Fenomena
Esoterisme Beragama
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 November 2017
FENOMENA beragama di dalam
masyarakat selama dasawarsa terakhir diwarnai suasana esoterisme. Esoterisme
beragama bisa diartikan sebagai praktik keagamaan yang tidak hanya
menampilkan aspek-aspek legalitas formalistik, seperti menekankan rukun,
syarat, dan sunnat-sunat ibadah, tetapi juga sudah mulai memasuki wilayah spiritual-sufistik.
Fenomena ini terutama terlihat di dalam masyarakat perkotaan. Lembaga atau
kajian tasawuf semakin tumbuh menjamur di mana-mana. Bahkan kehidupan tarekat
yang tadinya merupakan fenomena orang-orang yang berusia senja, tetapi kini
sudah merambah ke generasi muda. Musik dan tarian sufi semakin banyak
digemari. Lirik lagu-lagu populer pun ikut dipengaruhi nuansa keagamaan
esoterik.
Selama ini wajah keagamaan di
dalam masyarakat kita bisa dipolakan ke dalam dua bentuk, yaitu wajah
eksoteris sebagaimana tampak di dalam komunitas masyarakat yang selalu
mendasarkan perhatiannya kepada hal-hal esoterik atau fikih (fiqh oriented).
Pemahaman teks biasanya langsung diarahkan pada aspek perilaku manusia yang
berhubungan dengan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan manusia.
Pendekatan ini banyak dilakukan jumhur ulama, sebagaimana dapat dilihat pada
sejumlah kitab tafsir populer (mu'tabarah), seperti Tafsir Al-Qurthubi,
Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Maragi, Tafsir Jalalain, Tafsir Fi Dhilalal-Qur’an,
dll.
Wajah lainnya ialah esoteris
yang kini sedang fenomenal. Esoterisme keagamaan lebih menekankan analisis
hakekat dan makna batin di balik teks dan tradisi. Analisis teks dilakukan
hanya sekadar untuk memahami konten sebuah teks, karena itu kelompok ini
sering kali melakukan pemaknaan secara metaforis sejumlah teks. Contoh karya
esoteris ialah kitab-kitab tafsir tasawuf (isyari), seperti Tafsir Mafatih
al-Gaib, Tafsir Al-Shafi, Tafsir Ibn ‘Arabi, dll. Pendekatan esoteris lebih
menekankan pemaknaan konotatif terhadap teks.
Pendekatan eksoteris lebih
sering dilakukan ulama Sunni, sedangkan pendekatan esoteris lebih sering
dilakukan oleh ulama Syiah. Meskipun sama-sama berpegang teguh pada sebuah
kitab suci yang sama, kedua kelompok ini (eksoteris dan esoteris) sering kali
berbeda pendapat, bahkan berkonflik satu sama lain. Kita perlu lebih
hati-hati menyikapi perbedaan kedua kelompok ini sebab dalam beberapa segi
sulit dipersatukan. Tafsir-tafsir Sunni sangat logis dan sulit untuk
dibantah, namun jika kita mendalami penjelasan sejumlah pendapat kaum Syiah
dengan metode esoterisnya, rasanya juga bisa difahami. Seandainya kedua
kelompok ini berikut metodologinya dapat digabungkan atau dikompromikan,
sudah pasti memberikan perspektif yang lebih positif, karena itu artinya
memberikan kepuasan logika dan penghayatan keagamaan lebih mendalam.
Fenomena esoterisme kehidupan
beragama mulai tumbuh dari kalangan birokrat, pebisnis, dan para jamaah
tarekat. Fenomena ini sesungguhnya bukan hanya merupakan fenomena di
Indonesia, tetapi menjadi fenomena universal, termasuk orang-orang mualaf
yang baru masuk Islam. Buku-buku yang bernuansa tasawuf kini sedang banyak
digemari pembaca. Buku-buku yang mendominasi buku-buku terlaris, umumnya
buku-buku yang lebih mencerahkan, seperti buku-buku tasawuf.
Pengajian-pengajian eksekutif di kantor-kantor elite didominasi tema-tema
pencerahan (enlightening). Adalah suatu kemajuan jika umat Islam sudah mulai
membaca dan mengikuti pendidikan formal. Itu artinya umat tidak lagi terpesona
ke dalam dunia kesemarakan (scope), tetapi sudah memasuki hakikat dan
pendalaman makna (force).
Agaknya kurang bijaksana jika
kita menilai fenomena esoteris melalui kacamata eksoteris, demikian pula
sebaliknya, kurang bijaksana menilai karya eksoteris dengan kacamata
esoteris. Bisa dipastikan penilaian tersebut penuh dengan bias yang tidak
produktif. Dengan demikian, kita juga sebaiknya hati-hati menghakimi sebuah
pemikiran hanya lantaran perbedaan cara pandang dan metodologis. Dalam
konteks masyarakat yang plural seperti Indonesia, yang ideal ialah kombinasi
antara kedua pendekatan tersebut. Pola eksoteris selama ini lebih banyak
diintrodusir kelompok Salafi dan atau Wahabi, sedangkan pola esoteris lebih
banyak diintrodusir oleh kelompok syiah dan kelompok sufi-tarekat. Indonesia
sesungguhnya sejak awal sudah menyintesakan antara keduanya. Bahkan yang ikut
masuk dalam sintesa itu ialah nilai-nilai kosmologi lokal, seperti filosofi
Jawa, Melayu, Bugis, dll. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar