|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Terbit kembali sejak 2009, setelah
10 tahun mati suri, majalah pemikiran sosial ekonomi Prisma dengan edisi Volume
32, No 2 dan No 3, 2013 bulan Juni, muncul dengan edisi khusus ”Soekarno.
Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar”. Dahsyat!
Jurnal Prisma yang
dahulunya dwibulanan, kemudian tiga bulanan, itu selama ini bisa menghidupi
dirinya. Padahal, tidak ada jurnal ilmiah di dunia mana pun yang tidak
disubsidi. Kehebatan Prisma kali ini tidak soal survivalnya, tetapi
tema dan topik yang dipilih: Soekarno, Ende, Pancasila.
Kalau pada tahun 1977 Prisma pernah
mengupas Soekarno bersama sejumlah tokoh Indonesia lainnya, kali ini Soekarno
tampil sendiri. Dalam perjalanan sejarah hidup bangsa negara Indonesia,
utamanya terkait dengan Pancasila sebagai dasar negara, Ende menorehkan kisah
dan peranan yang besar.
”Untuk mempersiapkannya, saya butuh
konsentrasi lima sampai enam bulan,” kata Daniel Dhakidae, Pemimpin
Umum/Pemimpin Redaksi Prisma, di kantor Yayasan Ende Flores, Jakarta,
pekan lalu.
Menurut Daniel, sosok Soekarno
senantiasa menarik, tidak pernah habis digali dan ditulis dari segala sisi.
Pernah dicoba dihapus dari ingatan kolektif bangsa selama Orde Baru, kemudian
menjadi tempat berpaling dalam kegalauan kehidupan berpolitik dan mencari
rujukan segar, Soekarno tampil lagi.
Soekarno ibarat marwah yang
menampilkan sosok kebesaran. Buku-bukunya diterbitkan kembali, dibaca, dicari
orang, antik, dan mahal. Senyampang itu pun buku-buku tentang romantisme
kepriaan Soekarno ditulis oleh mereka yang merasa pernah dekat dengan
Soekarno—nyaris ditulis apa adanya terus bermunculan—dan toh, orang terus
mencari dan membacanya dengan rakus.
Agar
terlewatkan
Khusus mengenai hubungan Soekarno
dan Ende, lebih khusus Ende dan Pancasila, Daniel merasa, kurang banyak
dikupas. Padahal, di Ende itulah Soekarno mengalami pemulihan dari seorang yang
”secara politik mati”, kata Mohamad Hatta, menjadi seorang ideolog politik.
Di Ende, Soekarno memulai hidup
sebagai bapak keluarga tanpa kegiatan politik sama sekali; membentuk jati
dirinya sebagai intelektual ahli Islam—sebelumnya ia melihat Islam dari luar
dan memperoleh inspirasi/kekuatan dari marxisme untuk kegiatan revolusionernya.
Di Ende, ia mengembangkan diri sebagai ideolog politik lewat diskusi rutin
setiap hari dan permainan tonil dalam kelompok Kelimoetoe Toneel Club yang dibentuknya.
”Mementaskan 13 karya asli Soekarno
dalam waktu empat tahun dengan pemain para nelayan, tukang jahit, dan petani,
serta kalangan masyarakat kelas bawah, menjadi bagian perjalanan yang
memperkaya persepsi dan perenungan Soekarno mengenal orang kecil,” kata Daniel.
Dalam tiga tahap dan tiga faktor
itu, Ende menjadi penting—bagi Daniel bukan tiga tahap, tetapi tiga sisi yang
bersamaan terjadi dan saling mengisi selama empat tahun (1934-1938) di
Ende—membenarkan sosok Soekarno kemudian sebagai ideolog negara (the state ideologist).
Referensi terbaru
Mengenai bahan-bahan bacaan,
menurut Daniel, Soekarno selalu dipasok buku-buku terbitan baru. Dengan gaji
dari Pemerintah Belanda yang cukup besar, dia memesan buku-buku baru dari
Belanda dan Jawa yang dibawa dengan kapal maskapai Belanda yang sebulan sekali
bersandar di Surabaya.
Lewat diskusi rutin setiap hari
dalam bahasa Belanda dengan para pastor—rata-rata umur tiga puluhan, lewat
pementasan tonil, dan kemudian proses perenungan mendalam—Soekarno memperoleh
pencerahan yang melahirkan Pancasila. Baru tujuh tahun kemudian, saat pidato di
depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada
1 Juni 1945 di Kantor Kemenlu Pejambon sekarang, Soekarno menyampaikannya
secara publik. Lahirlah Pancasila.
Sosok Soekarno yang gagah dan jago
pidato di mimbar membakar semangat ditampilkan sebagai pemikir yang duduk
merenung gagah. Bukan Le Penseur, sang pemikir, karya pematung Rodin dari
Perancis, tetapi Soekarno yang memandang lurus ke laut Flores, ke Indonesia
masa depan. Menyaksikan proses akhir pembuatan patung di galeri Hanafi di
Depok, Daniel merinding. ”Soekarno hidup kembali,” katanya. Bukan Soekarno
pemikir yang berpangku tangan, tetapi Soekarno yang duduk dengan gagah
menyorotkan kebesaran.
Mitos elang yang pernah dikisahkan
orang Flores tentang ”orang hebat dari Jawa” dirasakan dalam mimpi Daniel.
”Suatu malam saya ketemu Soekarno. Dia pegang tangan saya, sambil berkata,
’Soal Ende itu urusan Daniel.’ Ketika saya bangun, Soekarno hilang begitu
saja.” Kapan terjadi? Jawab Daniel, ”Salah satu hari ketika saya mempersiapkan
edisi khusus ini, ketika saya melakukan penelitian hampir enam bulan untuk
salah satu artikel yang saya tulis di dalamnya.”
Dari penelitian puluhan buku
rujukan, Daniel menemukan, Soekarno kaget ketika dalam diskusi rutin ada
pertanyaan. Pertama, ”Dalam negara yang Anda cita-citakan itu di manakah kamu
letakkan mamamu?” Kedua, ”Dalam negara yang Anda cita-citakan itu, di manakah
kamu letakkan Flores?” Kedua pertanyaan itu terkait dengan agama dan
kepercayaan dan hak asasi yang dijamin negara—mama dan mayoritas penduduk
Flores beragama Katolik—yang dijawab oleh Soekarno, ”Mereka sama dan tidak
dibeda-bedakan.” ”Tuhan menghormati semua manusia.” Bagi Soekarno, dua
pertanyaan itu menyentuh hatinya sebab menyangkut ibunya sendiri dan status
Flores.
Mengulang
peran ”Prisma”
Topik Soekarno dalam edisi
ini—terdiri atas 14 artikel di luar Topik Kita, Pengantar, Dialog, dan
Buku—diharapkan memenuhi harapan banyak orang tentang peranan Prisma pada
tahun 1980-an ketika menjadi referensi selama bertahun-tahun tentang pemikiran
sosial ekonomi.
Terbit pertama pada tahun 1971 dan
mati dengan sendirinya pada tahun 1998—semata-mata terkena dampak krisis, bukan
diberedel—Prisma termasuk yang pertama menampilkan penulis-penulis eks Pulau
Buru. ”Kami pernah menjadi sasaran kecurigaan pemerintah karena dalam sebuah
pertemuan di Kuala Lumpur ada yang menyampaikan Prisma menjadi media
untuk kebangkitan komunisme dengan menampilkan penulis-penulis bekas penghuni
Pulau Buru,” ungkap Daniel.
Kepada para pemeriksa yang
menginterogasinya, Daniel sebagai redpel waktu itu mengatakan, pidato Sudomo
bahwa para bekas tapol Buru boleh mengembangkan profesinya dia tafsirkan
kebebasan mereka menulis. Prisma tidak pernah mempertimbangkan latar
belakang penulis, selain kemampuan dan kompetensi akademis.
”Menghadapi kemungkinan ke
pengadilan, saya dan Aswab Mahasin bertemu Abang Buyung Nasution minta menjadi
pembela kami. Bang Buyung siap,” ujarnya. Namun, rupanya pemerintah menerima
alasan Prisma. Proses pengadilan tak terjadi. Mengalirlah tulisan-tulisan
para eks Pulau Buru di Prisma, kecuali tulisan Pramudya Ananta Toer.
Mengapa? ”Kami tidak berani, terlalu besar pengaruh dan peranannya.”
Edisi khusus dengan topik Soekarno
ini tetap dicetak 2.500 eksemplar. Sebanyak 500 eksemplar diedarkan dalam
seminar dan peresmian patung Soekarno di Ende pada 1 Juli 2013 oleh Wakil
Presiden Boediono. Edisi khusus itu siap dibukukan dengan judul yang sama: Soekarno. Membongkar Sisi-sisi Hidup
Putra Sang Fajar.
Topik Soekarno diangkat kembali
tidak dimaksudkan untuk menghidupkan roh Soekarno—kenyataannya sudah hidup
sejak puluhan tahun lalu, tetapi setidaknya ingin ikut membangkitkan kembali
perhatian kepada Pancasila yang mati suri berkepanjangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar