Sabtu, 04 November 2017

Rasionalitas Naratif Kekuasaan

Rasionalitas Naratif Kekuasaan
Gun Gun Heryanto  ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                                    KOMPAS, 03 November 2017



                                                           
Ada hal menarik dari pidato Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat, saat berkampanye mendukung kandidat gubernur dari Partai Demokrat di New Jersey dan Virginia, 19 Oktober 2017. Di antara isi pidato yang menarik dan menjadi pesan politik impresif  adalah terkait dengan situasi AS saat ini yang diwarnai polarisasi tajam di masyarakat, sebagai dampak dari pemilu presiden AS di mana Donald Trump tampil menjadi pemenang.

“Kalau Anda menang kampanye dengan memecah-belah rakyat, Anda tidak bisa memerintah, sebab Anda nantinya tak bisa mempersatukan mereka.” Demikian penggalan pidato Obama yang menarik diulas dalam konteks fenomena kontestasi elektoral yang kerap menjadi “ritus prosedural mengerikan” karena kerap menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Tanggung jawab politik

Di depan mata kita, agenda politik datang berimpitan. Setelah Pilkada DKI Jakarta yang menguras energi karena diwarnai ragam cara yang cenderung mencederai semangat kekitaan, kini kontestasi kembali akan terjadi di 171 daerah. Pilkada serentak yang akan digelar pada 2018 telah memanaskan lagi tensi perebutan kekuasaan hingga mencapai titik kulminasinya di tahun 2019 saat pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan dalam waktu berbarengan.

Narasi persuasi dalam kampanye, publisitas politik, dan propaganda kembali akan ramai mewarnai ragam kanal-kanal warga. Tak ada yang salah dengan persuasi, hanya wajib diingatkan terus-menerus bahwa kampanye, propaganda dan publisitas politik yang akan dilakukan oleh siapa pun yang menjadi petarung dalam perebutan kekuasaan, harus memperhatikan tanggung jawab politiknya di kemudian hari. Jangan sampai narasi persuasi membakar secara sengaja rumah besar Indonesia, tempat bersemayamnya keragaman  dan menyebabkan terjadinya retrogresi politik kebangsaan akibat syahwat kekuasaan yang sektarian.

Merujuk pada pandangan Michael Pfau dan Roxanne Parrot, Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye merupakan proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Dari konstruksi makna kampanye itu, tampak jelas setiap tindakan kampanye merupakan komunikasi bertujuan, sadar, dan dirancang!

Atas nama instrumen pengelolaan branding, positioning, dan segmenting dalam marketing politik, kandidat dan timnya sering kali bergerak ke kutub ekstrem yang membahayakan persatuan dengan tujuan mendapatkan “tempat” dengan mengeksploitasi jaringan sosial primordial. Terlebih si kandidat mendapatkan justifikasi matematis-politis dari konsultan politiknya bahwa segmen yang dieksploitasi berdasarkan jaringan sosial dan mobilisasi politik atas nama civic engagement (pelibatan masyarakat) itu memberi insentif elektoral melimpah ruah. Sebagai strategi bertarung, bisa saja efektif, tetapi destruktif bagi proses konsolidasi demokrasi saat ini dan di kemudian hari.

Memang benar, siapa pun kandidat perlu penetrasi ke simpul-simpul pemilih dengan persuasif. Dalam pendekatan Social Judgement Theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff di bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003), khalayak yang dipersuasi berada di tiga zona. Pertama, latitude of acceptance atau di zona penerimaan, kandidat sebagai pemersuasi (persuader) dapat diterima dan ditoleransi kehadirannya. Kedua, latitude of rejection atau di zona penolakan. Kondisi itu biasanya terlihat dari munculnya resistensi atau posisi berseberangan dengan kandidat. Ketiga, latitude of no commitment di saat kandidat tidak diterima, tetapi juga tidak ditolak.

Untuk mendapatkan tempat dan penerimaan khalayak tadi, banyak kandidat yang akhirnya terjerembab pada strategi politik memecah-belah warga secara sengaja, meskipun kerap kali menampilkan dramaturgi di panggung depan, bahwa dirinya prokebinekaan. Jika efektifnya penggunaan isu SARA dalam kontestasi elektoral ini  mendapatkan liputan media serta resonansi  di media sosial lantas direplikasi di banyak daerah lain yang akan menyelenggarakan pilkada di 2018 dan melangsungkan pilpres di 2019, maka sudah sewajarnya alarm tanda bahaya harus dibunyikan dari sekarang!

Narasi pemenang

Setiap kandidat yang memenangi kontestasi pasti dihadapkan pada realitas yang sama, yakni menunaikan janji yang sudah diucapkan. Anies Baswedan-Sandiaga Uno di DKI Jakarta setiap hari akan dikontrol seluruh warga Jakarta, demikian juga Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan ditagih rakyat Indonesia atas setiap narasi kampanyenya di Pilpres 2014.  Seorang teoretikus paradigma naratif, Walter Fisher, dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), menulis tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya, tak semua narasi memiliki kekuatan (power) yang sama untuk bisa dipercayai. Dia mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity). Narasi itu sendiri dimaknai sebagai tindakan simbolik kata-kata dan atau tindakan yang memiliki rangkaian serta makna bagi siapa pun yang hidup, mencipta atau memberi interpretasi.

Para kandidat yang menang punya tugas berat menghadirkan ketersambungan narasi saat kampanye dengan saat berkuasa. Apakah pada sosoknya terdapat komitmen merealisasikan kata-kata menjadi kerja nyata, atau sekadar menjadikan janji kampanye “mantra” untuk menebar pesona dan kehilangan makna substansialnya. Koherensi akan muncul saat si pemenang sebagai komunikator membangun dan mengembangkan narasi yang dapat disajikannya dengan runtut dan konsisten. Contohnya narasi Anies-Sandi saat kampanye yang secara jelas, tegas menolak reklamasi. Apakah narasi setelah menang masih jelas, runtut, konsisten seperti saat kampanye? Pun demikian narasi revolusi mental Jokowi dengan Nawacitanya, apakah masih memiliki koherensi material, struktural, dan karakterologis atau tidak?

Koherensi struktural berpijak pada tingkatan di mana elemen-elemen dari sebuah narasi mengalir lancar,  terasa benang merahnya oleh khalayak. Koherensi material merujuk tingkat kongruensi antara satu narasi dengan narasi lain yang berkaitan. Semakin banyak paradoks, kian berpotensi tak dipercayai. Koherensi karakterologis merujuk pada dapat dipercayainya karakter-karakter dalam narasi. Selama kampanye, orang boleh saja berbalut citra di panggung yang sifatnya temporer. Namun, saat memimpin dan menjalankan kekuasaan,  karakter kepemimpinan akan membentuk reputasi politiknya.  

Satu hal lagi yang sangat penting dalam rasionalitas naratif adalah faktor kebenaran (fidelity) yang merupakan reliabilitas dari sebuah narasi. Maksudnya, sebuah narasi dianggap benar, ketika elemen-elemen dari narasi merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial. Semanis apa pun kata-kata yang pernah diucapkan dan seindah apa pun diksi yang dipilih dan digunakan, jika tak terbukti dalam realitasnya akan menyebabkan melemahnya dan tak dipercayainya narasi itu di masa mendatang.

Narasi kekuasaan memang kerap kali kehilangan rasionalitas naratifnya. Tak mudah mewujudkan janji-janji kampanye yang memerlukan peran serta berbagai pihak. Lebih tak mudah lagi, kalau narasi yang dibangun saat menuju ke kekuasaan membuat warga terbelah dan tak cukup komitmen menyatukannya ulang, seperti digambarkan Obama terjadi di AS kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar