Cerita korupsi di negeri ini
belum juga usai. Dari mulai Century, Wisma Atlet, Hambalang, rekening
gendut pejabat Polri dan simulator SIM di Polri, pengadaan Alquran, hingga
yang terbaru terkait impor daging sapi. Pelakunya bukan hanya dari kalangan
pejabat pemerintah, tapi juga aparat penegak hukum, anggota parlemen dan
kader partai. Di semua lembaga pemerintah, baik itu di eksekutif,
yudikatif, maupun legislatif terjadi korupsi. Dari pemerintah pusat hingga
pemerintah daerah ke bawah.
Korupsi
merupakan kejahatan besar yang perlu ditangani dengan cara-cara luar biasa.
Pada bagian Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan, “Bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi
perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa.”
Vito Tanzi
dalam bukunya Policies, Institutions
and The Dark Side of Economics (2000), mendeskripsikan dampak kualitatif
dan kuantitatif korupsi di sektor ekonomi. Dampak kualitatif di antaranya
pertama, menurunkan kemampuan pemerintah dalam menerapkan kontrol dan
melakukan pengawasan untuk memperbaiki kegagalan pasar. Kedua, mendistorsi
insentif, karena individu cenderung memburu rente ketimbang melakukan
aktivitas yang produktif. Ketiga, merupakan pajak tambahan yang harus
dibayar dan ongkos korupsi semakin membesar jika terdesentralisasi.
Keempat, mereduksi peran fundamental pemerintah, terutama untuk menegakkan
kontrak dan kesepakatan hukum, melindungi hak milik, dan seterusnya.
Kelima, menurunkan legitimasi ekonomi pasar dan demokrasi. Keenam,
meningkatkan kemiskinan, karena menurunkan potensi pendapatan orang miskin.
Sementara itu,
dampak korupsi di sektor ekonomi berdasarkan studi kuantitatif di antaranya
pertama, mereduksi investasi dengan konsekuensi mereduksi tingkat
pertumbuhan. Kedua, menurunkan belanja pendidikan dan kesehatan, karena
belanja publik ini tidak memberi keuntungan langsung kepada si pembuat anggaran.
Ketiga, meningkatkan investasi publik, karena proyek ini membuka peluang
korupsi dalam bentuk suap kepada pejabat tinggi. Keempat, menurunkan
anggaran belanja operasional dan pemeliharaan infrastruktur. Kelima,
menurunkan produktivitas investasi publik dan infrastruktur suatu negara.
Keenam, menurunkan penerimaan pajak. Ketujuh, menurunkan investasi
langsung, karena korupsi merupakan pajak tambahan.
Menurut Bank
Dunia, korupsi akan melemahkan kemampuan negara dalam menyediakan barang
publik dasar, pelayanan publik yang esensial dan menegakkan aturan yang
membuat masyarakat bisa berfungsi dengan efektif.
Korupsi menjadi
pajak tambahan yang harus ditanggung orang miskin, menciptakan risiko
makroekonomi yang besar, mengancam stabilitas finansial, mengompromikan
keamanan untuk rakyat dan hukum, serta menurunkan legitimasi dan
kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Korupsi adalah ancaman signifikan
terhadap keberhasilan transisi ekonomi dan politik di Indonesia.
Korupsi adalah
jenis kejahatan yang oleh Mancur Olson seperti dikutip Bank Dunia disebut
dengan “roving bandit versus
stationary bandit”. Korupsi dianalogikan seperti bandit yang menjarah
harta penduduk desa. Penjarahan roving
bandit dilakukan dengan cara mengisap hingga tuntas seluruh sumber daya
yang ada di area yang dikuasai. Ketika sumber daya di wilayah itu habis,
mereka pindah mencari wilayah jarahan baru. Dengan demikian, roving bandit terus-menerus bergerak
dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Stationary bandit sebaliknya. Ia justru
cenderung berdiam diri di satu wilayah atau desa. Bandit ini tidak
menghabiskan seluruh sumber daya desa tersebut. Bahkan, dia atau mereka
membiarkan warga atau penduduk di wilayah yang dikuasai melakukan aktivitas
seperti biasa. Bandit tidak mengambil seluruh sumber daya, melainkan
mengambil setoran dari penduduk yang mereka kuasai. Mereka justru bertindak
dan berperan sebagai pelindung agar penduduk dapat terus-menerus memberikan
upeti.
Peran “Civil Society”
Korupsi,
seperti disebutkan dalam UU, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pemberantasan korupsi mutlak
memerlukan dukungan dari masyarakat atau civil society termasuk di dalamnya lembaga-lembaga swadaya
masyarakat maupun para aktivis antikorupsi. Bukan hanya dukungan terhadap
upaya-upaya pemberantasan korupsi, tapi juga melakukan tekanan-tekanan
terhadap pihak-pihak yang berkewajiban memberantas korupsi untuk serius dan
tegas menjalankan fungsinya. Dalam hal ini, pemerintah yang
direpresentasikan oleh KPK dan aparat penegak hukum, baik di kepolisian
maupun pengadilan.
Muncul, tumbuh
dan kian kuatnya dukungan dan tekanan masyarakat sangat dimungkinkan di
tengah alam demokrasi seperti saat ini yang menjamin kebebasan berekspresi
dan berpendapat. Selain itu, dengan berbagai kemajuan di bidang teknologi
terutama media massa dan jaringan internet yang di dalamnya begitu banyak
jejaring sosial yang memungkinkan masyarakat semakin cepat mengetahui
pelbagai isu korupsi dan perkembangan kasus hukum di pengadilan terkait
korupsi yang terjadi di negeri ini. Saat ini, masyarakat relatif lebih
mudah mengambil peran penting dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Masyarakat
tidak bisa lagi menyerahkan tanggung jawab pemberantasan korupsi
semata-mata hanya kepada KPK. Meskipun KPK merupakan lembaga independen
yang dibentuk pemerintah, itu tidak menjamin KPK benar-benar steril dari
intervensi atau kooptasi pihak-pihak tertentu yang tidak ingin
kepentingannya terusik. Apalagi, jika pihak-pihak itu punya akses yang sangat
dekat dengan kekuasaan. Kekuatan civil society akan dapat memantau KPK agar
tetap independen, sekaligus menjadi kekuatan besar yang berdiri di belakang
KPK. Demi Indonesia yang bebas korupsi, sepenuhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar