|
MEDIA
INDONESIA, 01 Juli 2013
DALAM sejarah para nabi, Nuh merupakan penyelamat keberlangsungan
umat manusia karena berhasil membuat perahu yang membuat manusia terhindar dari
badai besar siksa Tuhan. Akan tetapi, kita tak mungkin dan tak bisa
menganalogikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh
seperti Nabi Nuh meski seolah dapat dikesankan bahwa dengan kurikulum 2013 yang
baru, seakan-akan dia akan menyelamatkan dunia pendidikan Indonesia yang nyaris
karam karena tak kunjung meningkat kualitasnya.
Kurikulum
yang dibuat Mendikbud saat ini terhitung sudah merupakan perubahan yang
kesekian kalinya sebagai penyempurnaan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Padahal, KTSP belum tuntas dilaksanakan baik dari segi sosialisasi
hingga proses implementasi di sekolah. Perlukah kurikulum diubah atau
disempurnakan?
Jika
kurikulum dimaksudkan sebagai panduan atau roadmap proses pembelajaran dalam
rangka terciptanya kualitas pendidikan, perubahan terhadapnya jelas merupakan
keniscayaan. Dengan sifatnya yang sangat dinamis, kurikulum memang sudah
seyogianya berubah dan menyesuaikan perkembangan zaman dan perkembangan anak
didik. Keberanian Mendikbud untuk mengubah kurikulum patut diapresiasi jika
tujuannya ialah menjadikan anak-anak Indonesia lebih beradab dan santun. Yang
perlu dipastikan ialah seberapa siap para guru yang akan menjadi ujung tombak
perubahan itu?
Perubahan
kurikulum itu perlu selagi masih ada pendidikan karena pendidikan akan selalu
ada selagi masih ada kehidupan. Dengan demikian, jika setiap bentuk pendidikan
formal perlu kurikulum, kurikulum itu perlu diubah sesuai dengan kebutuhan zamannya.
`Curriculum is a product of time...
curriculum responds to and is changed by social forces, philosophical
positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational
leadership at its moment in history' (Oliva, 1992:29). Sebagai sebuah
produk waktu, kurikulum pasti akan berubah sebagai respons terhadap berubahnya
masyarakat, landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara, perkembangan
pengetahuan, serta perubahan lainnya.
Tetap perlu inovatif
Perubahan
orientasi kurikulum 2013 yang akan lebih banyak menekankan aspek pengembangan
sikap dan perilaku anak jelas harus didukung. Sudah saatnya para guru
mempersiapkan diri dengan tuntutan itu, terutama dalam menyiapkan beragam tool dan kreativitas dalam menjalankan
proses belajar-mengajar di kelas. Asumsi saya mengatakan, jika pada KTSP guru
disibukkan dengan pembuatan lesson design atau rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), dengan adanya buku pegangan guru dan siswa yang disiapkan sebagai
komplemen dari kurikulum 2013 tentu akan memudahkan guru dalam menjalani proses
belajar-mengajar di kelas. Meski demikian, tetap saja kreativitas dan inovasi
pembelajaran yang kaya strategi dan metode akan sangat dibutuhkan para guru.
Perubahan
kurikulum secara esensial pasti akan mengubah pula standar nasional pendidikan
(SNP), yang pada akhirnya akan berkonsekuensi pada perubahan standar isi,
standar proses, dan standar kompetensi lulusan, standar penilaian, standar
tenaga pendidik dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan dan standar pembiayaan. Semuanya sudah dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah No 19 Tahun 2005 dengan perubahannya (PP No 32 Tahun 2013) tentang
standar nasional pendidikan (SNP). Namun menurut saya, di antara standar nasional
pendidikan, yang sangat dominan dalam peningkatan mutu pendidikan ada di dalam
standar proses.
Itu
artinya dari delapan standar yang sudah ditetapkan pemerintah melalui UU Sistem
Pendidikan Nasional, standar proses harus menjadi titik fokus para guru dengan
bantuan dari para fasilitator dan pengawas tingkat nasional. Dalam UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1 menyebutkan guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur utama mendidi mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Beban
‘profesional’ yang dimiliki seorang guru tentu saja menuntut kesungguhan dan
ketekunan dalam setiap usaha peningkatan proses belajarmengajar di dalam kelas.
Kapasitas dan kompetensi guru harus terus dipacu dan ditingkatkan, baik peningkatan
aspek kompetensi keilmuannya mau pun kompetensi pedagogis, kepri badian, dan
sosial seorang guru.
Karena
itu, momen pember lakuan kuriku lum baru juga dapat dimanfaat kan pemerintah
dalam membuat assessment secara komprehensif un tuk memetakan kemampuan guru
berdasarkan ting kat kompetensi akademis, leader ship dan sosial, untuk dan
dalam rangka mening katkan standar proses belajar mengajar di kelas, sekolah,
dan ling kungan lainnya.
Peran pengawas
Sebagus
apa pun perubahan kuri kulum pendi dikan, semuanya akan sangat bergantung
kepada kemampuan guru. Dalam banyak kasus, guru terkesan berjalan sendiri tanpa
proses pendampingan yang memadai, baik dari kepala sekolah, teman sejawat,
maupun pengawas.
Menurut
pengalaman saya, misalnya dalam kasus KTSP, banyak guru yang kemampuan
kreativitasnya tidak terasah sehingga ketika mengajar menjadi statis, apalagi
standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar telah tersusun dalam
format SKKD. Dalam menyusun indikator, terlihat banyak guru seolah hanya meng-copy-paste
SKKD dan menjadi dokumen laporan, tetapi sangat jauh panggang dari api ketika
hal itu dipraktikkan di dalam kelas. Seakan tak ada ketersambungan SKKD dengan
indikator yang ditetapkan tiap guru. Pengawas juga memiliki kelemahan yang sama
dengan dalih minimnya waktu kunjungan dalam menyupervisi dan sebagainya.
Kemampuan
guru dalam memahami karakteristik mata pelajaran juga amat lemah. Saya tak
dapat membayangkan jika kurikulum baru di tingkat sekolah dasar akan
menggunakan pendekatan tematik-integratif, tetapi tanpa pelatihan yang konstan
dan terpadu, proses belajar-mengajar dari yang seharusnya lebih menyenangkan
malah akan menegangkan siswa dan guru itu sendiri. Pemahaman tentang aspek
pedagogis dari tematik-integratif tentu harus diimbangi dengan melatih seluruh
pemangku kepentingan (stakeholder)
pendidikan di lingkungan sekolah, terutama pengawas, kepala sekolah, dan para
orangtua terpilih dari komite sekolah serta lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang serius ingin membantu peningkatan mutu pendidikan.
Peran
pengawas (supervisor) sangat signifi
kan dalam peningkatan standar proses. Standar proses meliputi persyaratan
pembelajaran, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran oleh guru baik
di dalam kelas maupun di luar kelas, termasuk di antaranya bagaimana harus
disupervisi dan dievaluasi. Untuk menjaga stabilitas keseluruhan proses itu,
diperlukan pengawas dan kepala sekolah yang kuat secara visi dan kompetensi,
juga melalui sebuah penahapan pengawasan yang disepakati bersama antara guru,
kepala sekolah, dan pengawas.
Beberapa
kelemahan yang selama ini ada dalam mengawal standar proses, menurut saya, ada
lima hal. Pertama, belum ada standar baku yang dijadikan sebagai tolok ukur
atau persyaratan dalam sebuah proses belajarmengajar sehingga hasilnya belum
optimal. Kedua, rasio guru-siswa dan guru-rombongan belajar juga masih jauh
dari kriteria ideal untuk suatu tahap proses belajarmengajar yang baik dan
menyenangkan. Ketiga, masih banyak guru membuat RPP secara serampangan karena kemalasan
mereka dalam membaca.
Keempat,
proses supervisi belum dilakukan secara berjenjang, misalnya dimulai dari
peer-teacher, kemudian meningkat menjadi pengawasan kepala sekolah, hingga ke
pengawas. Kelima, evaluasi hasil belajar peserta didik dalam proses
pembelajaran cenderung menggunakan domain kognitif, yang belum semua teknik
penilaian digunakan secara optimal. Itulah, antara lain, kelemahan-kelemahan
yang menghambat peningkatan mutu pendidikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar