Menyambut
Gembira Putusan MK
Musdah Mulia ; Ketua Umum Indonesian Conference on Religions
for Peace (ICRP)
|
MEDIA
INDONESIA, 08 November 2017
MAHKAMAH Konstitusi (MK) patut
dipuji karena berhasil mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam
keputusan mereka terkait dengan nasib kelompok penghayat kepercayaan di
Indonesia. Bukan hanya penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal di
seluruh Indonesia bersukacita menyambut keputusan Mahkamah Konstitusi pada 7
November 2017, tetapi kita semua pemerhati hak asasi manusia.
Keputusan MK tersebut menerima
sepenuhnya permohonan uji materiil terhadap UU No 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan UU No 24 Tahun 2013
tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Para pemohon terdiri dari empat
orang mewakili penganut kepercayaan Komunitas Marapu di Sumba Timur Pulau
Sumba; penganut kepercayaan Parmalim, Kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara;
penganut kepercayaan Ugamo, Bangsa Batak di Medan, Sumatra Utara; dan
penganut kepercayaan Sapto Darmo, Jawa Tengah.
Menghargai eksistensi
Penduduk Indonesia terdiri dari
bukan hanya para penganut agama yang ‘resmi diakui’, melainkan juga mencakup
para penghayat kepercayaan dan berbagai agama lokal yang tersebar di
Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.
Selain empat jenis kepercayaan
yang menjadi pemohon dalam uji materiil Undang-Undang Administrasi
Kependudukan, dikenal pula Sunda Wiwitan (Kuningan, Jawa Barat), Kaharingan
(Kalimantan), Tolottang (Sulawesi Selatan), dan Tonaas Walian (Minahasa,
Sulawesi Utara). Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada 2003
mengungkapkan terdapat 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sedangkan keseluruhan
penghayat mencapai 10 juta jiwa lebih.
Pengalaman organisasi ICRP
selama lebih dari 17 tahun melakukan kerja-kerja advokasi dan pendampingan
terhadap berbagai kelompok minoritas dari aspek agama dan kepercayaan,
seperti kelompok Ahmadiyah, kelompok Kristen, kelompok Baha’i, penghayat
kepercayaan, kelompok perenial menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) secara sengaja dan sistemis terhadap mereka dan
pelaku pelanggaran tersebut ialah pemerintah dan masyarakat.
Pelanggaran HAM, antara lain,
berwujud pengabaian hak-hak sipil dan politik mereka, baik sebagai warga
negara penuh maupun sebagai manusia merdeka. Secara spesifik bentuk
diskriminasi yang dialami kelompok penghayat kepercayaan antara lain
pelarangan penyebaran agama, pelarangan menuliskan identitas agama di kolom
KTP, akta nikah, dan sebagainya.
Belakangan pemerintah
mengizinkan untuk pengosongan kolom tersebut atau menuliskan tanda setrip.
Bentuk diskriminasi lainnya ialah berbagai bentuk intoleransi dari kelompok
mayoritas, pelarangan pemakaman di tempat umum. Tidak sedikit di antara
mereka mengalami penghujatan ajaran mereka, mereka dituduh kafir, sesat dan
murtad, bahkan juga diintimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berbagai pelanggaran HAM
tersebut menimbulkan kecemasan sosial yang berkepanjangan dalam masyarakat,
terlebih lagi karena negara abai dalam menjalankan peran sebagai pelindung
warga negara.
Dasar hukum aliran kepercayaan
Pasal 29 UUD 1945 mengenai
agama menyebutkan secara tegas bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Selanjutnya, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Sejak awal pembentukan negara
Indonesia, telah dinyatakan perbedaan antara agama dan kepercayaan.
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa agama dan kepercayaan merupakan dua hal
yang dijamin kebebasannya dalam kehidupan masyarakat.
Namun, dalam perkembangannya
kemudian, berbagai kebijakan negara mendiskriminasi kelompok penghayat
kepercayaan dan membedakan mereka dari penganut agama ‘resmi’. Perlakuan
diskriminatif terhadap kelompok penghayat kepercayaan semakin menjadi dengan
lahirnya UU PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama; Tap MPR 1978 tentang
Aliran Kepercayaan, Surat Edaran Mendagri 1978 tentang Lima Agama Resmi; dan
Peraturan Bersama Dua Menteri No 9/2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah; serta
UU Perkawinan 1974, dan UU Administrasi Kependudukan 2013.
Kondisi tersebut semakin
memburuk karena sejumlah faktor berikut. Menguatnya doktrin keagamaan
bersifat otoritarian; absennya negara dan lemahnya sikap tegas aparat
terhadap aksi-aksi kekerasan berbasis agama dan kepercayaan; kegagalan
pemerintah membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
meningkatnya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan
mayoritas; dan munculnya tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga
mengorbankan mereka yang sesungguhnya adalah korban kekerasan, serta semakin
banyak kelompok moderat yang mengambil sikap diam (the silent majority).
Perlindungan kebebasan beragama
dan berkeyakinan ialah salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi yang
menghormati HAM. Pentingnya prinsip itu juga didasarkan pada kebutuhan
faktual bahwa masyarakat kita sangat majemuk yang terdiri dari berbagai
golongan, seperti tecermin dalam agama dan kepercayaan yang plural di
masyarakat.
Sebagai fundamen yang membentuk
bangsa ini, menjaga dan melindungi kemajemukan itu sebagai hal yang mutlak.
Tidak sekadar pengakuan, tapi juga kepastian semua entitas memiliki ruang
yang sama untuk hidup dan berkembang.
Keputusan MK memberikan
pengharapan yang luar biasa bagi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap penghayat kepercayaan dan juga pengaut agama lain di luar agama
‘resmi’ dan diakui pemerintah. Hal yang lebih penting lagi ialah bagaimana
peran aparatur negara dalam menghapus semua bentuk diskriminasi tersebut.
Sudah menjadi kewajiban negara
untuk menjamin, melindungi, dan memastikan setiap warga negara bisa menikmati
hak-haknya, termasuk hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kewajiban itu
harus dijalankan aparaturnya, baik di pusat maupun di daerah. Salah satu
institusi negara yang sangat penting untuk melindungi hak ini adalah
kepolisian, sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam penanganan
urusan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar