Kamis, 22 November 2012

Memahami Gejolak di Negara-Negara Islam


Memahami Gejolak di Negara-Negara Islam
Muhammad Fauzinuddin ;  Pengelolah Pesantren Journalism Community
(PJC) PesMa IAIN Surabaya
SUARA KARYA, 20 November 2012

Tak ada manfaatnya mengatakan, dunia Arab sedang melalui kejadian-kejadian luar biasa sejak memasuki tahun 2012. Kekisruhan politik pertama kali terjadi di Tunisia, yang berakhir dengan turunnya pemerintahan diktator melalui aksi rakyat yang berani di negara yang sangat sekuler di belahan Afrika Timur.
Kemudian menjalar ke Mesir. Setelah menderita di bawah tiga rezim militer sejak 1952, akhirnya massa bangkit dan bertindak di bawah slogan, kifaya, yang artinya cukup. Ya, cukuplah Husni Mubarak, Firaun modern yang pada saat itu tengah mempersiapkan peralihan kekuasaan kepresidenan pada anaknya yang bernama Gamal.
Segera setelah Mubarak meninggalkan Kairo ke tempat yang tidak diketahui, angin perubahan dengan cepat mengarah ke sebelah Barat. Kali ini, api itu mulai membakar Jamahiriyyah, nama lain untuk republik yang dibangun oleh manusia semi-rasional bernama Kolonel Qaddafi (Kata Arab untuk republik normalnya adalah jumhuriyya, yang dalam bahasa Turki ekuivalen dengan kata cumhuriyet.).
Berbeda dengan bangsa-bangsa Afrika dan Asia, setelah era post-kolonial bangsa-bangsa Islam tidak sanggup mengatasi masalah-masalah mereka yang sangat beragam, sementara bagian dunia yang lain telah berhasil mengatasinya. Dilema yang dihadapi Islam hari ini, dengan sangat baik telah diuraikan oleh Bernard Lewis dalam ketiga bukunya, yang di sini secara singkat coba penulis tinjau dan komentari.
Mulai dari pernyataannya mengenai "identitas yang beragam di Timur Tengah." Hal ini menjelaskan latar belakang yang sangat dibutuhkan untuk bisa memahami masyarakat dan politik di Timur Tengah. Salah satu dari tema utamanya membahas mengenai sebuah kompleksitas yang muncul dari fakta bahwa orang-orang Titeng mengidentifikasikan diri mereka sendiri berdasarkan etnis dan agama. Namun demikian, elemen keagamaan menjadi hal yang dominan.
Dalam kekaisaran Islam yang sangat luas, para penakluk mengklasifikasikan orang berdasarkan afiliasi keagamaan mereka. Apakah seseorang adalah muslim atau pengikut dari agama yang terdahulu. Orang-orang muslim menikmati semua hak-hak dan keistimewaan yang diberikan pada mereka oleh hukum syariah Islam. Sementara kelompok lain seperti Yahudi, Kristen dan penganut Zoroastrian, diberikan status sebagai dhimmis, yaitu "orang-orang yang dilindungi."
Lalu, Lewis melihat "identitas beragam dari Timur Tengah". Selama periode konfrontasi yang panjang dan berlangsung selama berabad-abad antara negara-negara Eropa dengan Kekaisaran Ottoman, orang-orang Eropa selalu melihat dan mendiskusikan relasi mereka dalam terminologi orang-orang Austria, Perancis, Jerman, Inggris, dan bangsa-bangsa lainnya melawan orang-orang Turki. Sementara orang-orang Turki memandangnya dalam terminologi orang muslim melawan orang Kristen. Dalam tulisan-tulisan muslim pra-modern, sub divisi Kristen yang berkaitan dengan gereja dianggap sebagai kurang penting. Dalam sudut pandang muslim, yang secara natural juga mereka gambarkan pada orang lain, agama adalah faktor yang sangat menentukan bagi identitas, fokus loyalitas dan, tak kurang penting sebagai sumber otoritas.
ternyata, faktor keagamaan merupakan hal yang paling penting dalam relasi dengan Timteng, atau setiap bangsa dalam dunia Islam yang sangat luas, yang mengelilinginya. Para penulis Barat sekular cenderung mengabaikan betapa pentingnya agama dalam Islam, yaitu sebagai hal yang mengatur loyalitas tertinggi bagi seorang muslim. Mereka cenderung melupakan bahwa, kontras dengan kekristenan, Islam adalah sebuah campuran antara agama, politik dan budaya, dalam sebuah entitas yang tidak bisa dibagi.
Lalu, bagaimana dengan pergolakan yang terjadi secara terus-menerus di dunia Islam. Professor Lewis menulis sebelum terjadinya serangan terhadap gedung World Trade Center dan Washington pada tanggal 11 September 2011. Tetapi buku itu sendiri diterbitkan pada tahun 2002, berjudul "Apa yang Salah? Pengaruh Barat dan Respon Timur Tengah." (What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response.)
Disebutkan, mengenai penyakit yang terus-menerus melanda dunia Islam secara umum, dan terutama negara-negara yang ada di antara Marokko yang terletak di Atlantik dan Iran yang terletak di Teluk. Apa yang salah? Untuk waktu lama masyarakat di dunia Islam, khususnya meskipun tidak eksklusif yang ada di Timur Tengah, kepada mereka telah diajukan pertanyaan ini.
Isi dan formulasi pertanyaan, terutama diprovokasi oleh perjumpaan mereka dengan Barat, dimana saat mereka memperbandingkan apa yang terjadi di negara mereka dengan kenyataan yang ada di negara-negara Barat, maka mereka merasa bahwa ada yang salah dengan masyarakat mereka. Tetapi, apapun bentuk dan bagaimana pertanyaan tersebut diajukan, serta jawaban yang dihasilkan, tidak salah jika disimpulkan bahwa berkembangnya penderitaan, menyebabkan masyarakat menjadi semakin marah terhadap pertanyaan serta jawaban yang diekspresikan.
Dalam pasal terakhir, Mr. Lewis memberikan resep untuk menyembuhkan penyakit yang sudah berlangsung lama dalam dunia Islam. Ia memohon agar para intelektual Islam memimpin dunia mereka dengan mengajukan pertanyaan, "Siapa yang telah melakukan hal ini pada kami?" Bukan hanya "membawa masyarakat pada fantasi-fantasi neurotis dan teori-teori konspirasi" sebaliknya mulai bertanya "Apa yang salah yang sudah kami lakukan?"
Hal ini akan membawa mereka pada pertanyaan kedua yang bersifat natural, "Bagaimana kita bisa membenahinya?" Melalui pertanyaan itu, dan melalui jawaban-jawaban yang beragam yang muncul, akan ditemukan pengharapan terbaik bagi masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar