Gaza dan
Spiral Kekerasan
Broto
Wardoyo ; Pengajar
di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI
|
KOMPAS,
21 November 2012
Ahmed
Jabari, pemimpin sayap militer Hamas, menjadi korban operasi militer Pasukan
Pertahanan Israel (IDF) di Jalur Gaza. Kematian Jabari memicu peningkatan
serangan roket dari Jalur Gaza dan memaksa Pemerintah Israel mengeluarkan
perintah pengosongan wilayah dalam radius 25 kilometer dari Gaza.
Operasi
militer Israel di Jalur Gaza dilaksanakan sebagai aksi retaliasi serangan
roket kelompok anti-Israel dari Jalur Gaza. Dinas keamanan Israel, Shabak,
mencatat bahwa selama Oktober 2012 terjadi 96 serangan dari Jalur Gaza: 72
di antaranya serang- an roket. Tak ada korban jiwa dalam serangan itu meski
tiga pekerja asing terluka dalam serangan roket 24 Oktober. Serangan-
serangan inilah yang diklaim Israel sebagai aksi provokasi.
Operasi
militer merupakan salah satu strategi kontrateror yang biasa dilakukan Israel
menghadapi ancaman kelompok anti-Israel. Strategi kontrateror Israel dapat
dipilah menjadi tiga strategi utama: ofensif, defensif, dan punitif. Operasi
militer, yang biasanya dilaksanakan terbatas tanpa pengerahan pasukan
besar-besaran, merupakan salah satu bentuk strategi ofensif yang di- adopsi
Israel sejak awal kemerdekaannya. Strategi ini memiliki beberapa fungsi.
Fungsi
utama dan pertama strategi ini: penangkalan. Operasi militer dilakukan untuk
menunjukkan kemauan bahwa Israel tak ragu membalas provokasi apa pun dengan
tindakan militer. Fungsi ini dalam banyak kasus justru gagal. Operasi militer
justru memicu terjadinya serangan dari kelompok anti-Israel yang lebih besar,
baik dalam frekuensi maupun jumlah korban.
Selain
demi penangkalan, operasi militer juga digunakan untuk meraup dukungan
publik. Opera- si militer dilakukan sebagai bukti kemauan pemerintah memberi
perlindungan terhadap publik dan menunjukkan bahwa pemerintah mengambil
tindakan nyata dalam melawan provokasi yang dilakukan kelompok anti-Israel.
Kebutuhan
ini membuat frekuensi pelaksanaan operasi militer cenderung meningkat
manakala Israel akan melaksanakan pemilihan umum. Operasi saat ini tak dapat
dilepaskan dari keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mempercepat
pelaksanaan pemilu menyusul kegagalan menyusun anggaran.
Selain
itu, pilihan pada operasi militer juga dipengaruhi dua faktor lain. Pertama,
keberadaan kepala staf IDF yang cenderung kontroversial dan terlibat dalam
politik praktis. Kepala Staf IDF saat ini dijabat oleh Rav-Aluf Binyamin
Gantz. Benny Gantz diangkat sebagai kepala staf menyusul kegagalan
pengangkatan Yoav Galant karena skandal pe- ngambilan paksa properti untuk
kepentingan pribadi.
Gantz
terlibat dalam banyak peristiwa penting dalam kariernya, saat menjadi kepala
divisi Yudea dan Samaria (yang juga mengawasi Tepi Barat) ketika terjadi
intifada kedua dan menjadi komandan wilayah Israel Utara saat Perang Lebanon
yang kedua.
Selain
operasi militer, strategi ofensif lain yang biasa dilakukan Israel adalah
strategi pembunuhan terencana. Beberapa tokoh kelompok anti-Israel menjadi
korban dari strategi ini. Abu Jihad, salah satu tangan kanan Arafat, dibunuh
oleh Sayeret Matkal pada 1988 di Tunis. Dua pemimpin Hamas, Ahmed Yassin dan
Abdel-aziz Rantisi, juga menjadi korban dari strategi ini pada 2004. Terbunuhnya
dua tokoh Hamas dalam waktu dekat ini memaksa Hamas menyembunyikan identitas
pemimpin utamanya karena khawatir akan menjadi korban selanjutnya.
Strategi
ofensif cenderung dipilih pemerintahan sayap kanan- tengah dalam politik
Israel. Sementara pemerintahan sayap kiri- tengah cenderung memilih
mengembangkan strategi defensif menghadapi ancaman kelompok anti-Israel. Dua
strategi defensif yang biasa digunakan Israel yaitu membangun tembok pembatas
dan meningkatkan pemeriksaan di pos perbatasan. Strategi defensif terbukti
lebih efektif mengurangi serangan kelompok anti-Israel.
Strategi
punitif juga digunakan Israel terutama dengan melakukan penahanan terhadap
tokoh-tokoh kelompok anti-Israel.
Makin
Sulit
Upaya
menghentikan siklus kekerasan antara Israel dan kelompok anti-Israel semakin
sulit karena ada kompleksitas di pihak Palestina. Kelompok anti-Israel yang
menggunakan strategi militer adalah mereka yang tak masuk ke dalam Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO). Kelompok ini, seperti Hamas dan Jihad Islam,
tumbuh dan berkembang di Wilayah Pendudukan. Mereka ada di tengah-tengah
publik Palestina dan turut merasakan kesulitan hidup publik Palestina di
bawah kekuasaan Israel.
Kelompok
ini menggunakan strategi militer sebagai strategi outbidding meraup dukungan
publik Palestina. Strategi militer digunakan sebagai bentuk nyata
perlindungan kepada publik dan makin menemukan posisinya pascakegagalan
perundingan oleh PLO. Peningkatan strategi militer Hamas sebelum operasi
militer Israel juga tak dapat dilepaskan dari keputusan melaksanakan pemilu
di Tepi Barat.
Mengingat
kelompok ini tidak terlibat di dalam PLO, mereka tak memiliki akses ke dunia
interna- sional secara resmi. Artinya, mereka tak termasuk dalam perwa- kilan
resmi Palestina di dalam pergaulan internasional. Strategi militer, dalam hal
ini, digunakan sebagai upaya melakukan internasionalisasi kelompok itu untuk
menunjukkan bahwa kelompok tersebut ada: perlu dipertimbangkan.
Yang
Harus Dipikirkan
Untuk
menghindari terjadinya konflik terbuka yang lebih besar, beberapa hal harus
dipikirkan oleh masyarakat internasional.
Pertama,
perlu dilakukan upaya mediasi untuk gencatan senjata antara Israel dan
kelompok anti-Israel. Upaya semacam ini telah beberapa kali dilakukan, jadi
masih mungkin dilakukan kembali. Hamas beberapa kali menyatakan gencatan
senjata sepihak atas dorongan dari Mesir dengan sepengetahuan dan kesediaan
Israel melakukan hal serupa. Gencatan senjata sepihak yang dideklarasikan
Hamas terakhir dilakukan pada 2003 ketika Israel dipimpin sayap kanan-tengah.
Kedua,
perubahan strategi utama kontrateror Israel dari strategi ofensif menjadi
strategi defensif. Perubahan ini dapat dilakukan dengan mekanisme pemaksaan.
Yitzhak Rabin mengubah strategi kontrateror Israel dari strategi ofensif ke
strategi defensif sebagai konsekuensi dari penandatanganan Kesepakatan Oslo.
Perundingan Israel-Palestina telah lama mandek (terakhir dilakukan ketika
Tzipi Livni perdana menteri). Membuka kembali perundingan Israel-Palestina
akan jadi pilihan positif mengubah strategi kontrateror Israel.
Terakhir,
untuk menghindari penggunaan strategi militer sebagai upaya outbidding, PLO
harus membuka kembali agenda reformasi dengan membuka pembicaraan dengan
kelompok anti-Israel yang berada di luar PLO. Pelibatan kelompok itu dalam
PLO akan meniadakan kebutuhan internasionalisasi karena kelompok itu dapat
melakukan pertarungan politik tanpa instrumen kekerasan.
Tanpa
intervensi dari luar, spiral kekerasan tampaknya akan menjebak Israel dan
kelompok-kelompok anti-Israel dalam konflik tanpa ujung. Jangan sampai spiral
kekerasan menjadi pilihan yang dianggap normal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar