Keprajuritan
Indonesia
Sayidiman Suryohadiprojo,
MANTAN GUBERNUR LEMHANNAS
Sumber
: KOMPAS, 14 Januari 2012
Keprajuritan Indonesia berbeda daripada
kebanyakan negara lain karena terwujudnya melalui proses yang berbeda pula.
Umumnya organisasi militer berdiri karena
ditetapkan oleh pemerintah negara bersangkutan. Ini berbeda dengan pembentukan
organisasi kemiliteran Tentara Nasional Indonesia.
Setelah Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, segera terasa oleh
masyarakat bahwa kemerdekaan yang didambakan itu menghadapi berbagai tantangan.
Perang Dunia II baru selesai dengan kekalahan Jepang. Pihak sekutu sebagai
pemenang perang pasti akan memerintahkan Jepang, yang menduduki Indonesia, agar
mengembalikan kekuasaan atas Indonesia kepada Belanda.
Dan, semua yakin Belanda tak akan mau mengakui
kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan. Ini berarti bahwa kemerdekaan
itu harus diamankan dari semua usaha yang mau menggagalkannya. Padahal, Bung
Karno sebagai Presiden RI dan para pembantunya tidak mau segera menetapkan
berdirinya satu organisasi militer karena khawatir pihak sekutu akan
menganggapnya tentara buatan dan peninggalan Jepang.
Namun, Pemerintah RI menyetujui gerak
masyarakat menyiapkan diri untuk menghadapi masalah keamanan, tanpa
menetapkannya sebagai organisasi militer RI yang resmi. Di Jakarta dan
bagian-bagian lain Indonesia rakyat bangkit membentuk laskar perjuangan. Pada
22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan
Keamanan Rakyat (BKR) yang berada di bawah Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), bukan di bawah Presiden Soekarno. Kebangkitan rakyat (levee en masse)
itulah sumber keprajuritan Indonesia.
Di samping terbentuknya BKR yang anggotanya
banyak berasal dari bekas tentara Peta dan Heiho pada zaman Jepang serta
mahasiswa dan pelajar di mana-mana juga terbentuk laskar-laskar perjuangan. Ada
laskar yang erat dengan partai politik yang baru terbentuk, seperti Pesindo
dengan Partai Sosialis atau Barisan Banteng dengan Partai Nasional Indonesia.
Juga ada laskar yang berdiri sendiri seperti Barisan Pemberontak Republik
Indonesia dipimpin Bung Tomo.
Oleh karena itu, keprajuritan Indonesia
berjiwa kebangsaan, kerakyatan, kemandirian. Baru pada 5 Oktober 1945 ketika
para pemimpin melihat bahwa BKR tidak akan dianggap pihak sekutu sebagai peninggalan
Jepang, keluar Dekret Presiden yang menetapkan adanya Tentara Keamanan Rakyat
dan ini diwujudkan oleh BKR.
Melalui berbagai proses dalam perjuangan
kemerdekaan, kemudian Tentara Keamanan Rakyat berubah nama menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Perubahan terakhir itu menggabungkan segenap laskar
perjuangan dalam tentara pemerintah. Integrasi nasional itu diberi nama TNI.
Kembalilah
ke Jati Diri
Jelas sekali bahwa proses terwujudnya
keprajuritan Indonesia amat berbeda dengan yang terjadi di negara lain. Itu
semua kemudian pada tahun 1950 oleh para pemimpin TNI—baik AD, AL, maupun
AU—dituangkan menjadi satu etika perjuangan TNI dengan nama Sapta Marga.
Di dalam Sapta Marga jelas tertuang bahwa
prajurit TNI adalah anggota TNI yang tentara nasional-tentara rakyat-tentara
pejuang-tentara profesional. Jadi, bukan tentara bayaran, yaitu tentara yang
menjalankan tugas dan fungsinya semata-mata hanya kalau dibayar oleh yang mempunyainya.
Juga bukan tentara profesional yang bertitik berat pada kemampuan teknik
militer belaka, betapa pun hebatnya kemampuan teknik militer itu.
Dalam perang kemerdekaan melawan Belanda yang
dialami TNI, betapa penting faktor rakyat dalam perjuangan membela negara dan
bangsa. Setelah mengakhiri perang kemerdekaan, ketika harus menghadapi berbagai
masalah keamanan dalam negeri pun nyata sekali bahwa keutuhan dan kekompakan
hubungan TNI dengan rakyat amat menentukan.
Ditambah lagi dengan melihat apa yang terjadi
di negara lain, seperti Vietnam dan belakangan juga di Afganistan dan Irak, itu
semua menguatkan kebenaran fungsi teritorial TNI, yaitu usaha TNI untuk selalu
dekat dan dipercaya oleh rakyat. Di Vietnam, tentara AS, sebagai kekuatan
dengan kemampuan teknik militer paling tinggi di dunia, ternyata tidak mampu
menghadapi lawan-lawannya yang masih amat sederhana kemampuannya lantaran
tentara AS mengabaikan faktor rakyat.
Namun, harus diakui, keprajuritan Indonesia
mengalami deviasi yang serius karena kurang memperhatikan pelaksanaan Sapta
Marga. Kedekatan dengan rakyat berubah menjadi ambisi berkuasa.
Hal itu terjadi ketika semangat TNI
berdasarkan rasa tanggung jawab nasional diberi bentuk formal dan disebut
dwifungsi. Lebih-lebih lagi ketika dwifungsi terutama diwujudkan dengan fungsi
kekaryaan. Rasa tanggung jawab nasional berubah menjadi selera berkuasa. Masuk
akal kalau hal demikian menjadikan TNI semakin jauh dari rakyat.
Ketika bangsa Indonesia melakukan reformasi,
TNI pun melakukannya. Namun, sayangnya, reformasi bangsa Indonesia yang
sebenarnya harus menjadikan Pancasila kenyataan di bumi Indonesia, nyatanya
dibajak menjadi perubahan yang mengutamakan sikap neoliberalisme dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa. Reformasi TNI pun belum menjadikan terwujudnya Sapta
Marga sebagai kenyataan yang hidup. Bahkan, TNI didesak agar meninggalkan
fungsi teritorialnya dan menjadi tentara profesional dalam arti teknik militer
belaka.
Jelas sekali adanya usaha untuk melemahkan
kehidupan bangsa Indonesia agar pihak lain dapat memanfaatkan berbagai potensi
Indonesia yang besar. TNI tidak dibolehkan menjadi kuat dan harus dijauhkan
dari rakyat. Tidak perlu heran kalau kemudian terjadi masalah Freeport, Mesuji,
dan Bima yang menempatkan TNI berhadapan dengan rakyat.
Semoga pimpinan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan TNI menyadari: keprajuritan Indonesia harus sesuai jati dirinya
agar menjadi benteng bagi negara dan bangsa kita. Untuk itu, TNI harus
sungguh-sungguh hidup, bersikap, dan berbuat sesuai Sapta Marga. Hendaknya
tahun 2012 menjadi permulaan dari bangkitnya TNI kembali ke jati dirinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar