Rabu, 21 November 2012

Migas di Perut Konstitusi


Migas di Perut Konstitusi
Margarito Kamis ;  Doktor Hukum Tata Negara;
Staf pengajar FH Universitas Khairun Ternate
MEDIA INDONESIA, 20 November 2012

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan sejumlah eksponen kritis atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang diambil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bersama delapan hakim anggotanya, mengagumkan. Putusan itu tidak hanya mengualifikasikan sejumlah pasal dalam UU Migas itu inkonstitusional, tetapi juga mendiskualifikasikan eksistensi konstitusional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas).
Putusan itu mungkin memukul istana. Apalagi bila jalan pikiran Presiden dalam penyelesaian silang sengketa antara KPK dan Polri beberapa waktu lalu dapat dipinjam. Bukankah putusan itu jatuh di tengah panggung jagat raya politik yang sedang heboh dengan sikap kritis orang istana atas pernyataan kritis Mahfud MD tentang pemberian grasi terhadap terpidana narkoba?
Namun, sejujurnya tidak tersedia alasan yang cukup untuk memunculkan politik adu kuat antara MK dan istana hanya karena momentum dijatuhkannya putusan tersebut. Perkaranya, di bawah kepemimpinan Mahfud, MK terus bergerak maju dengan keadilan substansial progresif. Tak sekali ini saja MK di bawah Mahfud mendemonstrasikan keadilan substansial progresif itu. Hendarman Supandji, misalnya, harus diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena konsekuensi putusan MK.
Seperti dalam kasus itu, kali ini Presiden langsung merespons putusan bersejarah dan mengagumkan tersebut dengan menggelar rapat. Entah apa pertimbangannya, tidak seperti penyikapan terhadap putusan-putusan MK yang menghebohkan semisal putusan yang membawa konsekuensi fundamental terhadap jabatan Hendarman, kali ini Presiden berbicara dengan menggunakan podium istana. Rakyat Indonesiakah yang hendak diyakinkan atau investor asing? Entahlah. Hebatnya, Presiden mengatakan tidak boleh ada kevakuman hukum.
Mengandung Masalah
Presiden pun memastikan segala sesuatu dalam usaha migas berlangsung normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selalu ada kepastian usaha.
Tanpa berlama-lama Presiden menggunakan kewenangan konstitusional, terbitlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95/2012. Peraturan tersebut mengatur pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Gayung bersambut, Menteri ESDM, pembantu presiden yang baik, pun bergerak cepat dengan menerbitkan dua keputusan menteri (kepmen).
Kedua kepmen itu adalah Nomor 3135/K/MEM/2012 dan Nomor 3136/K/MM/2012.
Menurut Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini, dengan dua keputusan itu, seluruh tugas BP Migas on kembali. Bereskah urusan itu? Tidak. Secara konstitusional, baik p perpres maupun kedua kepmen itu mengandung masalah. Soalnya ialah apa dasar perpres pengalihan fungsi BP Migas ke satuan kerja (satker)? Dengan cara apa satker itu diberi kewenangan mengurusi migas, tanpa pengaturan mengenai materi muatan usaha migas? Di mana pengaturan mengenai hal ihwal usaha migas? Apakah perpres yang baru diterbitkan Presiden itu menjadi dasar pengaturan usaha migas?
Bernegara, begitulah makna di balik putusan MK itu, tak lain ialah berkonstitusi. Berkonstitusi bukan sekadar membuat peraturan perundangan. Tidak hanya bentuknya, tetapi juga materi muatannya, substansi peraturan perundangan itu harus senapas dengan, selain teks, juga pesan asli di balik teks konstitusi itu. Tak mungkin menganggap Presiden tak mengerti soal itu. Namun, membuat perpres ten membuat perpres tentang pengalihan urusan migas ke satker di Kementerian ESDM terlampau jauh dari tepat.
Urusan migas bukan urusan kecil. Migas berada dalam perut konstitusi. Konsekuensi konstitusionalnya, pengaturan mengenai urusan dan usaha migas tidak bisa diubah sifat konstitusionalnya menjadi urusan kecil. Lagi pula pengaturannya dalam konstitusi jelas. Pasal 33 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 jelas mengatur UUD 1945 jelas mengatur hal tersebut. Konsekuensinya, tertutup jalan konstitusional untuk mengubah sifat konstitusional urusan itu menjadi urusan tanpa pijakan konstitusional. Karena urusan tersebut jelas diatur dalam konstitusi, memunculkan perpres sebagai bentuk pengaturan terhadap urusan itu menjadi tak berdasar.
Terbuka Untuk Diuji
Memang harus cepat meng ambil tindakan hukum untuk menghindari kevakuman hukum di bidang tersebut. Apalagi putusan MK itu berlaku serta-merta. Kevakuman hukum di bidang sepenting itu bukan perkara kecil. Andai terjadi, akan mengakibatkan pemerintah kehilangan pegangan hukum untuk mengurusi migas. Di sisi lain, ada tuntutan untuk memberi kepastian kepada semua pihak yang berurusan dengan usaha migas.
Ketiadaan aturan hukum, di satu sisi, dan kebutuhan hukum untuk dijadikan pijakan pengaturan dan usaha, di sisi lain, ialah dua keadaan hukum yang bertentangan. Keadaan ketatanegaraan semacam itu, dengan sendirinya, tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan kewajiban ketatanegaraan secara normal.
Keadaan itu menjadi dasar sosio-politik konstitusional munculnya keadaan darurat. Tentu keadaan darurat harus dicegah. Secara konstitusional, pengaturan secara darurat untuk hal-hal dalam keadaan darurat itu harus dituangkan ke bentuk hukum darurat pula,perppu.
Perppu memungkinkan presiden merancang materi muatan yang lebih luas daripada perpres, apalagi perpres tentang pembentu kan atau pengalihan fungsi satu badan menjadi bagian dari satu kementerian. Memang sesuai dengan sifat hukumnya, perpres merupakan satu bentuk hukum yang bersifat pengaturan. Akan tetapi, perpres tentang pembentukan kementerian yang memuat materi urusan-urusan pemerintahan, khususnya usaha migas yang jelas pijakannya dalam konstitusi, jelas tidak memiliki rasionalitas konstitusional.
Andai apa yang dipidatokan Presiden itu sebagian merupakan materi muatan Perpres Nomor 95 Tahun 2012, cukup pantas untuk menilai perpres tersebut bermata dua. Itu seolah hanya mengatur pengalihan fungsi dan tugas BP Migas ke Kementerian ESDM, padahal terdapat pengaturan mengenai konsekuensi-konsekuensi hukum atas tindakan-tindakan hukum yang telah dilakukan BP Migas dengan pihak ketiga. Secara konstitusional, materi muatan yang disebut terakhir seharusnya diatur dalam UU, setidak-tidaknya perppu.
Investor asing memang kelewat cinta terhadap kepastian hukum. Memberi kepastian hukum kepada semua pelaku usaha di bidang itu tentu mengagumkan. Namun, seagung itu pulalah keharusan untuk, tak usahlah merenungkan, tetapi mengenali dengan cermat ratio decidendi putusan MK yang agung itu. Sederhana saja tujuannya, yaitu memenuhi perintah konstitusi sebagaimana termaktub dalam putusan MK. Sejatinya pesan mulia di balik putusan MK itu tak lain mengharuskan presiden dan DPR untuk tidak membuat peraturan yang tak koheren dengan teks dan maksud asli konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat 1 dan 2.
Apa yang harus dilakukan terhadap perpres, bahkan dua kepmen yang telah diterbitkan Presiden dan menteri, yang tidak cukup jernih dimensi konstitusionalnya itu? Terasa indah sekali bila PP Muhammadiyah dan eksponeneksponen yang mengajukan permohonan uji materi atas UU Nomor 22 Tahun 2001 itu mau mempertimbangkan untuk kembali menguji level koherensi konstitusional atas Perpres Nomor 95/2012 dan Kepmen Pembentukan Satuan Kerja Migas di Kementerian ESDM. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar