Menyikapi
Perubahan Kekuatan di Asia Tenggara
Daniel A Simanjuntak ; Pemerhati ASEAN;
Mempunyai Gelar Master
dalam Bidang Hukum Internasional
|
KOMPAS,
11 November
2017
Negara-negara ASEAN—yang akan
melangsungkan rangkaian Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 di Filipina, November
ini— tengah dihadapkan pada tantangan perubahan konstelasi kawasan.
Pasca-Kongres Partai Komunis China ke-19, China di bawah Presiden Xi Jinping
menyampaikan pesan kuat, bagaimana China akan menjadi kekuatan dunia yang
baru dan melakukan pendekatan yang lebih agresif di kawasan.
Pada saat yang bersamaan,
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan pesan yang ambigu
dengan tidak memasukkan Pertemuan Puncak (KTT) Asia Timur ke dalam kalender
awal lawatannya ke Asia. Walaupun menjelang keberangkatannya untuk melakukan
lawatan ke lima negara Asia Trump akhirnya berjanji untuk hadir pada
Pertemuan Puncak Asia Timur, pendekatan politik America First telah
menciptakan persepsi mundurnya AS dari Asia Pasifik.
Sebagai forum yang dipimpin
kepala negara, Pertemuan Puncak Asia Timur menjadi forum utama isu strategis
di Asia Pasifik. Pertemuan puncak ini juga merupakan proyeksi AS dalam
menyeimbangkan kekuatan di Asia karena tak ingin Asia hanya dikuasai China,
Jepang, dan Korea. Selain itu, pertemuan puncak ini juga menjadi forum check
and balance kebijakan negara-negara besar di kawasan.
Antisipasi ASEAN
Agenda awal Trump yang tidak
memasukkan Pertemuan Puncak Asia Timur memunculkan dugaan ketidakpedulian
administrasi (pemerintahan) Trump terhadap pembangunan politik-keamanan di
Asia Pasifik dan mereka hanya mengedepankan politik transaksional demi
keuntungan Washington.
Namun, hadir atau tidak Trump pada
Pertemuan Puncak Asia Timur, ASEAN harus mampu mengantisipasi perubahan
kekuatan di kawasan. America First, yang diimplementasikan dengan mematikan
Kemitraan Trans Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP), membuat penguatan
perdagangan bebas di kawasan akan bergantung pada negosiasi Kemitraan Ekonomi
Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Selain itu, berbagai inisiatif
kerja sama ekonomi melalui Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road) dan
Asian Infrastructure Investment Bank, akan memperkuat dominasi Beijing di
ASEAN. Di sisi keamanan, militerisasi Laut China Selatan akan menjadi ancaman
langsung bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Perubahan konstelasi kekuatan
di Asia Pasifik tidak dapat ditolak oleh ASEAN. Meningkatnya dominasi China
diiringi menurunnya peran AS harus disikapi dengan hati-hati oleh ASEAN untuk
menjaga Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai, bebas, dan netral.
Banyaknya benturan kepentingan langsung antara ASEAN dan China, termasuk dalam
konteks Laut China Selatan, akan menjadi tantangan tersendiri dalam
mewujudkan tujuan tersebut.
ASEAN harus satu suara dalam
bersiap menyambut China. Tidak dapat dielakkan bahwa bantuan dan kerja sama
yang ditawarkan kepada ASEAN dalam berbagai bidang akan membuka peluang
pertumbuhan bagi ASEAN dan menawarkan opsi, selain jenis bantuan melalui
institusi klasik yang ada, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank
Dunia, ataupun Bank Pembangunan Asia (ADB).
Selain itu, posisi China
sebagai pemimpin perdagangan bebas dan perubahan iklim dapat dimanfaatkan
dengan baik untuk meningkatkan kerja sama kedua belah pihak dalam menjaga
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pada waktu bersamaan, ASEAN
juga harus memberi pesan kuat bahwa kebangkitan China sebagai kekuatan baru
harus diimbangi dengan ketaatan pada tata kelola kawasan yang ada dan hukum
internasional. Menggarisbawahi pentingnya kedua hal tersebut merupakan posisi
yang tidak ditawar jika ASEAN tetap ingin menjadi penjaga keseimbangan dinamis
kawasan. Sengketa Laut China Selatan, misalnya, menjadi pertanda bahwa
kepentingan politik Beijing atas isu-isu strategis akan sulit dikontrol oleh
pihak mana pun.
Di sisi lain, Presiden Trump
harus mendengar kekecewaan ASEAN atas politik ambigu AS di kawasan. Kematian
prematur TPP menutup opsi tandingan perdagangan bebas di kawasan. Selain itu,
patut diduga agenda untuk menyeimbangkan neraca perdagangan AS dengan negara
ASEAN akan menjadi agenda terbesar Trump dalam lawatan di Asia sebagai
implementasi politik transaksional.
Penguatan sentralitas
Menyikapi perubahan dinamika di
kawasan akan membutuhkan upaya yang besar dari ASEAN. Menjaga sentralitas
ASEAN membutuhkan perbaikan, baik dalam konteks penguatan internal ASEAN
maupun penguatan kesatuan ASEAN dalam menghadapi isu strategis di kawasan dan
menghadapi negara-negara besar. Ke dalam, kredibilitas ASEAN dalam menjamin
sentralitas perlu diperkuat. Isu internal seperti krisis kemanusiaan di
Myanmar harus dicarikan jalan keluar guna mencegah pemanfaatan situasi untuk
memecah ASEAN. Begitu pun dengan revitalisasi agenda demokratisasi yang saat
ini cenderung tak mendapat tempat lagi di ASEAN.
Selain itu, pembenahan
institusi ASEAN harus dilakukan. Tiga pilar kerja sama ASEAN saat ini lebih
terlihat sebagai bagian-bagian terpisah yang bekerja sendiri. Kohesi tiga
pilar diperlukan untuk mengharmoniskan gerak langkah ASEAN menghadapi serbuan
kerja sama dari di berbagai sektor, termasuk melalui pengembangan posisi
ASEAN dalam hubungan dengan negara besar untuk menjadi pedoman semua badan
sektoral.
Lebih jauh, penguatan
Sekretariat ASEAN harus segera dilakukan. Sekretariat ASEAN berperan besar
dalam menyangga ASEAN dengan memberikan pemikiran dan kajian awal atas kerja
sama dengan mitra. Sekretariat juga berperan besar untuk menjamin isu-isu
lintas pilar dapat dikoordinasikan dengan baik.
Dengan semakin banyaknya kerja
sama, penambahan sumber daya dan penambahan gedung sekretariat menjadi
prioritas ASEAN, terutama Indonesia sebagai tuan rumah. Selain itu, prinsip
kontribusi anggaran yang sama rata mulai harus dikaji dengan memperbolehkan
negara yang mampu untuk memberikan kontribusi lebih tanpa memberikan dampak
terhadap prinsip konsensus.
Dalam konteks sentralitas
keluar, ASEAN perlu memperkuat solidaritas dan kesatuan suara dalam menyikapi
isu seperti Laut China Selatan dengan memperdalam solidaritas. Tentu tidak
semua negara anggota mempunyai kepentingan yang sama mengingat hubungan
bilateral masing-masing dengan China, tetapi solidaritas dan pengembangan posisi
dasar ASEAN atas isu-isu strategis di kawasan akan membantu penguatan
sentralitas ASEAN ketika berhadapan dengan negara besar.
Selain itu, menyuarakan
pentingnya negara besar untuk menghormati sentralitas ASEAN harus disampaikan
kepada negara besar guna menjamin tatanan arsitektur terus berporos pada
ASEAN melalui penghormatan terhadap Traktat Persahabatan dan Kerja Sama yang
telah disepakati oleh semua mitra ASEAN.
Peran Indonesia
Sebagai pemimpin ASEAN,
mempersatukan negara anggota untuk menyampaikan pesan yang tepat merupakan
tantangan. Indonesia harus bersiap untuk menjadi satu-satunya negara ASEAN
yang mampu menyuarakan dengan jernih peningkatan kredibilitas ASEAN serta
peningkatan solidaritas dan kesatuan suara dalam menghadapi perubahan kekuatan.
Hal ini berarti bahwa Indonesia
juga tidak dapat terlalu lunak kepada negara, seperti Myanmar yang terus
memberikan tekanan kepada kredibilitas ASEAN. Akses kemanusiaan yang tidak
dihalangi, penyelesaian akar konflik, dan penguatan demokratisasi harus
disuarakan untuk menciptakan perubahan di Rakhine. Selain itu, model
pendekatan subregional seperti dalam kasus Marawi juga harus ditinggalkan
oleh Indonesia karena menutup akses kepada negara ASEAN lain belajar tentang
peningkatan solidaritas ASEAN.
Uniknya, Singapura saat ini
menjadi negara yang paling sepaham dengan Indonesia. Upaya Singapura membujuk
Trump dengan kunjungan Perdana Menteri Singapura ke Washington, komitmen
sumbangan dana Singapura untuk membantu krisis di Rakhine melalui AHA Centre,
serta bantuan militer kepada Filipina di Marawi, menunjukkan perubahan peran
Singapura menyikapi isu-isu internal di ASEAN.
Sebagai negara yang paling
maju, Singapura menjadi satu-satunya yang tidak menggantungkan diri pada
proyek kerja sama dengan China. Oleh sebab itu, perubahan kekuatan di kawasan
membuat Singapura merasa perlu untuk mengambil peran lebih, walaupun
konservatif, untuk menjaga kredibilitas dan keutuhan ASEAN di tengah
mundurnya peran AS.
Rangkaian Pertemuan Puncak
ASEAN ke-31 akan menjadi ujian bagi ASEAN untuk menunjukkan posisinya dalam
menyikapi perubahan kekuatan di kawasan. Sikap acuh dan business as usual
akan membuat ASEAN kesulitan mempertahankan sentralitasnya. Beban berat
berada di pundak Indonesia dalam menyuarakan kredibilitas dan solidaritas
ASEAN guna menjamin kemampuan ASEAN sebagai poros penyeimbang kekuatan di
Asia Tenggara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar