Kamis, 22 November 2012

Gaza dan Spiral Kekerasan


Gaza dan Spiral Kekerasan
Broto Wardoyo ;  Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI
KOMPAS, 21 November 2012


Ahmed Jabari, pemimpin sayap militer Hamas, menjadi korban operasi militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Jalur Gaza. Kematian Jabari memicu peningkatan serangan roket dari Jalur Gaza dan memaksa Pemerintah Israel mengeluarkan perintah pengosongan wilayah dalam radius 25 kilometer dari Gaza.

Operasi militer Israel di Jalur Gaza dilaksanakan sebagai aksi retaliasi serangan roket kelompok anti-Israel dari Jalur Gaza. Dinas keamanan Israel, Shabak, mencatat bahwa selama Oktober 2012 terjadi 96 serangan dari Jalur Gaza: 72 di antaranya serang- an roket. Tak ada korban jiwa dalam serangan itu meski tiga pekerja asing terluka dalam serangan roket 24 Oktober. Serangan- serangan inilah yang diklaim Israel sebagai aksi provokasi.

Operasi militer merupakan salah satu strategi kontrateror yang biasa dilakukan Israel menghadapi ancaman kelompok anti-Israel. Strategi kontrateror Israel dapat dipilah menjadi tiga strategi utama: ofensif, defensif, dan punitif. Operasi militer, yang biasanya dilaksanakan terbatas tanpa pengerahan pasukan besar-besaran, merupakan salah satu bentuk strategi ofensif yang di- adopsi Israel sejak awal kemerdekaannya. Strategi ini memiliki beberapa fungsi.

Fungsi utama dan pertama strategi ini: penangkalan. Operasi militer dilakukan untuk menunjukkan kemauan bahwa Israel tak ragu membalas provokasi apa pun dengan tindakan militer. Fungsi ini dalam banyak kasus justru gagal. Operasi militer justru memicu terjadinya serangan dari kelompok anti-Israel yang lebih besar, baik dalam frekuensi maupun jumlah korban.

Selain demi penangkalan, operasi militer juga digunakan untuk meraup dukungan publik. Opera- si militer dilakukan sebagai bukti kemauan pemerintah memberi perlindungan terhadap publik dan menunjukkan bahwa pemerintah mengambil tindakan nyata dalam melawan provokasi yang dilakukan kelompok anti-Israel.

Kebutuhan ini membuat frekuensi pelaksanaan operasi militer cenderung meningkat manakala Israel akan melaksanakan pemilihan umum. Operasi saat ini tak dapat dilepaskan dari keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mempercepat pelaksanaan pemilu menyusul kegagalan menyusun anggaran.

Selain itu, pilihan pada operasi militer juga dipengaruhi dua faktor lain. Pertama, keberadaan kepala staf IDF yang cenderung kontroversial dan terlibat dalam politik praktis. Kepala Staf IDF saat ini dijabat oleh Rav-Aluf Binyamin Gantz. Benny Gantz diangkat sebagai kepala staf menyusul kegagalan pengangkatan Yoav Galant karena skandal pe- ngambilan paksa properti untuk kepentingan pribadi.

Gantz terlibat dalam banyak peristiwa penting dalam kariernya, saat menjadi kepala divisi Yudea dan Samaria (yang juga mengawasi Tepi Barat) ketika terjadi intifada kedua dan menjadi komandan wilayah Israel Utara saat Perang Lebanon yang kedua.

Selain operasi militer, strategi ofensif lain yang biasa dilakukan Israel adalah strategi pembunuhan terencana. Beberapa tokoh kelompok anti-Israel menjadi korban dari strategi ini. Abu Jihad, salah satu tangan kanan Arafat, dibunuh oleh Sayeret Matkal pada 1988 di Tunis. Dua pemimpin Hamas, Ahmed Yassin dan Abdel-aziz Rantisi, juga menjadi korban dari strategi ini pada 2004. Terbunuhnya dua tokoh Hamas dalam waktu dekat ini memaksa Hamas menyembunyikan identitas pemimpin utamanya karena khawatir akan menjadi korban selanjutnya.

Strategi ofensif cenderung dipilih pemerintahan sayap kanan- tengah dalam politik Israel. Sementara pemerintahan sayap kiri- tengah cenderung memilih mengembangkan strategi defensif menghadapi ancaman kelompok anti-Israel. Dua strategi defensif yang biasa digunakan Israel yaitu membangun tembok pembatas dan meningkatkan pemeriksaan di pos perbatasan. Strategi defensif terbukti lebih efektif mengurangi serangan kelompok anti-Israel.

Strategi punitif juga digunakan Israel terutama dengan melakukan penahanan terhadap tokoh-tokoh kelompok anti-Israel.

Makin Sulit

Upaya menghentikan siklus kekerasan antara Israel dan kelompok anti-Israel semakin sulit karena ada kompleksitas di pihak Palestina. Kelompok anti-Israel yang menggunakan strategi militer adalah mereka yang tak masuk ke dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Kelompok ini, seperti Hamas dan Jihad Islam, tumbuh dan berkembang di Wilayah Pendudukan. Mereka ada di tengah-tengah publik Palestina dan turut merasakan kesulitan hidup publik Palestina di bawah kekuasaan Israel.

Kelompok ini menggunakan strategi militer sebagai strategi outbidding meraup dukungan publik Palestina. Strategi militer digunakan sebagai bentuk nyata perlindungan kepada publik dan makin menemukan posisinya pascakegagalan perundingan oleh PLO. Peningkatan strategi militer Hamas sebelum operasi militer Israel juga tak dapat dilepaskan dari keputusan melaksanakan pemilu di Tepi Barat.

Mengingat kelompok ini tidak terlibat di dalam PLO, mereka tak memiliki akses ke dunia interna- sional secara resmi. Artinya, mereka tak termasuk dalam perwa- kilan resmi Palestina di dalam pergaulan internasional. Strategi militer, dalam hal ini, digunakan sebagai upaya melakukan internasionalisasi kelompok itu untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut ada: perlu dipertimbangkan.

Yang Harus Dipikirkan

Untuk menghindari terjadinya konflik terbuka yang lebih besar, beberapa hal harus dipikirkan oleh masyarakat internasional.

Pertama, perlu dilakukan upaya mediasi untuk gencatan senjata antara Israel dan kelompok anti-Israel. Upaya semacam ini telah beberapa kali dilakukan, jadi masih mungkin dilakukan kembali. Hamas beberapa kali menyatakan gencatan senjata sepihak atas dorongan dari Mesir dengan sepengetahuan dan kesediaan Israel melakukan hal serupa. Gencatan senjata sepihak yang dideklarasikan Hamas terakhir dilakukan pada 2003 ketika Israel dipimpin sayap kanan-tengah.

Kedua, perubahan strategi utama kontrateror Israel dari strategi ofensif menjadi strategi defensif. Perubahan ini dapat dilakukan dengan mekanisme pemaksaan. Yitzhak Rabin mengubah strategi kontrateror Israel dari strategi ofensif ke strategi defensif sebagai konsekuensi dari penandatanganan Kesepakatan Oslo. Perundingan Israel-Palestina telah lama mandek (terakhir dilakukan ketika Tzipi Livni perdana menteri). Membuka kembali perundingan Israel-Palestina akan jadi pilihan positif mengubah strategi kontrateror Israel.

Terakhir, untuk menghindari penggunaan strategi militer sebagai upaya outbidding, PLO harus membuka kembali agenda reformasi dengan membuka pembicaraan dengan kelompok anti-Israel yang berada di luar PLO. Pelibatan kelompok itu dalam PLO akan meniadakan kebutuhan internasionalisasi karena kelompok itu dapat melakukan pertarungan politik tanpa instrumen kekerasan.

Tanpa intervensi dari luar, spiral kekerasan tampaknya akan menjebak Israel dan kelompok-kelompok anti-Israel dalam konflik tanpa ujung. Jangan sampai spiral kekerasan menjadi pilihan yang dianggap normal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar