|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
akan berhenti berkuasa pada Oktober 2014. Selesai. Kepemimpinan SBY ramai
diwarnai penghargaan dari sejumlah lembaga internasional dan negara asing.
Presiden SBY menuai banyak pujian. Dalam bidang lingkungan terlebih lagi.
Presiden SBY mengesankan dunia sejak G-20 Leaders Summit di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat.
Saat itu, 25 September 2009, SBY menyatakan, Indonesia berkomitmen menurunkan
emisi karbon dari tingkat emisi jika tidak melakukan apa pun (business as usual/BAU) sebesar 26 persen
atas upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan negara asing. Dengan itu, SBY
dipandang punya komitmen kuat mengatasi problem perubahan iklim sekaligus
menerapkan pembangunan berkelanjutan. Juni 2012, SBY semakin mengesankan dunia
dengan konsep sustainable growth
with equity.
Menjelang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 di
kantor Center for International Forestry
Research (Cifor), SBY berorasi dengan tajuk ”Sustainable Growth with
Equity” yang dibawakan Indonesia dalam Konferensi Rio+20 Juni tahun lalu.
Indonesia juga dipuji atas kepeloporannya karena sukses membentuk Coral Triangle Initiative on Coral Reefs,
Fisheries, and Food Security yang dilaporkan melibatkan banyak pemangku
kepentingan dari masyarakat dan sektor bisnis.
September 2011, SBY juga mengesankan setidaknya Direktur Umum
Cifor (saat itu) Frances Seymour serta Menteri Lingkungan dan Kerja Sama Luar
Negeri Norwegia (waktu itu) Eric Solheim. Saat itu, SBY dalam pidatonya
mengatakan, ”Saya tidak mau suatu saat nanti harus menjelaskan kepada cucu
saya, Almira, bahwa kami, pada zaman kami, tidak menyelamatkan hutan dan
orang-orang yang hidupnya bergantung pada hutan. Saya tidak mau menceritakan
kisah menyedihkan tentang harimau, badak, dan orangutan yang punah seperti
dinosaurus.”
Last but not least,
proyek skema REDD+ Indonesia bersama Norwegia—yang menyediakan dana 1 miliar
dollar AS—selalu dijadikan contoh pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan.
Namun, meski sudah dua tahun, sesuai jadwal persiapan, masih ada pekerjaan
rumah pada REDD+. Lembaga REDD+ serta persoalan pengukuran, pelaporan, dan
verifikasi (MRV) per 21 Juni 2013 belum selesai.
Moratorium yang ditetapkan dengan instruksi presiden dua
tahunan, seiring proyek REDD+, terus dilakukan. Kebijakan satu peta dimulai.
Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru direvisi enam bulan sekali di
tengah berbagai kritik dan masukan. Banyak aktivis lingkungan skeptis bahwa
setelah moratorium usai tidak akan hujan izin konsesi atau pertambangan.
Persoalan lahan dan kawasan hutan merupakan persoalan kronis
yang berakar jauh hingga era pasca-penjajahan Belanda. Tak pernah diselesaikan
tuntas. Pada era Orde Baru di bawah Soeharto, konsesi diberikan kepada
kroni-kroni penguasa. Pada era pasca-Reformasi dengan berlakunya otonomi
daerah, konsesi lahan dan izin pertambangan ditangani daerah dan pusat. Akibatnya,
penerbitan izin menjadi semakin sulit dikontrol. Konflik horizontal antara dua
kelompok masyarakat dan konflik vertikal antara masyarakat dan pengusaha atau
aparat keamanan terjadi di sejumlah tempat. Data Huma tahun 2012, ada sekitar
170 kasus konflik terkait hak atas lahan dan kawasan hutan.
Timpang
Tekad SBY yang mendapat apresiasi tinggi dari dunia
internasional tidak diimbangi regulasi yang kuat dan mendasar serta laku
birokrasi yang profesional. Dasar regulasi semua urusan terkait perubahan
iklim—langsung berhubungan dengan masalah emisi karbon—lemah. Peraturan berada
di bawah level undang-undang, yaitu instruksi presiden atau peraturan presiden
(perpres).
Mulai dari pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim
(Perpres Nomor 46 Tahun 2008) hingga Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) yang dibuat dalam bentuk Perpres No 61/2011. Persiapan
REDD+ ditugaskan kepada Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden No 19/2010 dan dua kali diperpanjang tugasnya hingga akhir
Juni 2013.
Lembaga REDD+ yang disiapkan Satgas dan para pihak terkait
sebagai pelaksana proyek REDD+ serta Staf Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim
Agus Purnomo akan berbentuk semacam Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan yang dibentuk berdasarkan Perpres No 54/2009.
Dengan semua peraturan di bawah undang-undang,
keberlanjutannya pada era pasca-SBY patut dipertanyakan. Semua lembaga yang
mengurus perkara perubahan iklim tersebut akan dengan mudah dibubarkan jika
presiden mendatang tidak punya pandangan sama dengan SBY.
Di sisi lain, cetak biru pembangunan, Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), meski juga
didasarkan pada Perpres No 32/2011, dikerjakan oleh kementerian/lembaga negara.
Dalam MP3EI, seluruh bangunan infrastruktur yang menunjang percepatan industri
ekstraktif, yang menghancurkan kawasan hutan dan mengubah bentang alam—misal
pelabuhan gas alam di Blok Natuna D-Alpha yang bakal merusak jalur bertelurnya
penyu sejauh 90 kilometer—dilakukan oleh kementerian/lembaga tingkat pusat.
Dalam perhelatan internasional, jarang sekali MP3EI disajikan mendetail, amat
berbeda dengan berbagai ”janji” menurunkan emisi dan melakukan pembangunan
berkelanjutan.
Yang lebih berbahaya adalah meletakkan kedua hal itu dalam
koordinasi dua kementerian koordinator yang berbeda kondisi awalinya. Perkara
MP3EI berada di bawah Menteri Koordinator Perekonomian yang berorientasi pada
ekonomi pertumbuhan. Sementara urusan perubahan iklim berada di bawah Menteri
Koordinator Kesejahteraan Sosial yang lebih berorientasi pada konservasi dan
kesejahteraan masyarakat akar rumput.
Dengan cara berpikir yang tidak holistik ini, seakan ada dua
komandan dalam membangun, yang mengakibatkan sulitnya menjaga komitmen
melakukan pembangunan berkelanjutan. Benarkah pemerintahignorant (abai)?
Di ruang mana kedua menteri koordinator akan berkoordinasi? RAN-GRK di tingkat
nasional dan daerah yang sudah dua tahun ini digarap, menurut pengamatan Indonesia Climate Action Network, tidak
juga diimplementasikan penuh.
Tidak sinergisnya penanganan kedua persoalan besar tersebut
masih diperparah dengan berbagai peraturan yang bertentangan. Saat ini, DPR
sedang membahas RUU Pemberantasan Perusakan Hutan yang rawan kriminalisasi
masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan atau di pinggir hutan.
Padahal, 16 Mei lalu, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan
hutan adat dikembalikan dari hutan negara menjadi hutan hak adat—ini setidaknya
meliputi 40 juta hektar lahan hutan (upaya menyelesaikan persoalan batas hutan
oleh tim khusus sekarang baru selesai sekitar 19 persen). Kecepatan
penyelesaian hak atas lahan tidak sebanding dengan kecepatan deforestasi yang
sekitar 1,1 juta hektar per tahun dari versi aktivis lingkungan dan sekitar
450.000 hektar per tahun versi Kementerian Kehutanan.
Sementara peran Kementerian Lingkungan Hidup sebagai panglima
penyelamat dan pengaman lingkungan sesuai mandat Undang-Undang No 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kalah menonjol
dibandingkan dengan kerja sebagai lembaga pemberi berbagai penghargaan.
Presiden SBY akan berhenti berkuasa pada Oktober 2014. Dengan
sedikit catatan di atas, jejak SBY di bidang lingkungan ibarat jejak di atas
lumpur. Amat sulit, nyaris mustahil, dihaluskan, diratakan, atau disamarkan.
Akar persoalan secara keseluruhan adalah pada target kerja Presiden: untuk
mendapatkan citra internasional yang membanggakan, tetapi di lapangan banyak
masyarakat yang kehilangan hak untuk hidup, atau target kepemimpinan untuk
membuat semua lapisan masyarakat hidup berdampingan dengan damai dan semua
mendapatkan hak dasarnya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar