Rasionalitas
Naratif Kekuasaan
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KOMPAS,
03 November
2017
Ada hal menarik dari pidato
Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat, saat berkampanye mendukung
kandidat gubernur dari Partai Demokrat di New Jersey dan Virginia, 19 Oktober
2017. Di antara isi pidato yang menarik dan menjadi pesan politik impresif adalah terkait dengan situasi AS saat ini
yang diwarnai polarisasi tajam di masyarakat, sebagai dampak dari pemilu
presiden AS di mana Donald Trump tampil menjadi pemenang.
“Kalau Anda menang kampanye
dengan memecah-belah rakyat, Anda tidak bisa memerintah, sebab Anda nantinya
tak bisa mempersatukan mereka.” Demikian penggalan pidato Obama yang menarik
diulas dalam konteks fenomena kontestasi elektoral yang kerap menjadi “ritus
prosedural mengerikan” karena kerap menghalalkan segala macam cara untuk
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Tanggung jawab politik
Di depan mata kita, agenda
politik datang berimpitan. Setelah Pilkada DKI Jakarta yang menguras energi
karena diwarnai ragam cara yang cenderung mencederai semangat kekitaan, kini
kontestasi kembali akan terjadi di 171 daerah. Pilkada serentak yang akan
digelar pada 2018 telah memanaskan lagi tensi perebutan kekuasaan hingga
mencapai titik kulminasinya di tahun 2019 saat pemilu legislatif dan pemilu
presiden dilaksanakan dalam waktu berbarengan.
Narasi persuasi dalam kampanye,
publisitas politik, dan propaganda kembali akan ramai mewarnai ragam
kanal-kanal warga. Tak ada yang salah dengan persuasi, hanya wajib diingatkan
terus-menerus bahwa kampanye, propaganda dan publisitas politik yang akan
dilakukan oleh siapa pun yang menjadi petarung dalam perebutan kekuasaan,
harus memperhatikan tanggung jawab politiknya di kemudian hari. Jangan sampai
narasi persuasi membakar secara sengaja rumah besar Indonesia, tempat
bersemayamnya keragaman dan
menyebabkan terjadinya retrogresi politik kebangsaan akibat syahwat kekuasaan
yang sektarian.
Merujuk pada pandangan Michael
Pfau dan Roxanne Parrot, Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye
merupakan proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang
dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak
sasaran yang telah ditetapkan. Dari konstruksi makna kampanye itu, tampak
jelas setiap tindakan kampanye merupakan komunikasi bertujuan, sadar, dan
dirancang!
Atas nama instrumen pengelolaan
branding, positioning, dan segmenting dalam marketing politik, kandidat dan
timnya sering kali bergerak ke kutub ekstrem yang membahayakan persatuan
dengan tujuan mendapatkan “tempat” dengan mengeksploitasi jaringan sosial
primordial. Terlebih si kandidat mendapatkan justifikasi matematis-politis
dari konsultan politiknya bahwa segmen yang dieksploitasi berdasarkan
jaringan sosial dan mobilisasi politik atas nama civic engagement (pelibatan
masyarakat) itu memberi insentif elektoral melimpah ruah. Sebagai strategi
bertarung, bisa saja efektif, tetapi destruktif bagi proses konsolidasi
demokrasi saat ini dan di kemudian hari.
Memang benar, siapa pun
kandidat perlu penetrasi ke simpul-simpul pemilih dengan persuasif. Dalam
pendekatan Social Judgement Theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan
Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff di bukunya, The Dynamics
of Persuasion (2003), khalayak yang dipersuasi berada di tiga zona. Pertama,
latitude of acceptance atau di zona penerimaan, kandidat sebagai pemersuasi
(persuader) dapat diterima dan ditoleransi kehadirannya. Kedua, latitude of
rejection atau di zona penolakan. Kondisi itu biasanya terlihat dari
munculnya resistensi atau posisi berseberangan dengan kandidat. Ketiga,
latitude of no commitment di saat kandidat tidak diterima, tetapi juga tidak
ditolak.
Untuk mendapatkan tempat dan
penerimaan khalayak tadi, banyak kandidat yang akhirnya terjerembab pada
strategi politik memecah-belah warga secara sengaja, meskipun kerap kali menampilkan
dramaturgi di panggung depan, bahwa dirinya prokebinekaan. Jika efektifnya
penggunaan isu SARA dalam kontestasi elektoral ini mendapatkan liputan media serta
resonansi di media sosial lantas
direplikasi di banyak daerah lain yang akan menyelenggarakan pilkada di 2018
dan melangsungkan pilpres di 2019, maka sudah sewajarnya alarm tanda bahaya
harus dibunyikan dari sekarang!
Narasi pemenang
Setiap kandidat yang memenangi
kontestasi pasti dihadapkan pada realitas yang sama, yakni menunaikan janji
yang sudah diucapkan. Anies Baswedan-Sandiaga Uno di DKI Jakarta setiap hari
akan dikontrol seluruh warga Jakarta, demikian juga Joko Widodo-Jusuf Kalla
yang akan ditagih rakyat Indonesia atas setiap narasi kampanyenya di Pilpres
2014. Seorang teoretikus paradigma
naratif, Walter Fisher, dalam bukunya Human Communication as Narration:
Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), menulis tentang
pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya, tak semua narasi memiliki
kekuatan (power) yang sama untuk bisa dipercayai. Dia mengidentifikasi dua
hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan
kebenaran (fidelity). Narasi itu sendiri dimaknai sebagai tindakan simbolik
kata-kata dan atau tindakan yang memiliki rangkaian serta makna bagi siapa
pun yang hidup, mencipta atau memberi interpretasi.
Para kandidat yang menang punya
tugas berat menghadirkan ketersambungan narasi saat kampanye dengan saat
berkuasa. Apakah pada sosoknya terdapat komitmen merealisasikan kata-kata menjadi
kerja nyata, atau sekadar menjadikan janji kampanye “mantra” untuk menebar
pesona dan kehilangan makna substansialnya. Koherensi akan muncul saat si
pemenang sebagai komunikator membangun dan mengembangkan narasi yang dapat
disajikannya dengan runtut dan konsisten. Contohnya narasi Anies-Sandi saat
kampanye yang secara jelas, tegas menolak reklamasi. Apakah narasi setelah
menang masih jelas, runtut, konsisten seperti saat kampanye? Pun demikian
narasi revolusi mental Jokowi dengan Nawacitanya, apakah masih memiliki
koherensi material, struktural, dan karakterologis atau tidak?
Koherensi struktural berpijak
pada tingkatan di mana elemen-elemen dari sebuah narasi mengalir lancar, terasa benang merahnya oleh khalayak.
Koherensi material merujuk tingkat kongruensi antara satu narasi dengan
narasi lain yang berkaitan. Semakin banyak paradoks, kian berpotensi tak
dipercayai. Koherensi karakterologis merujuk pada dapat dipercayainya
karakter-karakter dalam narasi. Selama kampanye, orang boleh saja berbalut citra
di panggung yang sifatnya temporer. Namun, saat memimpin dan menjalankan
kekuasaan, karakter kepemimpinan akan
membentuk reputasi politiknya.
Satu hal lagi yang sangat
penting dalam rasionalitas naratif adalah faktor kebenaran (fidelity) yang
merupakan reliabilitas dari sebuah narasi. Maksudnya, sebuah narasi dianggap
benar, ketika elemen-elemen dari narasi merepresentasikan
pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial. Semanis apa pun
kata-kata yang pernah diucapkan dan seindah apa pun diksi yang dipilih dan
digunakan, jika tak terbukti dalam realitasnya akan menyebabkan melemahnya
dan tak dipercayainya narasi itu di masa mendatang.
Narasi kekuasaan memang kerap
kali kehilangan rasionalitas naratifnya. Tak mudah mewujudkan janji-janji kampanye
yang memerlukan peran serta berbagai pihak. Lebih tak mudah lagi, kalau
narasi yang dibangun saat menuju ke kekuasaan membuat warga terbelah dan tak
cukup komitmen menyatukannya ulang, seperti digambarkan Obama terjadi di AS
kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar