Kamis, 22 November 2012

Karakter SDM dan Upah Ideal


Karakter SDM dan Upah Ideal
Bayu Kariastanto ;  Alumni STAN, Bekerja di Kementerian Keuangan
REPUBLIKA, 20 November 2012


Unjuk rasa buruh akhir-akhir ini kian marak, terlebih menjelang akhir tahun saat dilakukannya proses penyusunan dan penetapan upah minimum. Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan terjadi unjuk rasa/pemogokan buruh pada 2011 sebanyak 303 kali, jauh meningkat dibandingkan unjuk rasa buruh pada 2010 yang hanya 83 kali. Mayoritas unjuk rasa buruh menuntut upah.
Model ekonomi standar memprediksikan kenaikan upah minimum tanpa disertai kenaikan produktivitas pekerja akan menyebabkan kenaikan jumlah pengangguran. Jika seorang pekerja memiliki produktivitas yang lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan maka pekerja tersebut tidak akan mendapatkan pekerjaan di pasar tenaga kerja. 

Studi empiris menunjukkan hasil yang berbeda. Sebagian mendukung prediksi model standar dan sebagian kontra. Yang harus digarisbawahi dari penelitian- penelitian itu adalah dalam kondisi riil perekonomian, akan sangat sulit untuk mengisolasi pengaruh variabel-variabel lain yang secara bersamaan memengaruhi tingkat pengangguran untuk mengetahui efek bersih dari kenaikan upah minimum.

Meski pengaruh penetapan upah minimum terhadap jumlah pengangguran belum jelas, terdapat konsensus dari penelitian-penelitian itu. Yakni, penetapan upah minimum yang terlalu tinggi akan meningkatkan jumlah pekerja informal dan juga meningkatkan jumlah pengangguran di kalangan anak muda. Persoalan pokok sebenarnya bukan terletak pada perlu atau tidaknya penetapan upah minimum, melainkan bagaimana menetapkannya.

Rutkowski (2003) berpendapat bahwa upah minimum yang ideal harus ditetapkan berdasarkan rata-rata upah pekerja pada suatu wilayah yang mencerminkan rata-rata produktivitas pekerja di wilayah itu. Rutkowski juga berpendapat, upah minimum yang ideal adalah 30-50 persen upah rata-rata ter- sebut. 

Bagaimana dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia? Sektor informal masih menjadi penyerap terbesar tenaga kerja, yakni mencapai 78 persen dari total pekerja (OECD, 2009). Jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal ini sangat tinggi dibandingkan negara-negara yang sebanding, seperti Meksiko yang hanya 36 persen dan Rusia yang hanya sekitar 10 persen. 

Karakter kedua dari ketenagakerjaan di Indonesia adalah pengangguran didominasi oleh kalangan anak muda. Data BPS menunjukkan bahwa 53 persen pengangguran berusia di bawah 25 tahun dan mayoritas penganggur ini adalah pengangguran terdidik karena 74,5 persen berpendidikan SMA atau lebih tinggi.
Mencermati dua karakter ketenagakerjaan di Indonesia tersebut, sebaiknya penetapan upah minimum di Indonesia harusnya tidaklah terlalu tinggi untuk menaikkan penyerapan pekerja di sektor formal sekaligus mengurangi pengangguran di kalangan anak muda. Mengikuti pendapat Rutkowski, sebaiknya upah minimum ditetapkan 30 persen dari pendapatan rata-rata buruh di setiap provinsi/kabupaten.

Sayangnya, penetapan upah minimum di Indonesia tidak dikaitkan dengan upah rata-rata buruh atau rata-rata produktivitas pekerja. Menurut Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di setiap daerah oleh gubernur berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) yang komponennya ditetapkan oleh menteri Ketenagakerjaan. Perhi- tungan KHL dilakukan melalui survei yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat kabupaten/kota.
Penetapan upah minimum berdasarkan KHL yang disusun melalui mekanisme tripartit seperti ini selain dapat memicu terjadinya konflik horizontal yang sangat membahayakan, juga dapat merugikan perekonomian nasional. Penetapan upah minimum berdasarkan KHL merupakan kebijakan pro-cyclical yang dapat mem perdalam efek kri sis ekonomi yang mungkin melanda Indonesia pada masa depan.

Pro-cyclicality upah minimum dapat dijelaskan sebagai berikut. Saat terjadi krisis ekonomi, tingkat inflasi akan tinggi sehingga KHL dan upah minimum akan naik yang pada gilirannya mendorong inflasi lebih tinggi. Sedangkan, untuk keluar dari krisis ekonomi, syarat mutlaknya adalah seluruh perusahaan harus melakukan efisiensi yang salah satunya melalui pengurangan biaya produksi. Sebaliknya, saat kondisi perekonomian membaik, pertumbuhan produktivitas buruh, tinggi tetapi tingkat inflasi terkendali sehingga KHL dan upah minimum tumbuh terbatas yang seharusnya dapat tumbuh lebih tinggi sesuai peningkatan produktivitas.

Menurut hemat kami, sudah saatnya mekanisme penetapan upah minimum diubah. Namun, disayangkan perubahan tersebut harus melalui perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penelitian empiris di Indonesia menunjukkan, penetapan upah minimum yang tinggi sebenarnya merugikan pekerja sendiri karena secara langsung menciptakan PHK dan mengurangi daya serap sektor formal. 

Rama (1996) meneliti kenaikan upah minimum pada awal 90-an yang secara nominal mencapai tiga kali lipat atau dua kali lipat secara riil. Kenaikan tersebut ternyata hanya mampu menaikkan rata-rata upah hanya sebesar 10 persen yang diikuti dengan berkurangnya pekerja di sektor formal sebesar dua persen dan turunnya investasi sebesar lima persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar