Mengawal RUU
Penyiaran
Amir Effendi Siregar ; Ketua Serikat Perusahaan Pers Pusat
|
KORAN
TEMPO, 19 November 2012
Menggembirakan,
RUU Penyiaran inisiatif DPR telah disahkan tanggal 23 Oktober 2012. Secara
prinsip, isinya bagus dan demokratis. Namun, di samping banyak pasal penting
yang bagus, terdapat beberapa pasal yang perlu diperbaiki.
RUU dimulai dengan pemikiran filosofis yang
demokratis dan bagus. Kemerdekaan berpendapat harus dijamin dan dijalankan
secara bertanggung jawab. Spektrum frekuensi radio adalah milik publik dan
sumber daya alam terbatas yang harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Keanekaragaman kepemilikan dan isi harus dijamin serta dilaksanakan untuk
menjaga pluralisme masyarakat, otonomi daerah, integrasi, dan identitas
nasional guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan pemikiran yang bersifat filosofis ini, RUU disusun.
Regulator Penyiaran
RUU ini tegas menetapkan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) dan pemerintah sebagai regulator penyiaran dengan KPI sebagai
regulator utamanya. Di banyak negara demokrasi, memang yang menjadi regulator
utama penyiaran adalah lembaga negara independen.
KPI antara lain bertugas menjamin
masyarakat menerima isi siaran yang sehat dan menciptakan tatanan informasi
nasional yang adil, merata, dan seimbang. Kemudian KPI berwenang memberikan
Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), membentuk peraturan penyelenggaraan
penyiaran, menetapkan Standar Program Siaran, dan memberikan sanksi atas
pelanggaran. Pemerintah mengeluarkan Izin Penetapan Frekuensi untuk
penyiaran.
Namun RUU ini memberikan KPID wewenang
mengeluarkan IPP di daerah. KPI pusat juga mengeluarkan IPP. Apa bedanya?
Apakah IPP dari KPI pusat khusus untuk induk LPS? RUU tidak memberikan
penjelasan. Ini dapat membuat terjadinya pertikaian dan kesulitan banyak
pihak dalam berhubungan dengan banyak KPID. Seharusnya hubungan antara KPI
dan KPID bersifat hierarkis, ada komando dan perintah, serta bersifat
koordinatif. Pengaturan penyiaran yang juga mengatur penggunaan frekuensi
terikat pada ketentuan International Telecommunication Union (ITU) yang
sifatnya juga hierarkis dan koordinatif. Karena itu, sebaiknya IPP hanya
dikeluarkan oleh KPI pusat, namun harus melalui proses dan rekomendasi dari
KPID.
Penyiaran Publik
Sebagai penyeimbang, kehadiran Lembaga
Penyiaran Publik (LPP) adalah keharusan. RUU menyatakan bahwa LPP adalah Radio
Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang merupakan gabungan RRI dan TVRI. Agar
LPP tumbuh dan berkembang pesat, RTRI akan diatur dengan undang-undang
terpisah yang masih dalam pembahasan di DPR.
Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) mendapat
tempat penting di samping lembaga penyiaran publik, swasta, dan berlangganan.
LPK didirikan oleh komunitas di wilayah tertentu atau oleh komunitas yang
terikat dengan kepentingan tertentu, bersifat independen, nirlaba, serta
melayani kepentingan komunitasnya. Sumber pembiayaan berasal dari
komunitasnya dan/atau sumbangan, hibah, serta sponsor. Konsep LPK ini
mendekati konsep penyiaran komunitas di Eropa Barat dan public broadcasting
service di Amerika Serikat.
Yang menarik dan baru adalah, LPK dapat
memancarluaskan siaran melalui jaringan LPK. Itu berarti LPK Universitas
Indonesia dapat berjaringan dengan LPK UGM dan perguruan tinggi lainnya.
Jaringan ini tidak harus nasional, tapi bisa regional. Ide jaringan LPK
adalah ide yang bagus, namun memerlukan pengaturan lebih lanjut.
Penyiaran Swasta
Lembaga penyiaran swasta (LPS), yang kini
dominan, tentu saja penting dalam RUU ini. LPS yang ingin memancarluaskan
siaran ke lebih dari satu wilayah siar wajib melalui sistem jaringan. Lembaga
penyiaran lokal yang menjadi bagian dari sistem siaran jaringan wajib
berbadan hukum dan berlokasi di daerah wilayah siar. Dengan demikian,
nantinya, di setiap daerah bisa terdapat LPS yang merupakan induk jaringan,
LPS yang merupakan anggota jaringan dan dimiliki oleh induk, LPS anggota
jaringan tapi tidak dimiliki induk, dan LPS yang independen bukan anggota
jaringan.
Kepemilikan LPS
Untuk menjamin keanekaragaman kepemilikan,
sebagaimana juga terjadi di negara demokrasi lainnya, RUU ini mengatur secara
ketat kepemilikan media free to air ini. Sebagai contoh, satu orang atau satu
badan hukum dapat menguasai dan memiliki lebih dari 1 dan paling banyak 2 LPS
televisi dalam bentuk induk stasiun jaringan dengan yang kedua terletak di
wilayah siar lain dan tidak berada dalam posisi 1 sampai dengan 4 dalam
perolehan iklan televisi swasta nasional. Kemudian hanya dapat menguasai dan
memiliki 1 LPS televisi di satu wilayah siar. Boleh memiliki lebih dari 1 LPS
televisi lokal di berbagai wilayah siar dan boleh menjangkau secara nasional
sepanjang 20 persen secara proporsional ditujukan di daerah kurang
maju/termarjinalkan.
Selanjutnya, RUU dengan tegas menekankan
bahwa perubahan saham pengendali yang memiliki dan menguasai LPS harus
dilaporkan dan mendapat izin dari KPI.
Digitalisasi
RUU memberikan dasar hukum pelaksanaan
penyiaran dengan teknologi digital. Penyebarluasan program dan isi siaran
dalam teknologi digital akan dilakukan oleh Lembaga Penyelenggara Penyiaran
Multipleksing (LPPM). Satu kanal atau frekuensi yang tadinya hanya untuk 1
saluran program, kini bisa menjadi 12 saluran program. Sehingga nantinya
terdapat: 1). Lembaga penyiaran yang membuat program dan isi; dan 2). LPPM
yang bisa dimiliki oleh konsorsium, badan usaha milik swasta ataupun milik
negara. LPPM wajib menjaga netralitas, independensi, dan profesionalitas.
Kesempatan terbuka sama untuk seluruh badan hukum penyiaran, termasuk yang
baru.
Putusan MK
MK pada 3 Oktober 2012 menolak permohonan
Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang meminta tafsir
tunggal tentang pemusatan kepemilikan. Kini, banyak badan hukum yang memiliki
lebih dari 1 LPS di satu daerah dengan jaringan di daerah lain. Menurut KIDP,
itu dilakukan karena tafsir yang keliru. MK menolak melakukan tafsir karena
sudah jelas terdapat dalam PP Nomor 50 Tahun 2005 yang mengatakan antara lain
bahwa satu badan hukum paling banyak memiliki 2 IPP di 2 provinsi yang
berbeda. Kemudian paling banyak memiliki saham 100 persen pada badan hukum
pertama dan 49 persen pada badan hukum kedua. Sehingga, bila terjadi
penyimpangan, bukanlah masalah konstitusionalitas, melainkan soal
implementasi norma. Keputusan MK jelas menolak pemusatan kepemilikan yang
sekarang terjadi.
Bila MK dan
DPR sepakat untuk membatasi ketat pemusatan kepemilikan, pemerintah pun nanti
seharusnya sepakat. RUU ini memberi batas waktu penyesuaian untuk radio 1
tahun 6 bulan, dan televisi 3 tahun. Ini adalah waktu yang cukup. Lewat awal
yang bagus, baiknya seluruh masyarakat mengawal RUU agar menjadi
undang-undang yang demokratis dalam membangun sistem penyiaran Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar