Kamis, 09 November 2017

Sekolah yang Sulit Ditiru

Sekolah yang Sulit Ditiru
AS Laksana  ;   Cerpenis dan Kolumnis
                                                   JAWA POS, 06 November 2017



                                                           
Kami berpapasan di tangga saat dia naik dan saya hendak turun karena tidak menjumpai satu orang pun di ruangan guru di lantai atas. Anne-Carine Kajan, kepala Sekolah Vallgrund Daghem, kemudian mengajak saya masuk kelas demi kelas dan memperkenalkan saya kepada murid-murid di sekolah dasar itu.

Murid kelas enam sedang membuat gambar ilustrasi untuk buku sejarah yang baru mereka pelajari ketika saya masuk. Dinding dan pintu kelas dipenuhi gambar-gambar para siswa. Di pojok ruangan dekat peralatan musik, ada gambar-gambar ilustrasi yang dibuat di atas halaman buku-buku cerita.

”Untuk pelajaran seni rupa, kami antara lain meminta anak-anak membuat ilustrasi dari buku-buku yang sudah mereka baca,” kata Anne, ”Mereka boleh menggambar apa saja, terserah imajinasi mereka setelah membaca.”

Saya meminta izin untuk memotret kegiatan mereka di kelas. ”Hanya untuk diri sendiri,” kata Anne. Ya, kata saya, sekarang saya sudah tahu peraturannya. Hari sebelumnya, Maria, salah seorang guru, mengingatkan dengan tutur halus ketika saya memotret anak-anak yang sedang berdiri di pagar sekolah. Katanya, ”Anda harus meminta izin orang tua mereka untuk memotret anak-anak itu.”

Pada hari itu sebetulnya saya hanya berjalan-jalan di depan sekolah seperti yang saya lakukan beberapa hari sebelumnya untuk melihat anak-anak berlarian di pelataran saat istirahat. Matahari sedang cerah, anak-anak bermain di halaman, dan saya menyapa satu anak yang berdiri dekat pagar. Dia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman, dan saya menanyakan namanya. ”Do you speak Swedish?” tanyanya, agak terbata. Dia baru sepuluh tahun. ”Tidak,” jawab saya, ”Kau lebih pintar berbahasa Swedia ketimbang saya.”

Kepulauan Kvarken adalah salah satu wilayah di Finlandia yang orang-orangnya berbahasa Swedia dan pelajaran sekolah disampaikan dalam bahasa Swedia. Beberapa anak kecil lain mendekat ke pagar dan mengajak bersalaman. Lalu, saya memotret mereka dan pada saat itulah Maria datang untuk mengingatkan. Saya memperkenalkan diri kepadanya, menanyakan apakah saya boleh masuk untuk melihat-lihat kegiatan di dalam kelas. ”Silakan, Anda bisa datang ke ruang guru,” katanya. ”Terima kasih, saya akan datang lagi besok,” kata saya.

Hanya ada empat puluhan murid di sana dari kelas satu sampai kelas enam, tujuh guru, serta beberapa asisten yang bertugas membantu murid-murid tahun pertama dan kedua. Saya pernah menanyakan kepada Patrik, tetangga sebelah, mana yang lebih bagus mutunya: sekolah di Helsinki atau di Kvarken. Dia bilang sama, tetapi di tempat ini muridnya lebih sedikit sehingga mereka bisa belajar dengan lebih intens.

Saya pikir tidak mungkin menjawab dengan kalimat seperti itu jika ada orang yang menanyakan lebih bagus mana mutu pendidikan antara di Jakarta dan Karimunjawa atau antara Jogjakarta dan Biak.

Beberapa teman mengingatkan sebelum saya berangkat, ”Coba dilihat bagaimana sekolah mereka dijalankan.” Saya sudah melihat-lihat selama beberapa hari dan rasa-rasanya cara mereka sulit diikuti karena terlalu bagus. Pemerintah menyangga semua biaya pendidikan dari SD sampai nanti mereka lulus kuliah. Selama masa wajib belajar sembilan tahun, seluruh keperluan sekolah bahkan disediakan oleh pemerintah, termasuk antar-jemput dengan taksi jika di daerah itu tidak ada bus.

Mereka membangun sekolah dengan pemikiran bahwa pendidikan adalah jalan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan adalah prasyarat utama bagi sebuah negara untuk mendapatkan sumber daya manusia yang makin baik dari waktu ke waktu. Karena itu, mutu persekolahan harus bagus dan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan sekolah bagus –di mana pun mereka tinggal.

Urusan saya keluar masuk kelas hari itu berakhir di dapur sekolah. Anne mempertemukan saya dengan koki. Kami bercakap-cakap sebentar dan si koki mengatakan bahwa lima belas menit lagi makan siang siap. ”Berminat mencicipi makan siang kami?” tanyanya. ”Tentu saja,” jawab saya.

”Setiap hari sekolah menyediakan makan siang?” tanya saya.

”Ya,” jawab Anne.

”Gratis juga?”

”Ya.”

Berarti memang tidak bisa diterapkan di Indonesia. Menyelenggarakan sistem pendidikan seperti itu memerlukan kesadaran para penyelenggara negara bahwa sekolah yang bagus adalah hak setiap warga negara, sekaya atau semelarat apa pun dia. Yang sekarang bisa dilakukan di Indonesia paling adalah eksperimen-eksperimen kecil, mungkin di tingkat kabupaten, oleh seorang bupati gila yang memiliki kesadaran bahwa pendidikan yang bagus adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Sekolah-sekolah swasta mungkin bisa menyelenggarakan pembelajaran yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah negeri. Tetapi, biaya untuk sekolah swasta yang baik biasanya sangat mahal dan itu hanya bisa dijangkau keluarga kaya. Keluarga miskin, yang hanya sanggup mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah negeri atau sekolah swasta asal-asalan, akan selamanya bergelut dengan pendidikan yang bermutu rendah dan tidak memberikan cukup bekal kepada mereka untuk bisa hidup layak nanti.

Mereka paling banter akan menjadi buruh dengan upah rendah seperti para buruh pabrik kembang api yang baru saja terbakar di Tangerang, yang harus mengerjakan seribu bungkus kembang api untuk mendapatkan upah hanya empat puluh ribu rupiah sehari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar