|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Nota Kesepahaman Helsinki yang
ditandatangani Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada 2005 telah menjadi
kisah sukses berhentinya konflik panjang di Aceh. Harapan kehidupan baru yang
damai, sejahtera, dan demokratis pun hadir. Namun, masa damai tak serta-merta
menyemaikan harapan-harapan baru dengan mudah. Beragam persoalan menghampar.
Nota Kesepahaman (MOU) Helsinki
membawa era politik baru di Aceh. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Aceh mendapatkan sejumlah kewenangan khusus dari
pemerintah pusat untuk mengurus dirinya. Era politik baru di Aceh pun dimulai. Partai
lokal juga muncul dan calon independen dimungkinkan untuk mewadahi aspirasi
masyarakat. Syariat Islam disepakati untuk diterapkan, selain kewenangan lain,
seperti pengelolaan sumber daya alam, penguasaan atas 70 persen cadangan
hidrokarbon, serta hak atas dana otonomi khusus.
Perjanjian damai menjadi babak baru
hubungan pemerintah pusat dengan Aceh, yang kini dikuasai mantan elite Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Namun, hubungan baru yang diharapkan hangat kenyataannya
kerap memanas. Implementasi atas butir-butir MOU Helsinki dan UU No 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh yang tak kunjung tuntas kerap memantik ketegangan
Aceh dengan pusat. Ditambah sejumlah regulasi yang tumpang tindih, terutama
kekhususan Aceh vis a vis aturan perundangan nasional, sering memunculkan
perbedaan interpretasi yang berujung pada perselisihan.
Penolakan Partai Aceh (didirikan
para mantan anggota GAM), yang kini menjadi kekuatan politik paling dominan di
Aceh, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 256 UU
Pemerintahan Aceh adalah salah satu bentuk rentannya ketegangan pusat dengan
Aceh di masa damai.
Penolakan tersebut tak hanya
sebatas pada polemik regulasi. Dalam prosesnya kemudian diikuti dengan
memanasnya suhu politik lokal, yang diwarnai sejumlah penembakan misterius
terhadap etnis pendatang, dan sejumlah kekerasan politik lainnya sepanjang
tahun 2011 dan awal 2012.
Isu termutakhir adalah keinginan
Pemerintah Aceh mengadopsi simbol-simbol GAM sebagai bendera dan lambang Aceh.
Bahkan, Pemerintah Aceh mengesahkan simbol tersebut dalam Qanun Nomor 3
Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Pemerintah pusat menolak qanun
tersebut karena dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Namun, para elite politik Aceh tetap
bergeming dengan penolakan itu.
Isu simbol kerap memicu
perselisihan. Pusat pun menyampaikan keprihatinannya soal simbol-simbol GAM,
yang terus digunakan, termasuk pada perayaan ulang tahun GAM. Namun, Partai
Aceh mengklaim, GAM—sebagai penandatangan MOU—berhak tetap eksis sampai semua
ketentuan MOU dipenuhi secara memuaskan oleh pemerintah pusat. Kedua belah
pihak sampai saat ini belum mendapatkan titik temu.
Dalam politik lokal, terciptanya
kelembagaan demokrasi formal, seperti partai politik lokal baru, belum mengarah
pada terbangunnya stabilitas politik demokratis. Yang terjadi justru
fragmentasi politik di antara kekuatan-kekuatan politik karena kepentingan
politik jangka pendek, ekonomi, dan proyek anggaran pemerintah.
Sayangnya, perbedaan politik itu
tak hadir bersamaan dengan pemahaman toleransi atas perbedaan. Contohnya, saat
pilkada tahun lalu. Serangkaian intimidasi dan kekerasan politik terjadi
terhadap partai politik atau calon tertentu. Partai Aceh sebagai partai lokal
terbesar belum menampilkan dirinya secara elegan sebagai partai demokratis.
Meski konflik telah resmi berakhir
pada 2005, karakteristik budaya politiknya masih kental oleh nuansa
konfrontatif dan mobilisasi untuk mendapatkan citra dan dukungan massa. Dengan
berkuasanya mantan pemberontak di tampuk eksekutif dan legislatif, sentimen
khusus akan cepat dibangun jika terjadi perbedaan pendapat dengan pusat.
Proses demokratisasi kurang
berjalan. Segala bentuk kebijakan ditentukan oleh kelompok yang berkuasa. Pada
saat yang sama, peran masyarakat sipil melemah dalam mengkritik kondisi
tersebut.
Kesenjangan
dan fragmentasi
Riset LIPI pada Mei 2013, ”Kerangka
Kerja Pencegahan Konflik Sosial di Indonesia: Strategi dan Tindakan Penanganan
Isu Konflik”, Aceh termasuk dari lima daerah yang memiliki tipologi daerah
konflik tinggi (selain Papua dan Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, serta
Kalimantan Barat).
Itu karena beberapa hal, yakni
residu pascakonflik yang didominasi perebutan sumber daya dan isu identitas.
Selain itu, ketimpangan sosial ekonomi juga merupakan faktor penting dari
kontestasi politik di Aceh.
Kenyataannya, delapan tahun setelah
disepakatinya MOU Helsinki, Aceh masih tertinggal di belakang provinsi-provinsi
lain di Indonesia. Sekitar 20 persen penduduknya masih berada di bawah garis
kemiskinan sehingga menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin keenam di
Indonesia.
Padahal, dengan dana otonomi
khusus, secara keseluruhan, sejak 2008 hingga 2012, Aceh membelanjakan sekitar
Rp 91 triliun. Nilai anggaran tersebut lebih besar dari semua provinsi di
Sumatera dan menempatkan Aceh sebagai provinsi dengan nilai anggaran terbesar
ke-7 nasional.
Koordinator Masyarakat Transparansi
Aceh (Mata) Alfian menilai, perencanaan pembangunan yang buruk jadi problem
untuk meningkatkan serapan anggaran bagi pengurangan kemiskinan di Aceh.
Perencanaan pembangunan lebih didominasi kepentingan-kepentingan politik
penguasa sehingga tak tepat sasaran. ”Program lebih banyak dibuat untuk
bagi-bagi anggaran kepada kelompok-kelompok tertentu di Aceh,” katanya.
Hampir semua lini kekuatan GAM
pasca-MOU Helsinki mendapatkan posisi dari struktur kekuasaan. Sebut saja,
Malek Mahmud diangkat menjadi Wali Nanggroe; Zaini Abdullah dipilih melalui PA
sebagai Gubernur Aceh; Muzakir Manaf sebagai Ketua Partai Aceh dan sekaligus
sebagai Wakil Gubernur Aceh.
Hampir semua elite lokal GAM berada
pada posisi Komite Peralihan Aceh. Beberapa anggota DPR Aceh dan kabupaten atau
kota merupakan mantan atau yang diusung Partai Aceh. Namun, tak sedikit mantan
kombatan GAM yang tak menikmati ”kue” kekuasaan yang diperoleh GAM pada masa
damai ini.
Pengamat sosial politik Aceh Adli
Abdullah mengatakan, kelompok-kelompok eks GAM yang kecewa sangat rawan
dimanfaatkan kelompok tertentu untuk bergerak. ”Di eks GAM saat ini ada dua kelompok,
yaitu kelompok mata air dan air mata. Kelompok air mata ini adalah mereka yang
kecewa dengan sepak terjang elite-elite GAM yang sekarang berkuasa dan hidup
mewah,” katanya.
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, dosen
Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, dalam penelitiannya di Universitas
Malikussaleh Lhokseumawe, Juni lalu, mengungkapkan, para pengikut setia Hasan
Tiro menganggap tak ada kata damai di Aceh. Beberapa anggota kombatan memilih
untuk tak terlibat dengan apa yang dilakukan elite GAM. ”Bagi kelompok ini,
kata yang hendak dicapai dalam berjuang adalah merdeka, bukan damai,”
ungkapnya.
Ada pula kelompok yang berevolusi
menjadi neo-GAM yang ingin terus berjuang Aceh merdeka. Kelompok neo-GAM ini
tak punya tokoh sekaliber Hasan Tiro. Namun, tetap berkonsolidasi internal bagi
penguatan kekuatan GAM baru pada masa datang.
Bahkan, beberapa kombatan setia
tersebut tak peduli dengan aktivitas diplomasi para eksponen GAM di dalam dan
luar negeri. ”Mereka memiliki koneksi ke luar negeri dan melobi di tingkat
pemerintahan untuk mendapatkan jatah dari proyek yang berhasil didapatkan,” kata Kamaruzzaman.
Sayangnya, di tengah fragmentasi
politik yang mengancam itu, upaya rekonsiliasi antar-kekuatan politik lokal dan
kelompok GAM lain tak juga dilakukan pemerintahan Aceh yang baru. Setidaknya
hingga setahun pertama kekuasaannya saat ini. Persoalan ketertinggalan
pembangunan ekonomi pun tak mendapat perhatian. Pemerintah Aceh justru lebih
disibukkan polemik simbol, Qanun Wali Nanggroe dan beberapa aturan pemilu
melawan pemerintah pusat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar