Meskipun BP Migas sudah dibubarkan Mahkamah Konstitusi sejak November
2012, pemerintah terus mempertahankan sistem tata kelola model ”B to G”
dengan hanya mengganti baju BP Migas.
Langkah ini bentuk potensi pelanggaran terhadap konstitusi terkait
pengelolaan kekayaan minyak dan gas (migas), baik yang terkandung di perut
bumi maupun terkait dengan BBM/energi yang merupakan cabang produksi
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang mestinya dikelola
negara.
Dengan Peraturan Presiden No 95 Tahun 2012, Presiden mengalihkan
tugas dan fungsi BP Migas ke Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) Migas.
Tak berselang lama,
10 Januari 2013, Presiden kembali mengeluarkan Perpres No 9 Tahun
2013 yang mengubah SKSP Migas menjadi Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana
Kegiatan Hulu Migas.
BP Migas, SKSP Migas, dan SKK Migas pada hakikatnya ”makhluk” yang
sama. Ketiganya sama-sama lembaga pemerintah non-bisnis yang tidak bisa
menjual sendiri migas milik negara, tetapi harus melalui pihak ketiga,
sehingga terbuka peluang bagi para pemburu rente (trader/calo) untuk
menyedot uang negara meski lewat mekanisme ”tender”. Ketiga lembaga
pemerintah ini sama-sama tak bisa mengoperasikan lapangan/blok produksi
yang sudah selesai kontrak sehingga terbuka ruang rekayasa untuk
memperpanjang kontrak atau dioper ke kontraktor/pemburu rente yang lain.
Ketiganya juga sama-sama jadi pintu bagi tereksposenya aset negara di
luar negeri sehingga bisa disita perusahaan minyak internasional bila
terjadi dispute. Tata kelola seperti ini jelas melanggar konstitusi karena
telah terbukti mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara. Juga telah
terbukti negara dirugikan secara finansial dalam jumlah sangat besar.
Tata Kelola yang Buruk
Sejak keberadaan UU Migas (UU No 22 Tahun 2001), nyaris tak ada
penemuan cadangan baru karena anjloknya kegiatan eksplorasi yang disebabkan
tata kelola yang sangat buruk, lebih buruk dari semua negara tetangga
termasuk Timor Leste (World Petroleum
Survey 2011). Tata kelola yang buruk ini berdampak pada produksi minyak
yang terus anjlok, sedangkan cost recovery yang dibayar negara terus
meroket. Persoalannya, tata kelola yang sangat buruk dan terbukti merugikan
ini justru terus dipertahankan pemerintah.
Ketergantungan pada migas impor yang terus melonjak menimbulkan
defisit perdagangan migas yang kian membengkak. Pada 2012, defisit migas
mencapai rekor tertinggi dalam sejarah perminyakan nasional dengan nilai
defisit mencapai 5 miliar dollar AS. Ketergantungan pada energi impor juga
semakin besar karena produksi (lifting)
minyak yang sangat rendah dan kapasitas kilang yang stagnan.
Produksi minyak pada 2012 hanya berkisar 850.000-an bbls per hari.
Padahal, pada 2004 saat Presiden SBY mulai berkuasa, produksi minyak masih
sekitar 1,2 juta bbls per hari. Semua permasalahan ini menempatkan
ketahanan energi nasional menjadi sangat riskan di tengah kebutuhan BBM
nasional yang terus meningkat.
Di sisi lain, pengapalan gas/LNG Tangguh ke China yang dijual dengan
sangat murah terus terjadi. Pemerintah/SKK Migas tak berkuasa menyetop
karena sudah kehilangan kedaulatan. Padahal, PLN dan industri dalam negeri
sangat kekurangan gas.
Ketahanan energi menjadi tambah buruk karena program diversifikasi
untuk mengurangi ketergantungan pada BBM berjalan asal-asalan. Malah yang
sedang dan hendak diterapkan adalah program yang kontraproduktif dengan
menjatah/membatasi kebutuhan BBM rakyat, yang rawan memicu kerusuhan
sosial.
Bahkan, Komite Ekonomi Nasional telah mengusulkan agar pemilik
kendaraan pribadi dilarang membeli BBM bersubsidi. Usul ini sama dengan
memaksa rakyat membeli BBM non-subsidi alias identik ”menaikkan” harga
lebih dari 100 persen. Kalau subsidi BBM dirasakan sudah terlalu besar,
jauh lebih rasional menaikkan harga BBM bersubsidi daripada volume BBM
bersubsidi dijatah/dibatasi atau rakyat dipaksa membeli BBM non-subsidi.
Harus Segera Diakhiri
Kondisi buruk pengelolaan migas nasional sejatinya segera diakhiri
dengan mengubah dan merestorasi sistem tata kelola saat ini—didasarkan UU
No 22 Tahun 2001—untuk dikembalikan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Konkretnya, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dihormati dan
dilaksanakan konsisten oleh pemerintah.
Namun, yang terjadi justru pemerintah sejauh ini terkesan ”abai”
terhadap keputusan MK yang telah membubarkan BP Migas. Hal ini, misalnya,
terlihat dari pernyataan-pernyataan Wakil Menteri ESDM yang menuduh MK
menggunakan data yang salah dalam membubarkan BP Migas. Juga ada upaya
sistemik untuk melanggengkan model tata kelola yang berpola ”B to G”
(business to government) dengan hanya ”mengganti baju” BP Migas tanpa ada
upaya menutup lubang masuk bagi para pemburu rente.
Oleh karena itu, Presiden/pemerintah perlu didesak untuk segera
mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) guna mengembalikan
tata kelola migas nasional sesuai amanat konstitusi dengan alasan sangat
mendesak dan urgen.
Kondisi urgen antara lain ditandai hilangnya kedaulatan negara atas
kekayaan migas, tereksposenya aset negara untuk dapat disita perusahaan
asing setiap saat terjadi sengketa selama SKK Migas dipertahankan, serta sistem
yang menciptakan migas milik negara harus dijual lewat pihak ketiga
(calo/trader). Juga terus berlangsungnya pengapalan gas ke luar negeri
dengan harga sangat murah di tengah krisis gas di dalam negeri, dan
kegiatan/investasi eksplorasi yang minim yang diikuti produksi minyak yang
sangat rendah sebagai akibat dicabutnya asas lex specialis. Belum lagi
ketahanan energi yang sudah sangat rawan karena ketergantungan pada impor
yang sangat besar dan terus meningkat, serta tata kelola migas nasional
saat ini yang sangat buruk.
Solusi Model PM Juanda
Kiranya sudah cukup alasan bagi Presiden untuk segera mengeluarkan
perppu untuk mengembalikan tata kelola migas nasional sesuai amanat Pasal
33 UUD 1945. Yurisprudensi dan langkah brilian PM Ir H Juanda yang
mengeluarkan Perppu Bidang Pertambangan untuk mengganti Indische Mijnwet
1899—UU pertambangan zaman kolonial —yang dinilai sangat merugikan negara
perlu diikuti.
Perppu yang dikeluarkan PM Juanda pada 1958 itu kemudian oleh DPR
disahkan menjadi UU No 44/Prp/1960, yang intinya adalah hanya negara (yang
diwakili perusahaan negara) yang boleh melakukan penambangan. Perusahaan
minyak asing hanya berkontrak dengan perusahaan negara.
Sejarah dan bukti empiris akhirnya membuktikan, konsep PM Juanda-lah
yang benar karena—langsung atau tidak—pemerintah tak ikut berkontrak. Pola
hubungan dengan perusahaan asing mengikuti pola B to B (business to business); perusahaan
negaralah yang berkontrak dengan perusahaan asing.
Konsep dari IMF (dan para kolaboratornya) yang menempatkan pemerintah
(melalui BP Migas) berkontrak dengan perusahaan asing, dan migas bagian
negara harus dijual lewat pihak ketiga, terbukti melanggar konstitusi dan
sangat merugikan negara secara finansial. Dengan konsep PM Juanda,
kedaulatan negara tetap terjaga dan sumber daya alam migas bisa dikelola
bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebab, migas kita bisa
dijual dan dikembangkan sendiri oleh negara melalui perusahaan negara tanpa
harus melalui pihak ketiga, yang sering kali menjadi pintu masuk bagi
pemburu rente guna menyedot potensi pendapatan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar