Selasa, 02 Juli 2013

Memaknai Kebebasan Guru

Memaknai Kebebasan Guru
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 01 Juli 2013


SELAMAT datang kurikulum baru 2013! Bersiaplah wahai para guru untuk menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya; mandiri, inovatif, dan kreatif. Kurikulum baru, konon katanya, akan menyediakan banyak sekali ruang kebebasan bagi guru untuk berekspresi secara otonom. Kebebasan yang tak sepenuhnya bebas itu pasti akan ditandai beragam kebingungan guru dan anakanak jika pelatih an guru yang dijanjikan serta buku pegangan guru dan siswa yang digadang-gadang pertama dalam sejarah kurikulum modern ini belum dilakukan dan dibagikan.

Sejatinya kebebasan guru sudah dimungkinkan ketika reformasi dicanangkan lebih dari satu dasawarsa silam. Kita ingat bagaimana melalui undang-undang otonomi pendidikan kita berubah dari tersentralisasi menjadi terdesentralisasi, serta memunculkan beberapa kebijakan di bidang pendidikan seperti manajemen berbasis sekolah (MBS/school-based management), rencana implementasi kurikulum berbasis kompetensi (curriculum-based competence), dan kurikulum berbasis sekolah (school-based curriculum).

Namun, semua konsep tadi seperti senyap karena implementasi dilakukan tanpa assessment, perencanaan, dan kebijakan anggaran yang ngawur dan terkesan asal jadi. Akibatnya, sebagaimana diakui Surakhmad (2002), otonomi pendidikan kita secara psikologis dan politis dirasakan amat terlambat tetapi secara teknis terlalu cepat sehingga semua jenis kebijakan menjadi meluncur tanpa arah yang jelas. Semua perundangan dan aturan datang silih berganti tanpa ada evaluasi yang memadai. Akibatnya, terjadi tumpang tindih antaraturan sehingga prinsip-prinsip otonomi pendidikan menjadi ikut ternodai.

Kebijakan MBS sebenarnya merupakan bentuk nyata keinginan kita untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik, demokratis, dan manusiawi. Di berbagai negara, kebijakan jenis itu dalam catatan Noble (1996) setidaknya mampu; 1) meningkatkan prestasi akademik peserta didik (academic achievement), 2) meningkatkan pertanggungjawaban (accountability) di antara para pengambil kebijakan, 3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment) ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan untuk kegunaan politis (political utility) karena para pengambil kebijakan di masyarakat benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan sekolah.

Sementara itu, kebijakan kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis sekolah seharusnya merupakan keharusan dan kelanjutan dari kebijakan MBS. Namun dalam perjalanannya, lagi-lagi, menjadi terseok dan dilupakan karena pendidikan lebih banyak berputar di arena politik. Akibat logisnya, kontrol anggaran menjadi lemah dan bahkan sama sekali tak memiliki basis filosofis yang kuat.

Sensitivitas itulah yang tak dimiliki para praktisi pendidikan kita, termasuk rendahnya kualitas anggota parlemen kita dalam menggiring anggaran yang pro pada kebijakan yang sesungguhnya baik itu. Bahkan dalam satu dasawarsa terakhir, kita lebih sibuk memikirkan ujian nasional sebagai alat ukur kualitas pendidikan ketimbang menghargai dan melihat proses yang sesungguhnya terjadi di sekolah.

Proses pembelajaran

Jika ketiga kebijakan itu terus dikontrol secara ketat dan tertib, baik aspek teknis maupun anggarannya, kita pasti akan memiliki makna kebebasan guru yang sesungguhnya. Guru yang tidak terpenjara oleh jenis kejar setoran seperti model evaluasi jenis ujian nasional yang menafi kan peran dan kebebasan guru dalam menilai. Implementasi kebijakan MBS sesungguhnya akan berkaitan langsung dengan proses pembelajaran di kelas.

Beberapa riset tentang hal itu bahkan menyimpulkan bahwa MBS berkorelasi positif terhadap kehadiran guru (attendance), kepercayaan (trust), dan kepuasan terhadap guru (job satisfaction) dalam mengajar. Kepercayaan merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran di kelas, terutama ketika seorang guru mampu menunjukkan jati dirinya sebagai guru yang mandiri, kreatif, dan inovatif.

Ciri lain dari kebebasan guru juga dapat dilihat dari dan berkaitan erat dengan pembelajaran yang demokratis. Pembelajaran yang kooperatif (cooperative learning) merupakan salah satu strategi guru dalam membelajarkan para peserta didik dengan melibatkan mereka dalam kelompok kecil untuk melakukan aktivitas belajar guna meningkatkan interaksi yang positif.

Model cooperative learning dapat meningkatkan ingatan (retention), penggunaan level alasan yang lebih baik, kepercayaan diri, dan kemampuan dalam bersosialisasi di antara peserta didik. Selain itu, cooperative learning dapat meningkatkan motivasi belajar dan membuat peserta didik lebih mendalami materi pelajaran yang dipelajari.

Kurikulum baru yang sesungguhnya juga tidak barubaru amat, lebih banyak mengadaptasi kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum itu berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik, serta pada keberagaman sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum tersebut diharapkan dapat benar-benar membuat peserta didik mempunyai kompetensi pada mata pelajaran yang diajarkan, yaitu tidak hanya sampai pada ranah kognitif tingkat rendah, tetapi harus sampai pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik tingkat tinggi.

Untuk menjaring hasil kerja yang dilakukan peserta didik, dalam melaksanakan penilaian, guru dapat melakukannya dengan berbagai bentuk tes seperti tes tertulis, tes penampilan (performance), penugasan atau proyek, dan kumpulan hasil kerja dan tugas peserta didik dengan disertai komentar guru (portofolio).


Dengan memperhatikan rencana pemberlakuan dan muatan kurikulum berbasis kompetensi seperti itu, di satu sisi guru memang mempunyai kebebasan dalam melakukan pembelajaran, mulai menyusun silabus, melaksanakan pembelajaran di kelas, sampai dengan melakukan evaluasi. Namun di sisi lain, kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab dan volume tugas yang lebih berat. Oleh karena itu, pemberlakuan kurikulum baru itu harus diikuti pembaruan yang lain, seperti diseminasi kepada guru dan pengurangan jumlah peserta didik maksimal dalam satu rombongan belajar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar