BP Migas Bubar,
Percepat Kemakmuran Rakyat
Kurtubi ; Alumnus Colorado School of Mines
(CSM), Denver Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs (ENSPM),
Paris; Pengajar Pascasarjana FE UI
|
MEDIA
INDONESIA, 19 November 2012
“Pertamina ke depan
haruslah didorong menjadi perusahaan minyak nasional yang besar, efisien dan
transparan yang bertugas menjamin pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri dan
memaksimumkan pengelolaan kekayaan migas nasional bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat.''
BANYAK pihak merasa
bahwa keputusan Mahkamah Kon stitusi (MK) yang membubarkan BP Migas bak
halilintar di siang bolong. Mengagetkan karena tidak disangka-sangka. Suatu
keputusan yang dirasakan sangat drastis.
Sebuah lembaga negara yang dikenal luas oleh rakyat berkat iklannya yang
banyak terpampang di hampir semua media cetak dan elektronik ternyata kini
harus menerima kenyataan: bubar! Bubar terhitung mulai dibacakannya keputusan
MK pada pukul 11.00 WIB 13 November 2012 karena keberadaannya dinilai
melanggar konstitusi.
Sebagai negara merdeka
yang modern dan demokratis, seluruh kehidupan berbangsa haruslah didasarkan
atas konstitusi, termasuk urusan pengelolaan kekayaan alam migas yang diatur
dalam Pasal 33 UUD 1945, dengan ayat 3 menyatakan bumi, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya (termasuk minyak dan gas yang ada di perut bumi)
dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Frasa `untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat' merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
tata kelola kekayaan migas yang harus dikuasai negara. Ini berarti bahwa
tidak boleh ada sistem tata kelola yang tidak memungkinkan tercapainya
pengelolaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Saat ini, frasa `untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat' mustahil bisa dicapai karena sistem tata ke
l o la yang diserahkan ke lembaga nonbisnis, dalam wujud BP Migas. Contoh
konkret yang paling aktual ialah biaya pokok penyediaan (BPP) listrik oleh
PLN yang melonjak berakibat melonjaknya subsidi listrik yang berujung pada
naiknya TTL (tarif tenaga listrik) yang harus dibayar rakyat dan kala ngan
dunia usaha. Melonjaknya BPP listrik disebabkan pembangkit PLN kekurangan
gas. Pada saat yang sama, gas dari Tangguh Papua diekspor ke luar negeri
dengan harga sangat murah.
Ketiadaan gas untuk
PLN dan terjualnya gas ke luar negeri dengan harga murah disebabkan status BP
Migas sebagai pengelola kekayaan migas nasional, tidak bisa berbisnis, tidak
bisa membangun pabrik LNG, dan ti dak bisa menjual gas milik/bagian negara
sehingga harus menunjuk pihak lain.
Potensi Pelanggaran
Sewaktu British/Beyond
Petroleum ditunjuk membangun train 1 dan 2, dan seluruh kapasitas pabrik
sebesar 7,5 juta ton direncanakan diekspor ke China, Korea, dan Ame rika
Serikat, di sini terjadi po tensi pelang garan h u kum. Mengapa sewaktu BP
mengajukan POD (plan of development) ke BP Migas tidak ada satu tetes pun gas
yang akan dihasilkan train 1 dan 2 dialokasikan untuk kepentingan dalam
negeri?
Padahal pembangkit PLN dan kalangan industri sangat membutuhkan gas. Kalau
gas dari train 1 dan 2 sejak dini sebagian dialokasikan untuk dalam negeri,
kebutuhan gas dalam negeri akan terpenuhi, tentu dengan terlebih dahulu
membangun infrastrukturnya.
Menurut BPK, PLN rugi
Rp37 triliun hanya dalam tempo dua tahun karena kekurangan gas. Ketika LNG
Tangguh dijual murah ke China, potensi kerugian sekitar Rp30 triliun/tahun
yang kalau harga jualnya tidak diubah untuk mengikuti harga jual yang normal,
negara bisa rugi sekitar Rp600 triliun untuk masa kontrak 20 tahun.
Contoh lain kerugian
negara dengan sistem tata kelola di bawah BP Migas ialah menyangkut blok
produksi yang selesai kontrak. Hingga 2021, sekitar 12 blok produksi migas
yang akan selesai kontrak, termasuk blok-blok besar seperti Blok Mahakam yang
menghasilkan 34% dari produksi gas nasional, akan selesai pada 2017. Blok
Rokan yang menghasilkan minyak mentah sekitar 47% dari produksi minyak
nasional akan selesai pada 2021.
Menurut ketentuan,
blok produksi yang selesai kontrak dikembalikan ke negara dengan seluruh
asetnya sudah menjadi milik/hak negara, baik berupa sisa cadangan migas yang
ada di perut bumi maupun semua infrastruktur produksi. Mestinya blok yang
sudah selesai kontrak dikembalikan dan dilanjutkan pengoperasiannya oleh
negara. Namun, karena BP Migas bukan perusahaan, mustahil bagi BP Migas untuk
melanjutkan operasi produksinya. Akibatnya, timbul rekayasa untuk
diperpanjang atau dioper ke kontraktor lain.
Memperpanjang kontrak
blok produksi yang sudah selesai kontrak sama artinya dengan memberikan
secara gratis (semacam sedekah) harta milik negara kepada kontraktor. Itu
pasti melanggar konstitusi (Pasal 33), melanggar etika (karena rakyat
Indonesia sendiri masih miskin), dan bahkan berpotensi melanggar hukum alias
tindakan kriminal (dengan merekayasa/ kongkalikong).
Pasalnya, meski
kontraktor menjanjikan akan menginvestasikan dana besar, katakanlah dalam
kasus Blok Mahakam misalnya mereka akan investasi US$5 miliar, toh seluruh
dana yang diinvestasikan itu pasti akan dikembalikan sepenuhnya, lewat cost recovery. Jadi, kontraktor akan
menerima uang gratis (semacam sedekah) dari Indonesia sebesar 30% dari nilai
produksi gas setelah dikurangi cost recovery yang juga diterima utuh oleh
kontraktor.
Kalau nilai sisa
cadangan gas yang bisa diproduksi US$20 miliar dan tambahan investasi oleh
kontraktor sebesar US$5 miliar, dalam tempo lima tahun produksi, investasi
US$5 miliar akan diterima kembali secara utuh oleh kontraktor lewat cost
recovery dan kontraktor akan memperoleh uang gratis dari Indonesia sebesar =
(US$20 miliar US$5 miliar) x 30% = US$4,5 miliar atau sekitar Rp42 triliun!
Hitungan yang disederhana kan itu juga berlaku untuk Blok Rokan yang akan
selesai kontrak pada 2021 dengan nilai sisa ca dangan minyaknya bisa mencapai
lebih dari US$100 miliar.
Agar blok produksi
yang selesai kontrak (setelah dioperasikan kontraktor sekitar 50 tahun) bisa
kembali 100% ke negara sehingga negara tidak `dipaksa' untuk memberikan uang
sedekah secara gratis kepada mereka, pihak yang diserahi mengelola kekayaan
migas nasional dan yang menandatangani kontrak dengan kontraktor haruslah
BUMN (Pertamina).
Tuduhan bahwa
Pertamina memerankan fungsi ganda, sebagai operator sekaligus regulator,
sehingga menimbulkan conflict of interest, merupakan tuduhan yang tidak benar
yang sengaja dihembuskan IMF dan pihak-pihak tertentu untuk mengegolkan RUU
Migas di DPR 1999-2001.
Pertamina berdasarkan
UU No 8/1971 adalah pemegang kuasa pertambangan yang bertugas memaksimumkan
kekayaan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pertamina bukan
perusahaan migas yang harus bersaing dengan perusahaan asing di negerinya
sendiri karena Pertamina mewakili negara sebagai `pemilik' migas yang ada di
perut bumi.
Mendorong Pertamina
Pertamina berkontrak
dengan perusahaan asing sebagai kontraktornya, bukan sebagai pesaing. Sejak
Pertamina lahir hingga hari ini, Pertamina tidak pernah berfungsi sebagai
regulator. Yang membuat regulasi (regulator) dari dulu ialah pemerintah.
Contoh sebelum UU Migas, produksi minyak masih tinggi, selalu di atas kuota
OPEC. Setiap OPEC meminta Indonesia mengurangi produksi, pemerintahlah yang
mengatur perusahaan-perusahaan mana yang harus mengurangi produksi. Demikian
juga dalam hal harga BBM. Pemerintahlah yang memutuskan dan mengumumkan
penaikan harga BBM.
Bukan regulasi Pertamina!
Kini kembali tuduhan
serupa dihembuskan pihak-pihak yang menginginkan agar negeri yang rakyat
miskinnya sekitar 60 juta orang (standar kemiskinan Bank Dunia) harus
menyedekahkan hartanya kepada para kontraktor dengan cara kekayaan migas
nasional tetap dikelola BP Migas dan sejenisnya meski BP Migas sudah
dibubarkan MK!
Solusi yang sangat
sementara melalui Perpres No 95/2012 yang mengalihkan tugas dan fungsi BP
Migas ke lembaga nonbisnis di bawah koordinasi Kementerian ESDM harus segera
disempurnakan lewat perpres yang baru atau lewat peraturan pemerintah
pengganti UU (perppu) yang mengalihkan tugas dan fungsi BP Migas ke
Pertamina.
Pertamina ke depan
haruslah didorong menjadi perusahaan minyak nasional yang besar, efisien dan
transparan yang bertugas menjamin pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri dan
memaksimumkan pengelolaan kekayaan migas nasional bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Termasuk dibuka kemungkinan untuk memonetasi aset cadangan
migas guna mengakumulasi dana untuk melunasi utang negara dan membiayai
infrastruktur secara masif di seluruh Indonesia.
Peluang itu mungkin,
dengan memanfaatkan perkembangan empiris dalam ilmu ekonomi energi dan sumber
daya alam dalam 30 tahun terakhir ini, yakni aset yang berupa cadangan migas
dan tambang yang ada di perut bumi, bersifat bankable (bisa dijadikan agunan
di bank) untuk memperoleh pinjaman, dan juga bersifat tradeable (bisa diperdagangkan) meski aset/cadangan migas dan
tambang secara fisik masih berada di perut bumi.
Yang bisa melakukan
aksi bisnis seperti itu tentu pemilik dari aset tersebut yang harus diwakili
BUMN, bukan oleh BP Migas dan lembaga sejenisnya yang tidak bisa berbisnis.
Untuk itu, DPR dan pemerintah harus segera melahirkan UU baru yang meng atur
tata kelola migas nasional yang menyatakan secara jelas bahwa kekayaan berupa
cadangan yang ada di perut bumi dikuasai dan dimiliki negara. Kepemilikan
oleh negara diserahkan kepada BUMN yang diberi tugas untuk memaksimumkan
pengelolaannya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, termasuk dengan
berkontrak dengan perusahaan asing/swasta dan dengan memonetasi aset cadangan
migas.
Itu cara yang tepat
dan konstitusional untuk mempercepat kemakmuran rakyat! ●
|
beda yah kurtubi 2005 dengan kurtubi era sekarang:
BalasHapushttp://finance.detik.com/read/2005/09/05/104436/435028 /4/kurtubi-direksi-pertamina-j angan-sok-nasionalis
pasal 33 itu bisa di capai kalau memang ada kemauan yang kuat..dan setiap perubahan itu ada yang di rugikan dan ada yang di untungkan..itu pasti.tetapi kalau rakyat dan bangsa ini yang untung dan makmur..kanapa tidak di capai....!
BalasHapus