Pemahaman antara desentralisasi dan kepastian hukum, yang diikuti
dengan kekuasaan dan investasi daerah, justru menimbulkan polemik dan
ketidakpastian hukum.
Hal itu terjadi karena investasi daerah akan selalu berkaitan antara
kekuasaan negara (nasional/lokal) dan kekuasaan ekonomi
(pengusaha/investor), yang akhirnya investasi berujung pada korupsi.
Korupsi seolah tidak lagi menjadi dominasi kekuasaan pusat, tetapi meluas
searah otonomi kekuasaan daerah.
Polemik dan ketidakpastian hukum ini telah diingatkan sejak Kongres
PBB VII tentang ”Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders” di Milan, tahun 1985. Dalam kongres itu
dibicarakan suatu tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu ”Dimensi Baru
Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”.
Dalam salah satu subtema ”dimensi baru” ini, yang mendapat sorotan
adalah tentang terjadi dan meningkatnya ”penyalahgunaan kekuasaan” oleh
pejabat publik. Sorotan pun meluas dalam bidang ekonomi yang melibatkan
pihak pelaku ekonomi (pengusaha) dan penguasa (penyelenggara negara) yang
melakukan konspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok
tertentu.
Meningkat Tajam
Perbuatan-perbuatan di luar hukum itu oleh penegak hukum dianggap
merugikan keuangan dan perekonomian masyarakat serta negara dalam skala
yang sangat besar. Di sisi defensi penyelenggara negara, kegiatan yang
telah dilakukan itu ada dalam batas-batas kewenangan berdasarkan regulasi
dan diskresioner yang dimilikinya. Sementara bagi pengusaha, keterikatan
keperdataan dengan penyelenggara negara dianggap bukan tindak pidana
korupsi.
Memasuki era reformasi, dengan sistem ketatanegaraan otonomi daerah
dan pilkada, bermunculan kasus-kasus di sejumlah daerah dengan
multi-investasi daerah yang justru menimbulkan ”desentralisasi korupsi”.
Dalam rentang waktu berlakunya otonomi daerah ini terjadi eskalasi yang
cukup tajam peningkatan kasus hukum korupsi. Dari sekitar 177 penyelenggara
negara di tingkat kabupaten/kota yang diindikasikan terlibat korupsi,
ternyata ada 155 kepala daerah yang terlibat masalah hukum. Dan, dari 32
gubernur, 17 di antaranya terlibat masalah hukum.
Keterlibatan para penyelenggara negara tersebut tentu tidak terlepas
dari keterlibatan ratusan pengusaha/investasi nasional/lokal. Dominasi
pelanggaran deliknya adalah perbuatan melawan hukum (violation of law) dan
menyalahgunakan wewenang (abuse of power), yang dalam sistem hukum pidana
berkaitan dengan korupsi terletak masing-masing pada Pasal 2 dan 3 UU
Tindak Pidana Korupsi.
Komparasi Amerika Serikat dan negara Eropa, seperti ungkapan Maria
Sutopo Conboy, isu kekuasaan dan investasi daerah tak semata masalah hukum,
tetapi merupakan hubungan antara disiplin ilmu ekonomi dan hukum yang tak
dipahami penegak hukum secara mendalam.
Dalam kasus Indonesia, Maria Sutopo dengan pendekatan analisis
ekonomi dan hukum melalui metode cost benefit analysis menempatkan pelaku
ekonomi sebagai korban pemerasan kekuasaan negara. Implementasi kekakuan
regulasi kejahatan korupsi terhadap pelaku ekonomi telah menimbulkan biaya
tinggi, kendala bagi pengembangan ekonomi dan investasi di daerah.
Dalam konteks investasi daerah, signifikansi ekstrem keterlibatan
penyelenggara negara yang tersangkut dalam kasus korupsi menimbulkan suatu
pertanyaan: apa yang melatarbelakangi terjadinya masalah ini? Karena itu,
tinjauan pemecahan masalahnya coba diuraikan secara singkat di bawah ini.
Kekakuan UU
Pertama, dalam kaitan otonomi daerah di mana disorot meningkatnya
”perbuatan melawan hukum” dan ”penyalahgunaan kekuasaan” oleh penyelenggara
negara, kemudian meluas dan berimbas pada kekuasaan ekonomi privat
(pengusaha) yang menimbulkan ”desentralisasi korupsi”. Pada akhirnya itu
menimbulkan dugaan tindak pidana di bidang ekonomi sebagai salah satu obyek
kriminalisasi. Tafsir implementasi korupsi antara penyelenggara negara dan
pelaku ekonomi saling bertahan.
Ada tidaknya pemerasan dari penyelenggara negara kepada pelaku
ekonomi mendominasi realitas dan realisasi segala perizinan. Arus pemerasan
yang ditentang akan menghasilkan ketiadaan penerbitan izin dan sejenisnya.
Sebaliknya, mengikuti keseragaman arus pemerasan menimbulkan harapan
realisasi segera penerbitan izin, bahkan secara ekstrem akan terjebak pada
kasus suap korupsi.
Kedua, desentralisasi korupsi terjadi sebagai akibat kerancuan dalam
memberikan limitasi yang diferensi antara norma (melawan hukum dan
menyalahgunakan kewenangan) dalam hukum pidana dengan hukum administrasi
negara dan hukum perdata. Kewenangan diskresioner dari aparatur negara
berupa freies ermessen, baik perbuatannya dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan (kewenangan terikat) maupun menyimpangi peraturan
perundang-undangan (kewenangan aktif)—dan dilakukan dalam kondisi mendesak,
urgen, dan atau darurat sifatnya—merupakan area hukum administrasi negara
yang tidak menjadi yurisdiksi tindak pidana korupsi. Tentu saja asalkan
selaras dengan maksud ditetapkannya kewenangan atau sesuai dengan tujuan
akhirnya ditetapkan diskresioner ini. Adapun dalam hal terjadi
penyimpangan, area hukum pidana menjadi pijakannya.
Ketiga, meluruskan penyimpangan asas systematische specialiteit atau
kekhususan sistematis yang telah menggariskan bahwa pelanggaran perundang-
undangan administrasi yang bersanksi penal (administrative penal law) tidak
selalu dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif, tetapi menjadi area
tindak pidana pada perundang-undangan administratif. Hal ini ditegaskan
melalui Pasal 14 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang bertujuan menghindari tindak pidana korupsi sebagai all embracing act
dan all purposing act terhadap administratif yang bersanksi penal.
Keempat, adanya polemik atas tindakan atau perbuatan dalam kaitan
privat sebagai akibat hubungan keperdataan dengan lembaga/aparatur negara,
maka perbuatan dan akibat yang timbul dari hubungan tersebut terhadap
pengusaha tunduk pada soal ”keperdataan”, bukan kompetensi tindak pidana
korupsi dalam ranah hukum pidana.
Ke depan, pengembangan ekonomi, investasi daerah dan kepastian hukum
memerlukan pemahaman penegak hukum atas permasalahan hukum dan korupsi
melalui pendekatan analisis ekonomi dan hukum dengan metode cost benefit
analysis. Dengan begitu, tidak menempatkan pelaku ekonomi sebagai korban
pemerasan kekuasaan negara dan terhindar dari implementasi kekakuan UU
Tipikor melalui biaya tinggi yang tidak bermanfaat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar