Kota
Welas Asih
Haidar Bagir ; Pendiri Gerakan Islam
Cinta
|
KOMPAS,
03 November
2017
“Di Jakarta semua jauh, bahkan
surga pun jauh”, “Jakarta lebih kejam dari ibu tiri”, dan macam-macam lagi
celoteh orang tentang kekerasan dan sifat egoistis atawa individualistis di
ibu kota negeri kita ini.
Orang-orang yang berkelebihan
pun merasa tak nyaman, apalagi penduduk Jakarta yang lebih kurang beruntung.
Sudah bukan soal yang perlu diperdebatkan bahwa orang-orang miskin di
kota-kota besar seperti Jakarta mengalami penderitaan berlipat ganda
dibandingkan dengan orang-orang miskin di kampung-kampung dan desa-desa.
Di kampung, orang-orang miskin
masih terpantau dan terdukung oleh kedekatan dan pergaulan yang relatif akrab
antarsesama warga dan semangat gotong royong antarmereka. Tidak demikian
halnya dengan orang- orang miskin di kota besar. Bukan saja mereka
termarginalisasi secara ekonomi, mereka pun jadi kasta yang terabaikan di tengah
deru dan ingar-bingar pembangunan fisik kota.
Boleh jadi kesusahan mereka tak
terlihat atau yang lain sudah tak peduli atau setidaknya sebagian sudah habis
pikiran dan tenaganya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri yang tak kalah
ruwetnya. Yang miskin harus membanting tulang untuk memenuhi sekadar
kebutuhan subsistensi belaka, sedangkan yang berlimpah harus menghadapi
banyak kesulitan yang tak begitu saja bisa diatasi dengan keberlimpahan
mereka.
Kesepian sosial
Persoalan absurditas dan krisis
makna kehidupan menimpa warga perkotaan. Bukan saja akibat filosofi
penguasaan atas segala sesuatu, yang bercampur egoisme yang menguras semua
energi psikologis, juga persaingan yang menekan, renggangnya hubungan
keluarga karena langkanya waktu kebersamaan, hingga ancaman moral yang bisa
setiap saat menimpa anak-anak mereka. Maka, bukan saja orang-orang susah dan
miskin kota menjadi terabaikan, bahkan para warga yang berkelimpahan pun
merasakan depresi dan kesepian dalam kerumunan pergaulan yang mengitari mereka.
Maka, kota sebesar dan semaju Jakarta pun bisa menjadi panggung drama
gemerlapan dengan banyak kisah yang menyedihkan.
Padahal, seperti diungkapkan
PBB, sejak 2006 setiap hari seorang bayi dilahirkan di rumah sakit di
perkotaan atau seorang migran terdesak sehingga harus pindah ke kota-kota
besar, seperti Jakarta. Diramalkan pada saatnya setidaknya separuh penduduk
dunia akan tinggal di kota-kota. Pada 2030, penduduk perkotaan diramalkan
akan mencapai sedikitnya 5 miliar orang. Mereka berupaya memburu sumber daya
di kota-kota besar yang memang menyimpan kekayaan ketimbang kemiskinan yang
ada di desa asal mereka.
Padahal, jika seseorang menilai
pencapaian kebahagiaan dengan tingkat kekayaan belaka, setengah abad terakhir
seharusnya merupakan saat yang membahagiakan bagi orang-orang di AS dan
negara-negara kaya lainnya. Nyatanya, sebagai contoh, Inggris bertambah kaya
lebih dari 40 persen pada 1993-2012, tetapi tingkat gangguan kejiwaan dan
neurosis di negeri itu malah meningkat.
Satu tim ekonom Italia, yang
dipimpin oleh Stefano Bartolini, pada 2008 menemukan bahwa faktor paling kuat
yang bertanggung jawab atas kebahagiaan manusia adalah menurunnya modal
sosial di negara tersebut, yaitu melemahnya jaringan sosial dan interaksi
yang seharusnya membuat kita tetap terhubung dengan orang lain. Tidak ada
yang lebih buruk bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis ketimbang
kesepian sosial. Semakin terhubung kita dengan keluarga dan masyarakat,
semakin besar kemungkinan kita mendapatkan kebahagiaan.
Maka, jadi relevan gagasan
semacam compassionate cities yang dilancarkan oleh organisasi Compassionate
Action International, besutan Karen Amstrong, pemikir dan penulis isu-isu
keagamaan kondang itu. Dengan sangat kreatif, Amstrong mendefinisikan kota
welas asih sebagai kota “yang warganya selalu resah…” Ajaib? Tidak!
Dalam suatu kota welas asih,
setiap warga selalu resah karena tahu dan prihatin pada kesusahan sesama
warga miskin atau terasing, yang mereka tahu ada di kota mereka. Karena
kepedulian mereka itu, mereka akan secara bersama-sama mencari cara apa pun
untuk memastikan bahwa mereka bisa membantu kesulitan sesama warga yang
kurang beruntung itu. Hasilnya adalah suatu kesatuan warga yang dicirikan
oleh melemahnya egoisme individualistik yang digantikan sifat selflessness,
semangat kesukarelaan, gotong royong, dan kemandirian.
Jangan cuma teori
Persoalannya, bagaimana cara
mengembangkan kota welas asih? Sebelum yang lain-lain, harus ada kesadaran di
pihak pemerintahan kota dan masyarakat akan perlunya pembangunan sikap sosial
dalam bentuk pengembangan budaya welas asih di tengah warga.
Cara tradisionalnya bisa saja
berupa pendidikan karakter atau budi pekerti, internalisasi nilai-nilai
Pancasila, ataupun revitalisasi nilai-nilai spiritual dan budaya asli daerah.
Mediumnya bisa lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, ataupun
informal, termasuk melalui organisasi-organisasi di unit kewargaan terendah,
seperti RT/RW ataupun kecamatan, tak terkecuali organisasi-organisasi remaja,
ibu-ibu, dan sebagainya.
Tentu saja juga bisa lewat
lembaga keagamaan, khususnya masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya. Sebab,
bukankah pada puncaknya agama dan budaya memang adalah soal kemanusiaan,
kepemilikan sifat welas asih, dan membantu orang susah? Ringkasnya, harus
dijaga adanya wacana atau percakapan tentang budaya welas asih di tengah
masyarakat, lewat berbagai cara yang mungkin.
Akan tetapi, semua ini tak akan
efektif jika hanya dibatasi pada wacana teoretis yang tak disertai praksis.
Semua gagasan itu harus dikawinkan dengan praktik amal-amal baik kolektif
oleh pemerintah bersama warga, yang diupayakan lahir dari semangat tanpa
pamrih, solidaritas, dan kolaborasi yang produktif di antara mereka.
Pembangunan fasilitas-fasilitas
fisik yang menimbulkan kenyamanan dan memungkinkan komunikasi dan
keterhubungan warga kota pada akhirnya juga penting bagi kesejahteraan
psikologis warganya. Terbukti, misalnya, kota dengan ruang-ruang publik dan
taman-taman yang cukup, yang asri dan jadi tempat berkumpul bagi warga dan kompleks
perumahan yang tak dibatasi tembok-tembok tinggi, ikut menentukan kebahagiaan
warga. Juga pusat-pusat seni dan budaya, perpustakaan umum yang terjangkau,
pusat pelayanan publik yang ramah dan berbiaya rendah, pusat-pusat kebajikan
bagi warga yang kesusahan, serta fasilitas-fasilitas pelayanan pada warga
berkebutuhan khusus, serta fasilitas publik yang nyaman bagi orang untuk
bersepeda dan berjalan kaki.
Bukan saja keterlibatan nyata
ini akan dapat melahirkan keyakinan terhadap makna dan guna kebaikhatian dan
kebersamaan, ia juga akan dapat memperkuat kembali keyakinan akan kelayakan
dan keberlanjutan cara hidup penuh welas asih. Sesuatu yang mungkin sudah
tergerus akibat gaya hidup individualis ala kota besar yang telah telanjur
berurat berakar selama beberapa dekade belakangan ini.
Sebuah kerja besar, memang,
tetapi tak kurang dari kesejahteraan hidup warga Jakarta dipertaruhkan di
sini. Selamat bekerja Pak Anies dan Pak
Sandi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar