Memahami
Gejolak di Negara-Negara Islam
Muhammad Fauzinuddin ; Pengelolah Pesantren Journalism Community
(PJC)
PesMa IAIN Surabaya
|
SUARA
KARYA, 20 November 2012
Tak
ada manfaatnya mengatakan, dunia Arab sedang melalui kejadian-kejadian luar
biasa sejak memasuki tahun 2012. Kekisruhan politik pertama kali terjadi di
Tunisia, yang berakhir dengan turunnya pemerintahan diktator melalui aksi
rakyat yang berani di negara yang sangat sekuler di belahan Afrika Timur.
Kemudian
menjalar ke Mesir. Setelah menderita di bawah tiga rezim militer sejak 1952,
akhirnya massa bangkit dan bertindak di bawah slogan, kifaya, yang artinya
cukup. Ya, cukuplah Husni Mubarak, Firaun modern yang pada saat itu tengah
mempersiapkan peralihan kekuasaan kepresidenan pada anaknya yang bernama
Gamal.
Segera
setelah Mubarak meninggalkan Kairo ke tempat yang tidak diketahui, angin
perubahan dengan cepat mengarah ke sebelah Barat. Kali ini, api itu mulai
membakar Jamahiriyyah, nama lain untuk republik yang dibangun oleh manusia
semi-rasional bernama Kolonel Qaddafi (Kata Arab untuk republik normalnya
adalah jumhuriyya, yang dalam bahasa Turki ekuivalen dengan kata
cumhuriyet.).
Berbeda
dengan bangsa-bangsa Afrika dan Asia, setelah era post-kolonial bangsa-bangsa
Islam tidak sanggup mengatasi masalah-masalah mereka yang sangat beragam,
sementara bagian dunia yang lain telah berhasil mengatasinya. Dilema yang
dihadapi Islam hari ini, dengan sangat baik telah diuraikan oleh Bernard
Lewis dalam ketiga bukunya, yang di sini secara singkat coba penulis tinjau
dan komentari.
Mulai
dari pernyataannya mengenai "identitas yang beragam di Timur
Tengah." Hal ini menjelaskan latar belakang yang sangat dibutuhkan untuk
bisa memahami masyarakat dan politik di Timur Tengah. Salah satu dari tema
utamanya membahas mengenai sebuah kompleksitas yang muncul dari fakta bahwa
orang-orang Titeng mengidentifikasikan diri mereka sendiri berdasarkan etnis
dan agama. Namun demikian, elemen keagamaan menjadi hal yang dominan.
Dalam
kekaisaran Islam yang sangat luas, para penakluk mengklasifikasikan orang
berdasarkan afiliasi keagamaan mereka. Apakah seseorang adalah muslim atau
pengikut dari agama yang terdahulu. Orang-orang muslim menikmati semua
hak-hak dan keistimewaan yang diberikan pada mereka oleh hukum syariah Islam.
Sementara kelompok lain seperti Yahudi, Kristen dan penganut Zoroastrian,
diberikan status sebagai dhimmis, yaitu "orang-orang yang
dilindungi."
Lalu,
Lewis melihat "identitas beragam dari Timur Tengah". Selama periode
konfrontasi yang panjang dan berlangsung selama berabad-abad antara
negara-negara Eropa dengan Kekaisaran Ottoman, orang-orang Eropa selalu
melihat dan mendiskusikan relasi mereka dalam terminologi orang-orang Austria,
Perancis, Jerman, Inggris, dan bangsa-bangsa lainnya melawan orang-orang
Turki. Sementara orang-orang Turki memandangnya dalam terminologi orang
muslim melawan orang Kristen. Dalam tulisan-tulisan muslim pra-modern, sub
divisi Kristen yang berkaitan dengan gereja dianggap sebagai kurang penting.
Dalam sudut pandang muslim, yang secara natural juga mereka gambarkan pada
orang lain, agama adalah faktor yang sangat menentukan bagi identitas, fokus
loyalitas dan, tak kurang penting sebagai sumber otoritas.
ternyata,
faktor keagamaan merupakan hal yang paling penting dalam relasi dengan
Timteng, atau setiap bangsa dalam dunia Islam yang sangat luas, yang
mengelilinginya. Para penulis Barat sekular cenderung mengabaikan betapa
pentingnya agama dalam Islam, yaitu sebagai hal yang mengatur loyalitas
tertinggi bagi seorang muslim. Mereka cenderung melupakan bahwa, kontras
dengan kekristenan, Islam adalah sebuah campuran antara agama, politik dan
budaya, dalam sebuah entitas yang tidak bisa dibagi.
Lalu,
bagaimana dengan pergolakan yang terjadi secara terus-menerus di dunia Islam.
Professor Lewis menulis sebelum terjadinya serangan terhadap gedung World
Trade Center dan Washington pada tanggal 11 September 2011. Tetapi buku itu
sendiri diterbitkan pada tahun 2002, berjudul "Apa yang Salah? Pengaruh
Barat dan Respon Timur Tengah." (What
Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response.)
Disebutkan,
mengenai penyakit yang terus-menerus melanda dunia Islam secara umum, dan
terutama negara-negara yang ada di antara Marokko yang terletak di Atlantik
dan Iran yang terletak di Teluk. Apa yang salah? Untuk waktu lama masyarakat
di dunia Islam, khususnya meskipun tidak eksklusif yang ada di Timur Tengah,
kepada mereka telah diajukan pertanyaan ini.
Isi
dan formulasi pertanyaan, terutama diprovokasi oleh perjumpaan mereka dengan
Barat, dimana saat mereka memperbandingkan apa yang terjadi di negara mereka
dengan kenyataan yang ada di negara-negara Barat, maka mereka merasa bahwa
ada yang salah dengan masyarakat mereka. Tetapi, apapun bentuk dan bagaimana
pertanyaan tersebut diajukan, serta jawaban yang dihasilkan, tidak salah jika
disimpulkan bahwa berkembangnya penderitaan, menyebabkan masyarakat menjadi
semakin marah terhadap pertanyaan serta jawaban yang diekspresikan.
Dalam
pasal terakhir, Mr. Lewis memberikan resep untuk menyembuhkan penyakit yang
sudah berlangsung lama dalam dunia Islam. Ia memohon agar para intelektual
Islam memimpin dunia mereka dengan mengajukan pertanyaan, "Siapa yang telah melakukan hal ini
pada kami?" Bukan hanya "membawa masyarakat pada
fantasi-fantasi neurotis dan teori-teori konspirasi" sebaliknya mulai
bertanya "Apa yang salah yang
sudah kami lakukan?"
Hal ini akan membawa mereka pada pertanyaan kedua yang bersifat
natural, "Bagaimana kita bisa
membenahinya?" Melalui pertanyaan itu, dan melalui jawaban-jawaban
yang beragam yang muncul, akan ditemukan pengharapan terbaik bagi masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar