemimpinan internasional dan regional yang gemilang (baca: Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Nonblok, ASEAN, dan G-20), dan praktik politik luar negeri yang bebas dan aktif. Kita sudah terlalu banyak melancarkan prakarsa-prakarsa diplomasi. Telah tiba waktunya untuk get things done.

Inilah titik lemah kita: pada tingkat praksis kita belum berhasil menyinkronkan sukses diplomasi dengan peningkatan ekspor komoditas-komoditas produksi nasional. Semua masalah bermuara pada kegagalan koordinasi antara para pemangku kepentingan di dalam negeri. Tiap masalah yang timbul sebatas diwacanakan dan solusi yang dihasilkan hanya sekadar wacana baru.

Kita mesti hati-hati: kemandirian bangsa dan kedaulatan wilayah tak henti-hentinya diganggu negara-negara lain. Apalagi ini zaman multipolar, negara-negara yang berlomba menjadi kutub akan saling memangsa. Kalau hanya jadi sasaran para pemangsa saja karena tak berhasil mewujudkan kemandirian dan kedaulatan dari sekarang, Indonesia periode 2014-2019 akan gagal memetik buah dari ”Abad Asia-Pasifik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar