Rabu, 10 Oktober 2012

KPK Melawan Oligarki


KPK Melawan Oligarki
Novri Susan ;  Sosiolog Universitas Airlangga
KORAN TEMPO, 10 Oktober 2012


Praktek-praktek korupsi sering kali melibatkan elite politik, aktor kekuasaan negara, dan kelompok swasta dari level pusat dan daerah. Di antara praktek-praktek korupsi, seperti korupsi alat kesehatan Kementerian Koordinator Kesra, korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang, korupsi pengadaan Al-Quran, suap penerbitan hak guna usaha (HGU) perkebunan di Buol, dan kasus terakhir yang tersingkap oleh KPK adalah proyek pengadaan simulator SIM Polri.

Ketiga aktor tersebut, dari pusat sampai daerah, saling mentransaksikan dua esensi mendasar dalam praktek korupsi, yaitu wewenang politik dan uang. Mereka jalin-menjalin sebagai oligarki, yaitu jejaring kuasa politik dan modal. Kepentingan oligarki, selain mempertahankan kekuasaannya, adalah mengakumulasi modal dan kekayaan. Korupsi merupakan salah satu praktek oligarki yang menonjol dalam menjaga kepentingannya. Karena itu, upaya KPK melakukan pemberantasan korupsi mendapatkan perlawanan keras dari oligarki Indonesia.

Konflik Asimetris

Indikasi tekanan oligarki bisa dilihat dari resistansi elite-elite di DPR, Polri, kejaksaan, dan jejaring pendukungnya. Kriminalisasi terhadap para pemimpin KPK, kebijakan menolak penambahan dana untuk keperluan penambahan jumlah staf dan gedung baru KPK, dan gerakan revisi Undang-Undang KPK yang melemahkan gerak KPK merupakan beberapa indikasi dari berbagai tekanan oligarki. Pada kasus terbaru, indikasi tekanan oligarki muncul ketika KPK mengusut skandal pengadaan simulator mengemudi Polri yang diduga melibatkan para jenderal polisi. Tekanan para elite Polri mengeras dengan ditandai penarikan sepihak para penyidik Polri dari KPK. Puncak eskalasi, terjadi "pengepungan" oleh provost dan anggota kepolisian di gedung KPK untuk menangkap penyidik Polri, Novel Baswedan, yang memilih bertahan tetap menjadi penyidik KPK.

Tekanan bertubi-tubi dari DPR, Polri, dan sekutu-sekutunya merupakan bentuk torture (penyiksaan) secara politik hukum yang bisa mencacati kemampuan atau bahkan mematikan KPK. Intensitas torture yang dilakukan secara semena-mena itu merupakan fenomena relasi konflik asimetris, di mana KPK ada pada posisi lebih lemah. Lemah dari segi sumber daya politik, modal ekonomi, dan personel. KPK dalam konflik asimetris melawan oligarki ini sangat membutuhkan keberpihakan politik. Tanpa keberpihakan politik dari institusi yang kuat, KPK tidak memiliki cukup daya.

Publik nasional pun sangat memahami konflik asimetris KPK melawan oligarki tersebut. Jika terjadi pembiaran terhadap kekuatan oligarki yang terus-menerus melakukan torture, KPK sebagai harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi bisa berubah menjadi "lembaga politik zombi", lembaga yang hanya ada secara organisasional namun tanpa roh dan kemampuan melakukan pemberantasan korupsi. Kondisi ini setara dengan kematian. Maka, publik nasional dari NGO, organisasi mahasiswa, sivitas akademika universitas, dan masyarakat sipil lainnya memberikan keberpihakan politik terhadap KPK. Mereka bergerak melalui media sosial dan aksi turun ke jalan. Keberpihakan rakyat terhadap KPK merupakan legitimasi konkret yang sangat dibutuhkan untuk memberikan kekuatan kepada KPK dalam situasi konflik asimetris melawan oligarki korup.

Mediasi Progresif

Legitimasi konkret yang diberikan rakyat kepada KPK pun berhasil memaksa Presiden mempraktekkan mediasi progresif pada konflik asimetris KPK melawan oligarki. Mediasi progresif yang diharapkan publik adalah proses politik hukum yang memberi keseimbangan relasi kuasa yang ditandai oleh deeskalasi dan berakhirnya praktek torture terhadap KPK. Pidato Presiden pada 8 Oktober yang lalu tampil cukup berbeda dari biasanya. Meski demikian, apakah pidato Presiden tersebut mampu mencapai misi mediasi progresif?

Lima poin kesimpulan dari pidato Presiden secara garis besar adalah penyerahan kasus simulator mengemudi Polri kepada KPK dan pengadaan barang lainnya kepada Polri, mempersoalkan waktu penangkapan Kompol Novel Baswedan, rencana menerbitkan peraturan pemerintah tentang penyidik Polri di KPK, pernyataan bahwa revisi UU KPK tidak tepat saat ini, dan MoU baru antara KPK dan Polri untuk menciptakan sinergi kerja sama. Pidato Presiden secara sekilas memuaskan apa yang menjadi tuntutan publik nasional. Namun secara substantif tidak sedang menjalankan mediasi progresif, melainkan hanya memberi resolusi konflik politik jangka pendek.

Misalnya poin pertama, penyerahan dugaan korupsi simulator mengemudi kepada KPK tanpa dikuatkan oleh visi strategis jangka panjang yang memungkinkan KPK bisa menginvestigasi kasus-kasus korupsi lain di tubuh Polri. Sebab, dugaan korupsi di tubuh Polri sangat kuat, seperti pada proyek pengadaan alat pencetak pelat nomor polisi. Sedangkan publik nasional tidak memiliki kepercayaan bahwa Polri akan mengusut dan menyelesaikan hingga tuntas kasus korupsi secara independen. Karena itu, KPK merupakan lembaga hukum yang seharusnya diberi dukungan untuk mengusut kasus-kasus dugaan korupsi lainnya, baik di tubuh Polri maupun lembaga-lembaga negara lainnya.

Terkait dengan isu revisi Undang-Undang KPK, Presiden hanya menyebutkan soal waktu tanpa memberi kejelasan konteks waktu seperti apa UU KPK bisa direvisi. Selain itu, Presiden tidak dalam posisi tegas memberi keberpihakan politik kepada KPK. Padahal tugas mediasi progresif dalam konflik asimetris adalah memberi perimbangan kekuatan kepada yang lebih lemah agar terbebas dari torture pihak yang memusuhinya.

Publik nasional tentu menghormati upaya Presiden dalam klaimnya telah berupaya mempraktekkan politik mediasi. Akan tetapi pidato Presiden lebih mengisyaratkan keterpaksaan akibat tuntutan publik ketimbang upaya mencapai misi mediasi progresif. Keterpaksaan tersebut menciptakan model kebijakan kompromistik yang menawarkan resolusi konflik jangka pendek. Hal ini bisa memberi konsekuensi paling tragis bahwa KPK akan tetap dalam situasi konflik asimetris melawan oligarki. Gelombang torture dari oligarki yang tersebar di dalam struktur kekuasaan negara dan jejaring modal akan terus berupaya menciptakan KPK zombi. Lembaga yang hanya ada secara organisasional, namun lenyap roh dan kekuatan untuk melawan oligarki korup di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar