Yang Muda Lupa
Pancasila
David Krisna Alka ; Aktivis
Menara 62
|
MEDIA
INDONESIA, 14 November 2012
SEJARAH lahirnya bangsa Indonesia tak bisa
lepas dari perjuangan para pemuda. Begitu pula bangsa Indonesia, masih ada
karena Pancasila, fondasi bangsa yang menjadi perekat dan platform bersama di
antara seluruh masyarakat. Pancasila merupakan kesatuan menyeluruh dari
kesadaran historis dan kesadaran praktis bagi rakyat Indonesia.
Namun, maraknya tawuran di kalangan pelajar,
mahasiswa, dan pemuda seolah mencibir Pancasila yang terpajang di dinding
kelas sekolah, ruang rektorat kampus, gedung wakil rakyat, dan di dalam
istana. Pancasila dikebiri generasi muda ahli waris Republik ini. Penghargaan
atas hak hidup tak lagi dijadikan landasan dalam bertindak. Melukai dan
menghabisi sesama pemuda Indonesia seperti menjadi biasa.
Potret batu, kayu, senjata tajam, dan
runcingnya ujung ikat pinggang seolah menggantikan lambang pada setiap sila
dalam Pancasila. Sendi-sendi kemanusiaan dan musyawarah menjadi pudar akibat
kekuatan solidaritas, kedalaman moralitas, dan kejernihan nurani tak lagi
dimiliki. Lantas mau dibawa ke mana Pancasila oleh para pemuda?
Kesadaran Pemuda
Delapan puluh empat tahun lalu, wakil-wakil
kaum muda Indonesia menyatakan kebulatan tekad mereka untuk berakar dan
bersatu dalam kenyataan kebangsaaan dan keindonesiaan. Namun, tahun ini,
kekuatan pemuda terpatah-patah dalam arogansi antarsekolah, antarkampus,
antarfakultas, antarorganisasi, dan antarpartai. Pekik serbu dan serang bukan
untuk penjadjah, melainkan untuk saudara j sesama pemuda Indonesia.
Dalam ruang lain yang tampak dan terasa,
kekerasan acap kali menimpa pemuda yang tak berseragam yang dilakukan `pemuda
yang berseragam'. Wartawan muda dipukul tentara serta bentrokan antara
mahasiswa dan polisi, juga sesama pemuda Indonesia.
Singkat cerita, spirit persatuan Sumpah Pemuda
seolah bergetar di udara saja, di atas layang-layang sejarah. Tak ada
kesanggupan untuk berdialog dan tak ada keterbukaan dan kelapangan dada.
Padahal bahasa sudah satu, bahasa Indonesia. Sungguhkah kita sudah merasa
sebagai pemuda dalam kesatuan bangsa Indonesia?
Berbagai kritik dan kekecewaan terlontar
akibat hilangnya kemampuan para pemuda mengoneksikan nilai-nilai bersama
Pancasila yang telah dipilih menjadi suluh penunjuk bagi perjalanan Republik
Indonesia. Lantas apa yang diperlukan generasi muda sebagai tenaga ampuh yang
dapat melakukan perubahan terhadap berbagai kerusakan di Republik ini?
Generasi muda hendaknya memiliki kemerdekaan
hati nurani didorong rasa kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. Fondasi
menanamkan watak kebangsaan dan kerakyatan diperlukan untuk membangun
martabat kemanusiaan pemuda Indonesia. Pemuda terlebih dahulu mendidik dirinya
sendiri, insaf akan kesadaran dirinya, dan kondisi riil yang membelenggunya.
Sekarang, angkatan muda gagap berjalan ke mana
arah tujuan kebangsaan dan kerakyatan. Kalau angkatan muda zaman perjuangan
dulu, jelas tujuannya, yakni merdeka. Sutan Takdir Alisjahbana (1991) pernah
berkata, “Kalau dulu, orang bisa mati bersemboyan merdeka atau mati. Mati
bisa jadi pahlawan. Kalau pemuda sekarang mau mati, matilah kalian sekarang.“
Dengan demikian, suluh moral dan nilai-nilai
Pancasila masih diperlukan untuk mene rangi perjalanan bangsa ke depan. Kalau
bukan Pancasila, apalagi penyatu, penerang, dan penyuluh gerakan pemuda dalam
keragaman Indonesia?
Kepemimpinan
Pemuda Indonesia
mesti memiliki pijakan moral dan emosional yang tercerahkan oleh suluh
Pancasila sehingga lahir pemimpin sejati yang bukan dihasilkan para medioker
dan oportunis yang memperoleh posisi-posisi tertentu karena restu.
Pergerakan kaum muda dengan wajah baru
melahirkan calon-calon pemimpin yang juga baru. Di tengah pertarungan
Pancasila dengan hedonisme yang telah merasuki sebagian besar pemuda
Indonesia, kepemimpinan disorot sebagai persoalan besar yang dihadapi bangsa.
Mencari kepemimpinan muda yang berintegritas
tinggi serta kompeten dan mampu menjawab tantangan masa kini, perlu dididik,
tak datang dari langit. Namun, pemimpin bisa lahir dari mana saja. Terdidik
bukan saja di organisasi partai atau organisasi kemasyarakatan saja. Zaman
begini, bibit kepemimpinan dapat lahir dari mana saja. Lahir dari kampus atau
dari gubuk kumuh, pemimpin akan tetap hadir.
Dalam konteks politik yang terus mengalami
perubahan, mencari atau menemukan kepemimpinan pemuda yang menyinarkan
keteladanan di bumi Indonesia yang majemuk dan mengalami krisis kepercayaan
terhadap partai politik, serta `gurita patron-klien' yang membelenggu, kaum
muda butuh kesabaran.
Kaum muda yang bersosok, berkarakter, dan
memiliki kecerdasan dan kecakapan, yang tak sekadar omongomong dan rapat,
pasti hadir atau bahkan telah hadir di sekitar kita. Pemuda Indonesia yang
punya keinginan untuk maju lahir dan batin haruslah tahu zamannya, kenal
sejarahnya, dan tahu sejarah dunia.
Namun, jangan lupa, kita punya Pancasila.
Sistem nilai Pancasila sebagai inti ideologi yang menurut H Agus Salim (1996)
kelimanya merupakan kesatuan ibarat suatu tembok batu yang segala bagiannya
sendi-menyendi dan sokong-menyokong.
Marilah pemuda
Indonesia, kita saling menyendi, sokongmenyokong agar Pancasila menjadi
ideologi hidup, bukan ideologi mati, sehingga cemeeh Sutan Takdir Alisjahbana
yang mengatakan kalau dulu, para pemuda bisa mati bersemboyan merdeka lalu
mati bisa jadi pahlawan; kalau pemuda sekarang mau mati, matilah kalian,
menjadi terbantahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar