|
MEDIA
INDONESIA, 01 Juli 2013
SELAMAT datang kurikulum baru
2013! Bersiaplah wahai para guru untuk menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya;
mandiri, inovatif, dan kreatif. Kurikulum baru, konon katanya, akan menyediakan
banyak sekali ruang kebebasan bagi guru untuk berekspresi secara otonom.
Kebebasan yang tak sepenuhnya bebas itu pasti akan ditandai beragam kebingungan
guru dan anakanak jika pelatih an guru yang dijanjikan serta buku pegangan guru
dan siswa yang digadang-gadang pertama dalam sejarah kurikulum modern ini belum
dilakukan dan dibagikan.
Sejatinya kebebasan guru sudah dimungkinkan ketika
reformasi dicanangkan lebih dari satu dasawarsa silam. Kita ingat bagaimana
melalui undang-undang otonomi pendidikan kita berubah dari tersentralisasi
menjadi terdesentralisasi, serta memunculkan beberapa kebijakan di bidang
pendidikan seperti manajemen berbasis sekolah (MBS/school-based management), rencana implementasi kurikulum berbasis
kompetensi (curriculum-based competence),
dan kurikulum berbasis sekolah (school-based
curriculum).
Namun, semua konsep tadi seperti
senyap karena implementasi dilakukan tanpa assessment, perencanaan, dan
kebijakan anggaran yang ngawur dan terkesan asal jadi. Akibatnya, sebagaimana
diakui Surakhmad (2002), otonomi pendidikan kita secara psikologis dan politis
dirasakan amat terlambat tetapi secara teknis terlalu cepat sehingga semua
jenis kebijakan menjadi meluncur tanpa arah yang jelas. Semua perundangan dan
aturan datang silih berganti tanpa ada evaluasi yang memadai. Akibatnya,
terjadi tumpang tindih antaraturan sehingga prinsip-prinsip otonomi pendidikan
menjadi ikut ternodai.
Kebijakan MBS sebenarnya merupakan bentuk nyata keinginan
kita untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik,
demokratis, dan manusiawi. Di berbagai negara, kebijakan jenis itu dalam
catatan Noble (1996) setidaknya mampu; 1) meningkatkan prestasi akademik
peserta didik (academic achievement), 2) meningkatkan pertanggungjawaban (accountability) di antara para pengambil
kebijakan, 3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment)
ke arah perbaikan budaya sekolah (school
culture), dan untuk kegunaan politis (political
utility) karena para pengambil kebijakan di masyarakat benar-benar
mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan sekolah.
Sementara itu, kebijakan kurikulum berbasis kompetensi dan
kurikulum berbasis sekolah seharusnya merupakan keharusan dan kelanjutan dari
kebijakan MBS. Namun dalam perjalanannya, lagi-lagi, menjadi terseok dan
dilupakan karena pendidikan lebih banyak berputar di arena politik. Akibat
logisnya, kontrol anggaran menjadi lemah dan bahkan sama sekali tak memiliki
basis filosofis yang kuat.
Sensitivitas itulah yang tak dimiliki para praktisi
pendidikan kita, termasuk rendahnya kualitas anggota parlemen kita dalam
menggiring anggaran yang pro pada kebijakan yang sesungguhnya baik itu. Bahkan
dalam satu dasawarsa terakhir, kita lebih sibuk memikirkan ujian nasional
sebagai alat ukur kualitas pendidikan ketimbang menghargai dan melihat proses
yang sesungguhnya terjadi di sekolah.
Proses
pembelajaran
Jika ketiga kebijakan itu terus dikontrol secara ketat dan
tertib, baik aspek teknis maupun anggarannya, kita pasti akan memiliki makna
kebebasan guru yang sesungguhnya. Guru yang tidak terpenjara oleh jenis kejar
setoran seperti model evaluasi jenis ujian nasional yang menafi kan peran dan
kebebasan guru dalam menilai. Implementasi kebijakan MBS sesungguhnya akan
berkaitan langsung dengan proses pembelajaran di kelas.
Beberapa riset tentang hal itu bahkan menyimpulkan bahwa
MBS berkorelasi positif terhadap kehadiran guru (attendance), kepercayaan (trust),
dan kepuasan terhadap guru (job
satisfaction) dalam mengajar. Kepercayaan merupakan aspek yang sangat
penting dalam pembelajaran di kelas, terutama ketika seorang guru mampu
menunjukkan jati dirinya sebagai guru yang mandiri, kreatif, dan inovatif.
Ciri lain dari kebebasan guru juga dapat dilihat dari dan
berkaitan erat dengan pembelajaran yang demokratis. Pembelajaran yang
kooperatif (cooperative learning)
merupakan salah satu strategi guru dalam membelajarkan para peserta didik
dengan melibatkan mereka dalam kelompok kecil untuk melakukan aktivitas belajar
guna meningkatkan interaksi yang positif.
Model cooperative
learning dapat meningkatkan ingatan (retention),
penggunaan level alasan yang lebih baik, kepercayaan diri, dan kemampuan dalam
bersosialisasi di antara peserta didik. Selain itu, cooperative learning dapat meningkatkan motivasi belajar dan
membuat peserta didik lebih mendalami materi pelajaran yang dipelajari.
Kurikulum baru yang sesungguhnya juga tidak barubaru amat,
lebih banyak mengadaptasi kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum itu
berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik,
serta pada keberagaman sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum tersebut
diharapkan dapat benar-benar membuat peserta didik mempunyai kompetensi pada
mata pelajaran yang diajarkan, yaitu tidak hanya sampai pada ranah kognitif
tingkat rendah, tetapi harus sampai pada ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik tingkat tinggi.
Untuk menjaring hasil kerja yang dilakukan peserta didik,
dalam melaksanakan penilaian, guru dapat melakukannya dengan berbagai bentuk
tes seperti tes tertulis, tes penampilan (performance),
penugasan atau proyek, dan kumpulan hasil kerja dan tugas peserta didik dengan
disertai komentar guru (portofolio).
Dengan memperhatikan rencana pemberlakuan dan muatan
kurikulum berbasis kompetensi seperti itu, di satu sisi guru memang mempunyai
kebebasan dalam melakukan pembelajaran, mulai menyusun silabus, melaksanakan
pembelajaran di kelas, sampai dengan melakukan evaluasi. Namun di sisi lain,
kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab dan volume tugas yang lebih
berat. Oleh karena itu, pemberlakuan kurikulum baru itu harus diikuti pembaruan
yang lain, seperti diseminasi kepada guru dan pengurangan jumlah peserta didik
maksimal dalam satu rombongan belajar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar