Senin, 01 Juli 2013

Memahami Konsekuensi RI dalam G-20

Memahami Konsekuensi RI dalam G-20
Simon Saragih ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Keanggotaan G-20, 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, diperdebatkan. Kriteria keanggotaan dinilai tidak jelas dan lemah, yang menyebabkan pamor G-20 lemah pula. Demikian, antara lain, dituliskan di situs harian ”The Wall Street Journal” edisi 19 Juni 2012. ”The G-20 Needs Better Admissions Standards” demikian judul tulisan oleh Alex M Brill dan James K Glassman.

Brill adalah peneliti di American Enterprise Institute. Glassman adalah Direktur Eksekutif di George W Bush Institute. Mereka pernah menelaah siapa saja yang layak menjadi anggota G-20. Keduanya mendebat keberadaan Argentina, Indonesia, Meksiko, dan Rusia dalam keanggotaan di G-20. Sebaliknya, menyarankan Swiss, Malaysia, Norwegia, dan Singapura menjadi anggota.

Alasannya, Argentina itu kecil dan tidak bisa dijamin akan memegang kontrak sesuai hukum internasional. Argentina pernah membatalkan secara sepihak utang internasional. Argentina di bawah Presiden Cristina Hernandez juga belum lama membatalkan kontrak migas dengan perusahaan Spanyol, Repsol. Senator Amerika Serikat Richard Lugar pada 2012 meminta Argentina didepak dari G-20.

Indonesia juga tidak luput dari kritikan. Indonesia lebih besar dari Argentina secara ekonomi, tetapi dianggap tidak memiliki kualifikasi menjadi anggota G-20. Indonesia dimaklumi untuk bisa bertahan jika menjalankan janji reformasi perekonomian.

Meksiko dan Rusia juga dianggap tidak memiliki persyaratan kuat sebagai anggota G-20. Pada intinya, kedua penulis itu menyimpulkan, keanggotaan G-20 telah cacat dan memiliki krisis legitimasi.
Persyaratan utama untuk menjadi anggota berdasarkan riset yang dilakukan National Taxpayers Union (AS) adalah ukuran ekonomi. Syarat kedua adalah keberadaan hukum yang jelas dan penghormatan pada prinsip-prinsip ekonomi berdasarkan mekanisme pasar. Faktor ketiga adalah ketersambungan sektor keuangan dengan dunia luar.

Malaysia, Singapura, Swiss, dan Norwegia dianggap lebih cocok menjadi anggota G-20. Dengan demikian, G-20 akan bisa mengejawantahkan tiga tujuan utama. Pertama, koordinasi kebijakan di antara para anggota dengan tujuan meraih stabilitas ekonomi global dan kesinambungan pertumbuhan. Kedua, mempromosikan regulasi keuangan dan mengurangi risiko serta pencegahan krisis pada masa depan. Ketiga, memodernisasi arsitektur keuangan internasional.

Argumentasi di atas benar dari satu sisi. Dengan argumentasi itu, maka G-20 yang beranggotakan 19 negara (Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, dan AS) plus Uni Eropa dianggap akan sulit mewujudkan impiannya.

Sejauh ini, G-20 memang terkesan tidak bergigi. Kelompok ini dibentuk pada September 1999 saat para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-7 bertemu di Washington DC, seusai krisis ekonomi Asia 1997-1998. Pamor G-20 sempat mengemuka ketika George W Bush mengundang semua pimpinannya bertemu di Washington pada 14-15 November 2008.

G-20 mewakili 90 persen produksi domestik bruto (PDB) dunia, 90 persen perdagangan global, dua pertiga penduduk dunia, dan penghasil 84 persen energi fosil dunia.

Seiring berjalannya waktu, pamor G-20 mulai merosot, antara lain karena kekacauan ekonomi negara anggota setelah pertemuan pada 2008 itu. Ini karena krisis melanda Eropa dan AS. Jepang dilanda stagnasi walau mencoba bangkit lewat depresiasi yen, yang ternyata juga memiliki kekuatan terbatas.

Pajak

Kini negara maju yang ada di G-20 diharu biru aksi penghindaran pajak. Keputusan G-8 pada Selasa (19/6) menghasilkan komunike untuk memberangus aksi penghindaran pajak. Sebelumnya, Uni Eropa juga mencanangkan pemberangusan kawasan-kawasan surga pajak. Ini karena negara bobol akibat praktik kejahatan kerah putih.

G-8, yang kedelapan anggotanya menjadi inti G-20, telah mempermalukan diri sendiri. Sanjungan pada Singapura karena memiliki hukum yang bagus dan ketersambungan sektor keuangan dengan dunia luar juga mulai meragukan. Pada 2 Juni lalu, kantor berita Agence France Presse menuliskan, Menteri Anggaran Perancis Jerome Cahuzac mengakui telah mentransfer dana dari cabang UBS di Swiss untuk menghindari pembayaran pajak. Akan tetapi, karena Pemerintah Swiss bersepakat mengusut rekening Cahuzac, maka dia mentransfer 770.000 dollar AS ke Singapura.

Dengan sendirinya integritas Singapura pun dipertanyakan soal asal uang simpanan warga asing. Negara ini boleh andal soal aturan main bisnis, tetapi perannya makin terkuak sebagai ajang penghindaran beban pajak, setidaknya oleh Cahuzac.

Lebih bahaya mana? Negara yang kurang bagus aturan main atau negara yang bagus aturan main tetapi secara hipokrit implisit juga melindungi tabungan ”haram”?

Akhir kata, keanggotaan G-20, lepas dari polemiknya, tetaplah sesuatu yang membanggakan bagi Indonesia jika disadari betul. Direktur Bank Pembangunan Asia di Indonesia, Edimon Ginting, mengatakan, G-20 kini malah lebih relevan dari G-8. Hal serupa dikatakan Dewi Fortuna Anwar. Menurut Dewi, secara sosial politik global G-20 lebih layak pada masa sekarang.

”G-8 adalah sentra krisis dan kini tidak punya legitimasi kuat lagi dan kekuatan susah berkembang ke arah negara berkembang,” demikian pendapat ekonom Universitas Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko.
Namun, sudahkah Indonesia berpacu dengan dirinya sendiri? Sudahkah Indonesia layak sebagai anggota G-20 dan melakukan langkah-langkah perbaikan ekonomi? Apakah Indonesia sudah bertindak sesuai perannya sebagai anggota G-20?

Pengusaha Anton Supit berpendapat, hal itu belum maksimal. ”Untuk bisa meyakinkan negara-negara besar yang tergabung di G-20, kita harus punya ’dapur’ yang bisa mengkaji dan membuat proposal yang matang dan bermutu. Saat kita sebagai Ketua ASEAN saja, tidak ada yang signifikan bisa kita lakukan. Ini masalah kepemimpinan. Di dalam negeri saja soal kepemimpinan sudah bermasalah, apalagi kalau mau memengaruhi negara-negara besar,” ujarnya.

Pemerintah kurang bisa memanfaatkan semua potensi bangsa, terutama yang bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa. ”Kita terjebak dalam politik praktis yang hanya berpikir soal pemilu ke pemilu, hari ke hari, tidak berpikir demi masa depan bangsa dalam konteks jangka panjang,” tambah Anton Supit.

Sebagai negara yang diprediksi akan menjadi adikuasa, Indonesia sejak dini sudah harus menata diri. Saatnyalah Indonesia beralih dari negara yang berkutat pada masalah sendiri menjadi solusi bagi geopolitik global. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar