Selasa, 02 Juli 2013

Kurikulum Baru dan Peningkatan Standar Proses

Kurikulum Baru dan Peningkatan Standar Proses
Neni Hayati Nufus ;  Pengawas SD Kecamatan Bekasi Utara
MEDIA INDONESIA, 01 Juli 2013


DALAM sejarah para nabi, Nuh merupakan penyelamat keberlangsungan umat manusia karena berhasil membuat perahu yang membuat manusia terhindar dari badai besar siksa Tuhan. Akan tetapi, kita tak mungkin dan tak bisa menganalogikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh seperti Nabi Nuh meski seolah dapat dikesankan bahwa dengan kurikulum 2013 yang baru, seakan-akan dia akan menyelamatkan dunia pendidikan Indonesia yang nyaris karam karena tak kunjung meningkat kualitasnya.

Kurikulum yang dibuat Mendikbud saat ini terhitung sudah merupakan perubahan yang kesekian kalinya sebagai penyempurnaan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Padahal, KTSP belum tuntas dilaksanakan baik dari segi sosialisasi hingga proses implementasi di sekolah. Perlukah kurikulum diubah atau disempurnakan?

Jika kurikulum dimaksudkan sebagai panduan atau roadmap proses pembelajaran dalam rangka terciptanya kualitas pendidikan, perubahan terhadapnya jelas merupakan keniscayaan. Dengan sifatnya yang sangat dinamis, kurikulum memang sudah seyogianya berubah dan menyesuaikan perkembangan zaman dan perkembangan anak didik. Keberanian Mendikbud untuk mengubah kurikulum patut diapresiasi jika tujuannya ialah menjadikan anak-anak Indonesia lebih beradab dan santun. Yang perlu dipastikan ialah seberapa siap para guru yang akan menjadi ujung tombak perubahan itu?

Perubahan kurikulum itu perlu selagi masih ada pendidikan karena pendidikan akan selalu ada selagi masih ada kehidupan. Dengan demikian, jika setiap bentuk pendidikan formal perlu kurikulum, kurikulum itu perlu diubah sesuai dengan kebutuhan zamannya. `Curriculum is a product of time... curriculum responds to and is changed by social forces, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history' (Oliva, 1992:29). Sebagai sebuah produk waktu, kurikulum pasti akan berubah sebagai respons terhadap berubahnya masyarakat, landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara, perkembangan pengetahuan, serta perubahan lainnya.

Tetap perlu inovatif

Perubahan orientasi kurikulum 2013 yang akan lebih banyak menekankan aspek pengembangan sikap dan perilaku anak jelas harus didukung. Sudah saatnya para guru mempersiapkan diri dengan tuntutan itu, terutama dalam menyiapkan beragam tool dan kreativitas dalam menjalankan proses belajar-mengajar di kelas. Asumsi saya mengatakan, jika pada KTSP guru disibukkan dengan pembuatan lesson design atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dengan adanya buku pegangan guru dan siswa yang disiapkan sebagai komplemen dari kurikulum 2013 tentu akan memudahkan guru dalam menjalani proses belajar-mengajar di kelas. Meski demikian, tetap saja kreativitas dan inovasi pembelajaran yang kaya strategi dan metode akan sangat dibutuhkan para guru.

Perubahan kurikulum secara esensial pasti akan mengubah pula standar nasional pendidikan (SNP), yang pada akhirnya akan berkonsekuensi pada perubahan standar isi, standar proses, dan standar kompetensi lulusan, standar penilaian, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan dan standar pembiayaan. Semuanya sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 dengan perubahannya (PP No 32 Tahun 2013) tentang standar nasional pendidikan (SNP). Namun menurut saya, di antara standar nasional pendidikan, yang sangat dominan dalam peningkatan mutu pendidikan ada di dalam standar proses.

Itu artinya dari delapan standar yang sudah ditetapkan pemerintah melalui UU Sistem Pendidikan Nasional, standar proses harus menjadi titik fokus para guru dengan bantuan dari para fasilitator dan pengawas tingkat nasional. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1 menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur utama mendidi mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Beban ‘profesional’ yang dimiliki seorang guru tentu saja menuntut kesungguhan dan ketekunan dalam setiap usaha peningkatan proses belajarmengajar di dalam kelas. Kapasitas dan kompetensi guru harus terus dipacu dan ditingkatkan, baik peningkatan aspek kompetensi keilmuannya mau pun kompetensi pedagogis, kepri badian, dan sosial seorang guru.

Karena itu, momen pember lakuan kuriku lum baru juga dapat dimanfaat kan pemerintah dalam membuat assessment secara komprehensif un tuk memetakan kemampuan guru berdasarkan ting kat kompetensi akademis, leader ship dan sosial, untuk dan dalam rangka mening katkan standar proses belajar mengajar di kelas, sekolah, dan ling kungan lainnya.

Peran pengawas

Sebagus apa pun perubahan kuri kulum pendi dikan, semuanya akan sangat bergantung kepada kemampuan guru. Dalam banyak kasus, guru terkesan berjalan sendiri tanpa proses pendampingan yang memadai, baik dari kepala sekolah, teman sejawat, maupun pengawas.

Menurut pengalaman saya, misalnya dalam kasus KTSP, banyak guru yang kemampuan kreativitasnya tidak terasah sehingga ketika mengajar menjadi statis, apalagi standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar telah tersusun dalam format SKKD. Dalam menyusun indikator, terlihat banyak guru seolah hanya meng-copy-paste SKKD dan menjadi dokumen laporan, tetapi sangat jauh panggang dari api ketika hal itu dipraktikkan di dalam kelas. Seakan tak ada ketersambungan SKKD dengan indikator yang ditetapkan tiap guru. Pengawas juga memiliki kelemahan yang sama dengan dalih minimnya waktu kunjungan dalam menyupervisi dan sebagainya.

Kemampuan guru dalam memahami karakteristik mata pelajaran juga amat lemah. Saya tak dapat membayangkan jika kurikulum baru di tingkat sekolah dasar akan menggunakan pendekatan tematik-integratif, tetapi tanpa pelatihan yang konstan dan terpadu, proses belajar-mengajar dari yang seharusnya lebih menyenangkan malah akan menegangkan siswa dan guru itu sendiri. Pemahaman tentang aspek pedagogis dari tematik-integratif tentu harus diimbangi dengan melatih seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan di lingkungan sekolah, terutama pengawas, kepala sekolah, dan para orangtua terpilih dari komite sekolah serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang serius ingin membantu peningkatan mutu pendidikan.

Peran pengawas (supervisor) sangat signifi kan dalam peningkatan standar proses. Standar proses meliputi persyaratan pembelajaran, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran oleh guru baik di dalam kelas maupun di luar kelas, termasuk di antaranya bagaimana harus disupervisi dan dievaluasi. Untuk menjaga stabilitas keseluruhan proses itu, diperlukan pengawas dan kepala sekolah yang kuat secara visi dan kompetensi, juga melalui sebuah penahapan pengawasan yang disepakati bersama antara guru, kepala sekolah, dan pengawas.

Beberapa kelemahan yang selama ini ada dalam mengawal standar proses, menurut saya, ada lima hal. Pertama, belum ada standar baku yang dijadikan sebagai tolok ukur atau persyaratan dalam sebuah proses belajarmengajar sehingga hasilnya belum optimal. Kedua, rasio guru-siswa dan guru-rombongan belajar juga masih jauh dari kriteria ideal untuk suatu tahap proses belajarmengajar yang baik dan menyenangkan. Ketiga, masih banyak guru membuat RPP secara serampangan karena kemalasan mereka dalam membaca.


Keempat, proses supervisi belum dilakukan secara berjenjang, misalnya dimulai dari peer-teacher, kemudian meningkat menjadi pengawasan kepala sekolah, hingga ke pengawas. Kelima, evaluasi hasil belajar peserta didik dalam proses pembelajaran cenderung menggunakan domain kognitif, yang belum semua teknik penilaian digunakan secara optimal. Itulah, antara lain, kelemahan-kelemahan yang menghambat peningkatan mutu pendidikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar