Migas di Perut
Konstitusi
Margarito Kamis ; Doktor
Hukum Tata Negara;
Staf pengajar FH Universitas
Khairun Ternate
|
MEDIA
INDONESIA, 20 November 2012
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi
terhadap permohonan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan sejumlah eksponen kritis
atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang diambil
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bersama delapan hakim anggotanya,
mengagumkan. Putusan itu tidak hanya mengualifikasikan sejumlah pasal dalam
UU Migas itu inkonstitusional, tetapi juga mendiskualifikasikan eksistensi
konstitusional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas).
Putusan itu mungkin
memukul istana. Apalagi bila jalan pikiran Presiden dalam penyelesaian silang
sengketa antara KPK dan Polri beberapa waktu lalu dapat dipinjam. Bukankah
putusan itu jatuh di tengah panggung jagat raya politik yang sedang heboh
dengan sikap kritis orang istana atas pernyataan kritis Mahfud MD tentang
pemberian grasi terhadap terpidana narkoba?
Namun, sejujurnya
tidak tersedia alasan yang cukup untuk memunculkan politik adu kuat antara MK
dan istana hanya karena momentum dijatuhkannya putusan tersebut. Perkaranya,
di bawah kepemimpinan Mahfud, MK terus bergerak maju dengan keadilan
substansial progresif. Tak sekali ini saja MK di bawah Mahfud
mendemonstrasikan keadilan substansial progresif itu. Hendarman Supandji,
misalnya, harus diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena
konsekuensi putusan MK.
Seperti dalam kasus
itu, kali ini Presiden langsung merespons putusan bersejarah dan mengagumkan
tersebut dengan menggelar rapat. Entah apa pertimbangannya, tidak seperti
penyikapan terhadap putusan-putusan MK yang menghebohkan semisal putusan yang
membawa konsekuensi fundamental terhadap jabatan Hendarman, kali ini Presiden
berbicara dengan menggunakan podium istana. Rakyat Indonesiakah yang hendak
diyakinkan atau investor asing? Entahlah. Hebatnya, Presiden mengatakan tidak
boleh ada kevakuman hukum.
Mengandung Masalah
Presiden pun
memastikan segala sesuatu dalam usaha migas berlangsung normal. Tidak ada
yang perlu dikhawatirkan. Selalu ada kepastian usaha.
Tanpa berlama-lama Presiden menggunakan kewenangan konstitusional, terbitlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95/2012. Peraturan tersebut mengatur pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Gayung bersambut, Menteri ESDM, pembantu presiden yang baik, pun bergerak cepat dengan menerbitkan dua keputusan menteri (kepmen). Kedua kepmen itu adalah Nomor 3135/K/MEM/2012 dan Nomor 3136/K/MM/2012.
Menurut Wakil Menteri
ESDM Rudi Rubiandini, dengan dua keputusan itu, seluruh tugas BP Migas on
kembali. Bereskah urusan itu? Tidak. Secara konstitusional, baik p perpres
maupun kedua kepmen itu mengandung masalah. Soalnya ialah apa dasar perpres
pengalihan fungsi BP Migas ke satuan kerja (satker)? Dengan cara apa satker
itu diberi kewenangan mengurusi migas, tanpa pengaturan mengenai materi
muatan usaha migas? Di mana pengaturan mengenai hal ihwal usaha migas? Apakah
perpres yang baru diterbitkan Presiden itu menjadi dasar pengaturan usaha
migas?
Bernegara, begitulah
makna di balik putusan MK itu, tak lain ialah berkonstitusi. Berkonstitusi
bukan sekadar membuat peraturan perundangan. Tidak hanya bentuknya, tetapi
juga materi muatannya, substansi peraturan perundangan itu harus senapas
dengan, selain teks, juga pesan asli di balik teks konstitusi itu. Tak
mungkin menganggap Presiden tak mengerti soal itu. Namun, membuat perpres ten
membuat perpres tentang pengalihan urusan migas ke satker di Kementerian ESDM
terlampau jauh dari tepat.
Urusan migas bukan
urusan kecil. Migas berada dalam perut konstitusi. Konsekuensi
konstitusionalnya, pengaturan mengenai urusan dan usaha migas tidak bisa
diubah sifat konstitusionalnya menjadi urusan kecil. Lagi pula pengaturannya
dalam konstitusi jelas. Pasal 33 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 jelas mengatur
UUD 1945 jelas mengatur hal tersebut. Konsekuensinya, tertutup jalan
konstitusional untuk mengubah sifat konstitusional urusan itu menjadi urusan
tanpa pijakan konstitusional. Karena urusan tersebut jelas diatur dalam
konstitusi, memunculkan perpres sebagai bentuk pengaturan terhadap urusan itu
menjadi tak berdasar.
Terbuka Untuk Diuji
Memang harus cepat
meng ambil tindakan hukum untuk menghindari kevakuman hukum di bidang
tersebut. Apalagi putusan MK itu berlaku serta-merta. Kevakuman hukum di
bidang sepenting itu bukan perkara kecil. Andai terjadi, akan mengakibatkan
pemerintah kehilangan pegangan hukum untuk mengurusi migas. Di sisi lain, ada
tuntutan untuk memberi kepastian kepada semua pihak yang berurusan dengan
usaha migas.
Ketiadaan aturan
hukum, di satu sisi, dan kebutuhan hukum untuk dijadikan pijakan pengaturan
dan usaha, di sisi lain, ialah dua keadaan hukum yang bertentangan. Keadaan
ketatanegaraan semacam itu, dengan sendirinya, tidak memungkinkan untuk
menyelenggarakan kewajiban ketatanegaraan secara normal.
Keadaan itu menjadi
dasar sosio-politik konstitusional munculnya keadaan darurat. Tentu keadaan
darurat harus dicegah. Secara konstitusional, pengaturan secara darurat untuk
hal-hal dalam keadaan darurat itu harus dituangkan ke bentuk hukum darurat
pula,perppu.
Perppu memungkinkan
presiden merancang materi muatan yang lebih luas daripada perpres, apalagi
perpres tentang pembentu kan atau pengalihan fungsi satu badan menjadi bagian
dari satu kementerian. Memang sesuai dengan sifat hukumnya, perpres merupakan
satu bentuk hukum yang bersifat pengaturan. Akan tetapi, perpres tentang
pembentukan kementerian yang memuat materi urusan-urusan pemerintahan,
khususnya usaha migas yang jelas pijakannya dalam konstitusi, jelas tidak
memiliki rasionalitas konstitusional.
Andai apa yang
dipidatokan Presiden itu sebagian merupakan materi muatan Perpres Nomor 95
Tahun 2012, cukup pantas untuk menilai perpres tersebut bermata dua. Itu
seolah hanya mengatur pengalihan fungsi dan tugas BP Migas ke Kementerian
ESDM, padahal terdapat pengaturan mengenai konsekuensi-konsekuensi hukum atas
tindakan-tindakan hukum yang telah dilakukan BP Migas dengan pihak ketiga. Secara
konstitusional, materi muatan yang disebut terakhir seharusnya diatur dalam
UU, setidak-tidaknya perppu.
Investor asing memang
kelewat cinta terhadap kepastian hukum. Memberi kepastian hukum kepada semua
pelaku usaha di bidang itu tentu mengagumkan. Namun, seagung itu pulalah
keharusan untuk, tak usahlah merenungkan, tetapi mengenali dengan cermat
ratio decidendi putusan MK yang agung itu. Sederhana saja tujuannya, yaitu
memenuhi perintah konstitusi sebagaimana termaktub dalam putusan MK.
Sejatinya pesan mulia di balik putusan MK itu tak lain mengharuskan presiden
dan DPR untuk tidak membuat peraturan yang tak koheren dengan teks dan maksud
asli konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat 1 dan 2.
Apa yang harus
dilakukan terhadap perpres, bahkan dua kepmen yang telah diterbitkan Presiden
dan menteri, yang tidak cukup jernih dimensi konstitusionalnya itu? Terasa
indah sekali bila PP Muhammadiyah dan eksponeneksponen yang mengajukan
permohonan uji materi atas UU Nomor 22 Tahun 2001 itu mau mempertimbangkan
untuk kembali menguji level koherensi konstitusional atas Perpres Nomor
95/2012 dan Kepmen Pembentukan Satuan Kerja Migas di Kementerian ESDM. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar