|
KOMPAS,
20 Juni 2013
Bagaikan prahara melanda: ratusan bakal calon
anggota badan legislatif untuk DPR dan DPRD rontok akibat tak terpenuhinya
syarat keterwakilan 30 persen perempuan. Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat
maupun daerah, menggugurkan seluruh bakal caleg di daerah pemilihan yang kuota
keikutsertaan perempuannya tidak tercapai.
Merujuk pada apa yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, daftar bakal calon anggota badan legislatif
yang diajukan partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan
perempuan. Frasa ”paling sedikit” menunjukkan bahwa syarat ini bersifat
imperatif. Konsekuensinya, akan ada akibat hukum bagi parpol peserta pemilu
yang tidak mematuhinya.
Menurut UU ini, konsekuensi tersebut
berbentuk diumumkannya parpol peserta pemilu yang tidak mampu memenuhi
keterwakilan perempuan. Harapannya, publiklah yang akan memberikan hukuman bagi
parpol yang tidak mampu memberikan perhatian khusus bagi kaum perempuan.
Menindaklanjuti ketentuan tersebut, KPU
melalui Peraturan No 7/2013 menegaskan kembali kewajiban pemenuhan syarat
keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg yang diajukan parpol peserta
pemilu. Peraturan ini secara implisit menyatakan bahwa partai politik dalam
mengajukan bakal caleg wajib memperhatikan penyertaan sekurang-kurangnya 30
persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan.
Jika tidak terpenuhi, parpol yang
bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada
suatu daerah pemilihan. Dalam arti, semua bakal caleg yang diajukan gugur
akibat tidak terpenuhi syarat keterwakilan perempuan. Konsekuensi berikutnya,
parpol peserta pemilu tidak lagi memiliki kesempatan memperoleh kursi pada
daerah pemilihan yang bersangkutan.
Politik afirmatif
Berkaca dari dua pemilihan umum terakhir,
implementasi politik afirmasi tidaklah terlalu buruk. Justru secara kuantitatif
jumlah caleg perempuan terus meningkat dari pemilu ke pemilu. Berdasarkan data
KPU, dalam Pemilu 2004 tercatat sebanyak 32,2 persen caleg perempuan. Pada
Pemilu 2009 meningkat menjadi 34,7 persen. Sementara itu, untuk Pemilu 2014,
dari 6.576 bakal caleg, 2.434 orang atau 37 persen merupakan bakal caleg
perempuan.
Sekalipun secara kualitatif masih perlu
dipertanyakan, tren peningkatan keikutsertaan perempuan dalam pemilu patut
diapresiasi. Semakin besar jumlah perempuan yang masuk dalam daftar caleg,
semakin besar pula peluang perempuan untuk terpilih. Apalagi kondisi ini
diperkuat dengan adanya ketentuan yang mengatur dalam tiap tiga caleg minimal
satu caleg perempuan di setiap daerah pemilihan.
Hanya saja, apakah politik afirmatif juga
mesti diwujudkan dengan menggugurkan bakal caleg lainnya dalam satu daerah
pemilihan seperti yang tertera dalam peraturan KPU? Harus diingat, UUD 1945
membolehkan adanya perlakuan khusus dalam rangka mencapai persamaan dan keadilan.
Perlakuan khusus adalah untuk dan tidak boleh melampaui prinsip persamaan dan
keadilan. Oleh karena itu, perlakuan khusus bagi perempuan semestinya
diintroduksi ke dalam sistem pemilu dengan melakukan pengetatan proses
pencalonan. Dalam arti, ruang partai politik peserta pemilu untuk berkelit dari
memprioritaskan caleg perempuan ditekan sedemikian rupa sehingga parpol peserta
pemilu tidak memiliki pilihan lain, kecuali memberikan perhatian khusus bagi
bakal caleg perempuan.
Sehubungan dengan itu, penguatan posisi
perempuan dalam politik tidak mesti dilakukan dengan membatalkan keikutsertaan
seseorang yang kebetulan berada di daerah pemilihan yang keterwakilan
perempuannya tidak mencapai 30 persen. Soalnya, keikutsertaan dalam pemilu
merupakan hak konstitusional yang juga wajib dihormati dan dilindungi.
Seiring dengan itu, bakal caleg lain yang
memenuhi syarat seharusnya tidak dijadikan tumbal penanggung dosa satu orang
bakal caleg perempuan yang tidak memenuhi syarat. Lagi pula, menyatakan parpol
peserta pemilu tidak memenuhi syarat untuk suatu daerah pemilihan justru
semakin mempersempit ruang keikutsertaan perempuan dalam pemilu.
Selain itu, berdasarkan data keterlibatan
perempuan sebagaimana dibentangkan di atas, keberhasilan politik afirmatif
semestinya tidak lagi hanya diukur secara kuantitatif. Dalam arti, hanya
melihat keterpenuhan 30 persen dalam satu daerah pemilihan semata sebab angka
tersebut telah jauh dilampaui dalam pemilu-pemilu pascareformasi. Politik
afirmatif sudah harus diperluas ke arah kualitas keterlibatan perempuan dalam
proses kontestasi pemilu. Kata kuncinya adalah pendidikan politik bagi
perempuan. Dalam hal ini, partai politik sebagai pemangku kepentingan utama
dibebani kewajiban memprioritaskan pendidikan politik bagi kaum perempuan.
Konsekuensi
Secara normatif, ketentuan sanksi bagi parpol
peserta pemilu yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam Peraturan
KPU No 7/2013 jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi sebab, sebagai peraturan pelaksana, apa yang diatur di dalamnya jelas
berbeda dengan apa yang ditentukan undang-undang.
Hanya saja, pada kenyataannya peraturan ini
justru diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemilu, terutama
partai politik. Sejak peraturan itu dikeluarkan, parpol peserta pemilu tidak
terlalu mempersoalkannya. Buktinya, tidak ada upaya hukum yang ditempuh jika
peraturan ini dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.
Reaksi justru baru muncul ketika ratusan
caleg berguguran akibat sejumlah parpol peserta pemilu dinyatakan tidak
memenuhi syarat di banyak daerah pemilihan akibat tidak dapat memenuhi
persyaratan ini. Beberapa parpol peserta pemilu telah menyatakan akan melakukan
perlawanan atas keputusan KPU.
Sehubungan dengan tersebut, dapat dibayangkan
kondisi yang pernah terjadi dalam proses verifikasi dan penetapan parpol
peserta pemilu yang begitu riuh akan terulang kembali. Kanal-kanal penyelesaian
masalah hukum pemilu akan dibanjiri komplain. Sejumlah langkah, baik formal
maupun nonformal, akan ditempuh. Jika saja persoalan norma ini dapat
diselesaikan sejak awal, tentunya badai keterwakilan perempuan tidak akan
membuat luluh lantak bakal caleg yang diajukan partai politik peserta pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar