Politik
Kaum Salafi di Mesir
Zuhairi Misrawi,
ANALIS
PEMIKIRAN DAN POLITIK TIMUR TENGAH
Sumber
: KOMPAS, 12 Januari 2012
Hasil pemilu tahap terakhir di Mesir semakin
melambungkan popularitas kaum salafi. Pasalnya, Partai Al-Nour yang diusung
kalangan salafi mendapatkan 20 persen suara.
Suara mereka mengalahkan partai liberal,
kiri, dan moderat. Mereka hanya kalah dari perolehan suara Ikhwanul Muslimin
yang mendapatkan sekitar 40 persen suara.
Elektabilitas kaum salafi dalam panggung
politik pasca-revolusi 25 Januari sangat mengejutkan semua pihak. Mereka tidak
terlibat dalam revolusi yang menjatuhkan rezim otoriter Hosni Mubarak. Bahkan,
selama Hosni Mubarak berkuasa, kaum salafi memilih untuk loyal kepada rezim
otoriter tersebut.
Mereka tak pernah punya pengalaman dalam
politik praktis. Pada tahun 1984, mereka mengafirkan Ikhwanul Muslimin yang
memilih untuk berpartisipasi dalam politik praktis pada 1984. Pada masa itu,
kaum salafi memandang siapa pun yang terlibat dalam perebutan kekuasaan melalui
proses demokratis adalah sikap yang tidak dibenarkan dalam kacamata mereka.
Berubah
Drastis
Namun, situasinya saat ini berubah 100
persen. Kaum salafi di Mesir mendirikan partai politik yang secara eksplisit
merevisi sikap mereka dari yang semula menolak berpolitik praktis menuju salah
satu pendukung pesta demokrasi pasca-revolusi. Secara menakjubkan mereka mampu
mengonsolidasikan dukungan publik untuk menentukan pilihan bagi mereka.
Menurut Hazem Abdurrahman dalam Salafiyyun
lakinnahum Harafisy, perolehan suara kaum salafi dalam pemilu pasca-revolusi
terkait dengan kemampuan mereka dalam membangun komunikasi politik dengan 30
juta warga miskin di pedalaman Mesir. Kenyataan ini membuktikan kaum salafi
punya basis sosial yang kuat, di samping Ikhwanul Muslimin. Eksistensi kaum
salafi tidak boleh diabaikan karena mereka merupakan salah satu kekuatan
politik yang punya ideologi, jaringan, dan basis massa. Seperti halnya Ikhwanul
Muslimin yang merajai dunia Arab, kaum salafi juga merambah ke berbagai penjuru
dunia, khususnya di Timur Tengah.
Secara ideologis, menurut Ahmad Mousalli
dalam Wahhabism, Salafism, and Islamism: Who Is the Enemy?, kaum salafi
mempunyai pandangan yang relatif populer di kalangan Muslim.
Mereka berpandangan bahwa untuk mewujudkan
kebangkitan diperlukan kembalinya umat kepada puritanisme Islam, Al Quran dan
sunah, sebagaimana dipahami al-salaf al-shalih. Mereka mendasarkan pandangannya
pada doktrin ”loyalitas dan disasosiasi” (al-wala wa al-bara’). Loyalitas
terhadap ajaran Muhammad SAW dan disasosiasi terhadap kemusyrikan.
Dalam tataran sosial, mereka menggiatkan
filantropi dan kerja-kerja kemanusiaan terhadap kalangan fakir miskin. Pada
saat pemerintahan Mesir tidak mampu melindungi kalangan fakir miskin, kaum
salafi tidak hanya hadir dengan pikiran-pikiran idealistik. Kaum salafi juga
memberikan pertolongan terhadap mereka. Bahkan, sepanjang perjuangannya, kaum
salafi tidak tertarik dengan pertarungan dalam ranah politik praktis
sebagaimana dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin.
Pada tahun 1970-an, ada beberapa sosok kaum
salafi yang menonjol, seperti Salih Saraya (wafat 1975), Syukri Mustafa (wafat
1978), dan Muhammad Abd Salam Faraj (wafat 1982). Mereka adalah ulama garda
depan yang telah memperkokoh basis ideologis dan basis massa, yang tecermin
dalam perolehan suara dalam pemilu pasca-revolusi.
Oleh karena itu, institusionalisasi salafisme
dalam pentas politik merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Di satu
sisi, keterlibatan mereka dalam politik praktis dapat jadi katalisator agar
mereka lebih realistis dan pragmatis dalam memahami kondisi obyektif
masyarakat. Di sisi lain, ada kekhawatiran mereka hanya menjadikan demokrasi
sebagai prosedur untuk mencapai visi dan misi mereka dalam formalisasi agama.
Sementara substansi demokrasi, seperti kesetaraan, kedamaian, dan keadilan,
cenderung diabaikan.
Fenomena ke arah tersebut dapat dimengerti
karena kaum salafi mempunyai intensi untuk mendorong formalisasi syariat. Bagi
mereka, mendirikan pemerintahan Islam merupakan sebuah keniscayaan, yang
ditandai dengan kewajiban berjilbab, larangan minum alkohol, segregasi
laki-laki dan perempuan di ruang publik, hukum pidana Islam, dan lain-lain.
Mereka mengidealkan ”model Arab Saudi” sebagai alternatif bagi model
pemerintahan di Mesir.
Tentu saja jalan untuk mewujudkan cita-cita
tersebut tidak mudah. Pasalnya, mereka hanya mendapatkan 20 persen suara. Dan,
yang tak kalah pentingnya, Ikhwanul Muslimin tak tertarik dengan agenda kaum
salafi.
Sebagai kelompok yang sudah berpengalaman
dalam politik praktis, Ikhwanul Muslimin memilih untuk melanjutkan agenda
demokrasi dalam rangka memulihkan perekonomian Mesir yang terjun bebas ke arah
krisis yang sangat serius. Ikhwanul Muslimin tidak mempunyai keinginan untuk
melakukan perubahan yang bersifat radikal dalam konstitusi Mesir, kecuali
setelah mampu memperbaiki ekonomi dan mengukuhkan bangunan demokrasi.
Kaum salafi tidak akan mulus dalam
melancarkan misinya dalam ranah politik praktis. Mereka akan menghadapi dua
tantangan serius, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Mesir bukanlah Arab Saudi yang bisa
menggunakan ”tangan besi” untuk memuluskan agenda salafisme dan wahabisme. Di
dalam sistem demokrasi yang menghendaki konsultasi dan pertukaran ide dari
berbagai arus pemikiran, yang diutamakan pada akhirnya adalah kepentingan
negara-bangsa, baik bagi kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Pertarungan
Pemikiran
Namun, yang jelas dalam beberapa tahun ke
depan kaum salafi akan menghiasi opini publik di Timur Tengah. Mereka saat ini
sudah memainkan pertarungan pemikiran melalui akun Twitter @SalafyNetwork
dengan membela perjuangan kaum salafi di sejumlah penjuru dunia, baik di
Afganistan, Irak, Suriah, Yaman, maupun Libya. Mereka sadar, dalam era sosial
media, mereka harus lebih cerdas memasarkan ideologi serta menyapa kalangan
muda dan publik pada umumnya.
Masih terlalu dini untuk menyimpulkan peran
kaum salafi di era demokrasi. Apakah mereka punya ketahanan politik yang cukup
kuat untuk tidak beranjak dari pijakan ideologisnya atau sebaliknya seperti
Ikhwanul Muslimin yang memilih untuk bersifat realistis dalam merangkul
kalangan liberal dan kiri.
Namun, demokrasi telah memberikan ruang bagi
kaum salafi terlibat dalam ruang publik untuk mengisi agenda revolusi kaum
muda. Masalah yang belum terjawab adalah bagaimana mereka memahami dan
menerjemahkan substansi demokrasi dalam realitas politik praktis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar