Kamis, 22 November 2012

Praktek Kekuasaan di Indonesia


Praktek Kekuasaan di Indonesia
Mu’amar Wicaksono ;  Peminat Masalah Hukum Lulusan
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
SUARA KARYA, 20 November 2012

Kisah mengenai kehidupan hedonis yang dilakukan oleh para elite politik dan pejabat negeri ini, sudah bukan barang baru lagi. Hal ini sudah terjadi sejak zaman orde lama hingga era reformasi saat ini. Barang-barang mentereng, jalan-jalan ke luar negeri, rumah dan mobil mewah yang mereka gunakan dan seolah-olah dengan entengnya membuang uang rakyat untuk hal yang tidak penting. Belum lagi adanya korupsi yang merajalela di kalangan elit politik. Kisah tersebut bagaikan cerita lama yang dikemas dengan bungkus baru.
Permasalahannya ialah apakah sikap hedonis para elite politik dan pejabat tersebut dilakukan dengan menggunakan uang rakyat atau berasal dari kantong pribadi. Jika mereka mendapatkannya berasal dari hasil jerih payahnya merupakan suatu hal yang wajar. Namun, apabila dalam memenuhi kebutuhannya menggunakan uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, itulah yang menyalahi aturan.
Menutur Edward Gibbon (1737-1794), sejarawan Inggris dalam bukunya, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, terdapat dua hal utama yang menyebabkan kemerosotan Imperium Romawi. Pertama, korupsi dan kebiasaan hedonis. Kedua, eksklusivitas dan fanatisme Kristen. Oleh sebab itu, perlu diingat bahwa meski Romawi bukan negara modern layaknya negeri ini, namun dalam menganalisis pola pikir berpolitik dan perilaku politisi dan pejabat, tentu tidak jauh beda dengan zaman sekarang di negeri ini.
Perlu diketahui bahwa kekuasaan selalu berwajah dua, sekaligus mempesona dan menakutkan. Dengan kekuasaan orang akan mendapatkan kedududukan berikut tahta atau kekuasaan yang terhormat. Namun, dengan kekuasaan itu pula orang dapat dengan mudah menjadi seorang penjahat paling kejam di dunia ini.
Ada sebuah adagium yang perlu selalu diingat, yaitu power tend to corrupt, dimana kekuasan yang dimiliki akan mengakibatkan kesewenang-wenangan. Terlebih apabila kekuasaan itu telah berlangsung lama dan sangat nyaman, sehingga telah mengaburkan mana yang benar dan salah demi melanggengkan kekuasaan, dan kekuasaan yang sangat besar tersebut sering ditandai dengan gaya hidup yang mewah untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang berkuasa.
Tanggung jawab moral merupakan suatu bagian hakiki dari setiap praktik kekuasaan ketika kebaikan dan kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya. Tetapi, tampaknya keyakinan ini berubah menjadi semacam pesimisme ketika para pemegang kekuasaan mempraktikkan kekuasaan tanpa tanggung jawab, seperti ketidakpekaan pada kepentingan publik, pemerkayaan diri, atau upaya pelanggengan kekuasaan, dan semacamnya.
Dalam kondisi demikian, pandangan klasik bahwa konsumerisme telah mengambil alih wilayah kekuasaan dari moral dan mengaburkan kemampuan membedakan moralitas humanisme dan moralitas binatang yang mengutamakan kenikmatan dapat diterima. Akibatnya, para penguasa menghapus tanggung jawab moral dari kamus kekuasaan mereka dengan berpura-pura untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya.
Berbagai diskusi telah dilakukan untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Namun sampai saat ini, belum terlihat adanya titik terang penyelesaiannya. Ada beberapa faktor yang dapat digunakan untuk mencegah tejadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan para pejabat di Indonesia. Pertama, adanya sistem perekrutan yang baik. Sistem perekrutan tersebut harus bersih dari benih-benih Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Kedua ialah etos kerja. Pegawai yang nantinya akan menjadi pejabat harus mempunyai etos kerja yang baik, disiplin, dan selalu mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi.
Ketiga, lingkungan kerja yang kondusif. Banyak dari masalah KKN ini diakibatan karena KKN merupakan hal yang lumrah dilakukan dan telah mendarah daging. Adanya kesenjangan kesejahteraan antara pejabat tinggi dan pegawai rendahan juga menjadi faktor pendorong adanya KKN tersebut.
Keempat, penanaman jiwa sederhana sejak usia dini. Inilah merupakan hal yang sangat penting, dimana mentalitas para pegawai atau cikal bakal pemimpin negeri ini harus dipupuk sejak usia dini. Budaya curang harus dibuang jauh dari mentalitas calon pejabat.
Kelima, adanya penerapan hukum yang baik. Hukum inilah yang sering disalahgunakan, Disinilah kita perlukan hukum untuk mengaturnya dengan mengutip pendapat dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Beliau menyatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Diperlukanlah kesinambungan antara hukum dan kekuasan, jangan sampai hukum tersebut disalahgunakan demi melanggengkan kekuasaan.
Dengan demikian, marilah dirapatkan barisan baik pemerintah dan masyarakat untuk mencegah hal buruk tersebut terus berlangsung. Terlebih lagi bagi para penguasa negeri ini, karena yang diperlukan ialah seorang pemimpin sederhana yang bisa menempatkan dirinya dengan sepatutnya dan mempunyai cita-cita untuk memakmurkan bangsa bukan memakmurkan pribadi beserta golongannya.
Artinya, penguasa negeri ini tidak semestinya bergaya hidup mewah layaknya raja-raja dengan seribu selir, kekayaan melimpah, dan kekuaasaan yang tidak terkira. Tetapi, cukup hidup secara sederhana maka rakyat dengan sendirinya akan bersimpati dan menjadi pemimpin yang dicintai. Sebenarnya inilah kekusaan yang tidak terbandingkan itu, pemimpin tidak berjarak dengan rakyat yang dipimpinya. Itulah yang dirindukan oleh rakyat di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar