Sains dan
Kebijakan Publik
Dian R Basuki ; Peminat Isu-isu Sains dan Kemasyarakatan
|
KORAN
TEMPO, 03 Oktober 2012
“…Sejarah mengajarkan bagaimana pemakaian pestisida dalam rangka "Revolusi
Hijau" ternyata dalam jangka panjang menimbulkan kerusakaan serius
terhadap lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia. Dibutuhkan waktu
sekitar 30 tahun untuk melarang pemakaian DDT, yang ketika ditemukan dijuluki
sebagai "insektisida ajaib"…”
Keluarnya rekomendasi Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetik bahwa jagung transgenik varietas RR NK603 dan Bt Mon 89034 aman
sebagai pakan memang mengejutkan. Betapa tidak? Pada saat yang hampir
bersamaan, Gilles-Eric Seralini dan kawan-kawan dari Universitas Caen, Prancis,
memaparkan hasil risetnya bahwa mencit (tikus
putih) yang diberi pakan jagung transgenik NK603 terkena tumor, serta kerusakan
hati dan ginjal.
Meskipun hasil penelitian yang
dipublikasikan di jurnal Food and
Chemical Toxicology itu disikapi secara kritis oleh sebagian ahli lainnya,
pemerintah sejumlah negara di Eropa mempertimbangkannya secara serius. Media
massa memberitakan, pemerintah Prancis akan melakukan penelitian lanjutan,
Austria meminta Uni Eropa meneliti lebih mendalam setiap permintaan persetujuan
produk transgenik, dan Rusia menutup sementara impor jagung transgenik.
Terkait dengan rekomendasi Komisi
Keamanan Hayati, dugaan Khudori (Koran
Tempo, 27 September 2012) bahwa rekomendasi itu mungkin sengaja dilepaskan
ketika masyarakat tengah sibuk dengan ingar-bingar politik domestik dapat
dimaklumi. Rekomendasi penting itu memang nyaris luput dari perhatian publik
karena ekspose media yang kurang. Padahal rekomendasi ini terlalu penting untuk
tidak diperhatikan, karena menyangkut produk rekayasa genetik yang dampak
potensialnya terhadap lingkungan dan manusia patut dipertimbangkan secara
sungguh-sungguh.
KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992,
menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik dalam
menyikapi setiap produk rekayasa genetik mengingat dampak jangka panjangnya
yang belum diketahui. Indonesia, tentu saja, ikut mengadopsi prinsip ini.
Karena itu, mengherankan bahwa sebuah rekomendasi penting dapat dikeluarkan
dengan hanya berpegang pada dokumen (data laboratorium) yang diserahkan oleh
perusahaan yang mengajukan permintaan izin mengedarkan produk tersebut. Uji
klinis tidak dilakukan, tapi Komisi sudah berani mengambil keputusan untuk
memberi rekomendasi aman.
Pentingnya mendiskusikan hubungan
antara ilmu pengetahuan kealaman (sains) dan kebijakan publik memperoleh
penegasan kembali dengan munculnya kasus ini. Juga mengingat kasus-kasus
sebelumnya, seperti hasil penelitian susu berbakteri dan sempat hilangnya
"ayat tembakau" dari RUU Kesehatan, yang "akhir ceritanya"
kabur. Terdapat kemungkinan bahwa kasus-kasus serupa akan muncul di masa mendatang
tetapi tidak berujung pada kesimpulan yang tuntas.
Hubungan timbal-balik antara
sains dan kebijakan publik ini dapat dilihat dari dua sisi. Tatkala kita
berbicara perihal sains sebagai sejenis pengetahuan yang berkenaan dengan dunia
alam, pengetahuan ini menjadi subyek analisis kritis di lingkungan keilmuan,
dan bukan subyek otoritas politik ataupun regulasi. Mempertanyakan hasil riset
Seralini merupakan sikap yang sah (misalnya dari peer review), sebagaimana peneliti Prancis ini juga sah dalam
menguji produk jagung transgenik tersebut. Perdebatan pro-kontra ini mesti
dilakukan dalam koridor cara-cara kerja keilmuan, bukan ditunggangi oleh
kepentingan lain, seperti kekuasaan, politik, maupun ekonomi-bisnis.
Independensi ilmuwan dalam
melakukan penelitian menjadi taruhan ketika kepentingan lain menunggangi.
Mempertahankan "kebenaran ilmiah" yang ditemukan di laboratorium
merupakan persoalan krusial yang dihadapi ilmuwan yang bekerja di institusi
mana pun, apalagi di perusahaan besar. Keadaannya menjadi lebih buruk manakala
kekuatan sains secara sadar bersekutu dengan kekuatan bisnis demi kepentingan
ekonomi semata.
Di sisi lain, sains menyediakan
informasi bagi pembuat kebijakan berkaitan dengan fenomena alam, teknologi,
maupun hal penting lain yang relevan dengan kebijakan publik. Ketika pemerintah
hendak memutuskan untuk melarang penjualan ayam karena terinfeksi flu burung,
misalnya, pelarangan itu didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan aparat
pemerintah. Karena itu, rekomendasi bahwa jagung transgenik aman seharusnya
juga didasarkan pada hasil uji klinis oleh lembaga pemberi rekomendasi, bukan
hanya berdasarkan dokumen pihak yang mengajukan permintaan izin. Sains, dalam
konteks ini, harus menjadi basis dalam memutuskan kebijakan publik.
Ketika sains memasuki wilayah
yang lebih luas dan berpengaruh terhadap lingkungan hidup serta kehidupan
manusia, dibutuhkan pemahaman yang lebih kompleks sebelum suatu kebijakan
publik diputuskan. Pengalaman buruk yang diakibatkan oleh penggunaan
produk-produk sains dan teknologi penting menjadi pertimbangan yang melengkapi
prinsip kehati-hatian. Sejarah mengajarkan bagaimana pemakaian pestisida dalam
rangka "Revolusi Hijau" ternyata dalam jangka panjang menimbulkan
kerusakaan serius terhadap lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia.
Dibutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk melarang pemakaian DDT, yang ketika
ditemukan dijuluki sebagai "insektisida ajaib".
Sebagaimana, melalui Silent Spring, Rachel Carson
memperingatkan dunia perihal dampak buruk pemakaian pestisida, khususnya DDT,
melalui Why Things Bite Back Edward
Tenner menunjukkan apa yang ia sebut "efek
balas dendam" dari penggunaan produk sains dan teknologi. Dari studi
mendalamnya, Tenner menyimpulkan bahwa "efek balas dendam" terjadi karena struktur-struktur,
peralatan-peralatan, dan organisme-organisme baru bereaksi dengan manusia di
dalam situasi riil dengan cara-cara yang tidak dapat kita ramalkan.
Dalam pengambilan kebijakan
publik terkait dengan pemakaian produk sains dan teknologi yang unsur
ketidakterdugaannya harus diwaspadai, partisipasi publik merupakan kemestian.
Memang ada keterbatasan partisipasi terkait dengan tingkat literasi masyarakat
dalam isu-isu semacam rekayasa genetik, tetapi suara masyarakat tetap harus
dipertimbangkan. Masyarakat harus memiliki akses terhadap informasi yang
melatari isu-isu sains dan teknologi yang memengaruhi kehidupan mereka.
Sikap kritis ilmuwan terhadap
kesimpulan ilmiah, cara pengambilan keputusan, maupun substansi kebijakan
publik juga sangat penting bagi kemaslahatan masyarakat. Para ilmuwan memiliki kewajiban untuk mengingatkan
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul dari suatu kebijakan, walaupun
peran advokasi ini mungkin problematis. Namun masyarakat luas membutuhkan peran
semacam ini mengingat setiap kemajuan sains dan teknologi membawa konsekuensi
yang paradoksal dan tak diniatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar