Instrumentalisasi
SARA dalam Pilkada
W Wempy Hadir ; Direktur Eksekutif Indopolling Network, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 November 2017
DINAMIKA politik menjelang
pilkada di Indonesia selalu mengalami fluktuasi. Hal ini terjadi sejalan
dengan momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar serentak pada
beberapa wilayah di Indonesia. Misal pada 2017, terdapat 7 provinsi, 18 kota,
dan 76 kabupaten yang melakukan pilkada. Dalam pelaksanaan pilkada terdapat
berbagai tantangan sekaligus hambatan yang terjadi. Sebut saja persoalan SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan) masih menjadi isu yang empuk untuk
digunakan mendulang dukungan publik. Akibatnya, rakyat mengalami fragmentasi
secara politik. Hal itu menjadi tantangan bagi kita dalam membangun demokrasi
yang rasional sehingga melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas dan
inklusif.
Instrumentalisasi SARA dalam
pilkada bukan isu baru, bahkan di negara maju sekalipun, SARA menjadi
primadona dalam menggalang dukungan publik. Kita mengambil contoh dalam
pemilihan presiden AS beberapa waktu lalu. Setiap capres mencoba membangun
sentimen suku dan agama dalam menggalang dukungan publik. Artinya
menghilangkan sentimen SARA dalam sebuah kontestasi politik tidak mudah.
Butuh kerja sama elite dan elemen lainnya. Lalu bagaimana peran parpol
membangun demokrasi yang rasional?
Demokrasi dan pendidikan ibarat
sebuah koin yang kedua sisinya tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi.
Demokrasi tanpa pendidikan bisa melahirkan demokrasi prosedural semata. Hal
itu mengandaikan adanya kontestasi tanpa memikirkan kualitas kontestasi itu.
Dengan demikian, tidak mengherankan ketika pemilihan menghasilkan pemimpin
yang tidak mampu menerjemahkan program kerja dalam sebuah kertas kerja
konkret alias bisa diimplementasikan.
Demokrasi dengan tingkat
pendidikan yang baik tentu bisa menciptakan demokrasi rasional. Hal itu
ditandai adanya dialog atau diskursus atas kebijakan publik yang diusung berbagai
calon kepala daerah dalam setiap kontestasi. Dialog itu sangat penting
sehingga ada pertukaran informasi. Dialog juga mendorong masyarakat bisa
memberikan penilaian apakah program yang disampaikan calon kepala daerah itu
masuk akal. Masyarakat yang bernalar tentu bisa membedakan.
Oleh sebab itu, momentum
pilkada serentak pada 2018 yang akan diikuti 17 provinsi, 39 kota, dan 115
kabupaten harus menjadi kesempatan membangun demokrasi yang rasional tanpa
menggunakan sentimen SARA. Jika masih menggunakan sentimen SARA, akan terjadi
polarisasi dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi itu tidak memberikan
vitamin positif bagi kehidupan masyarakat, tetapi menjadi masalah baru dalam
membangun demokrasi yang sehat. Sudah saatnya calon kepala daerah mengajukan
gagasan yang brilian kepada publik. Jika publik berpikir gagasan calon masuk
akal, pikiran itu akan terkonfirmasi melalui dukungan. Demikian sebaliknya,
jika program yang diusung tidak masuk di akal, tentu tidak mendapatkan
dukungan signifikan.
Demokrasi yang rasional
mengindikasikan demokrasi yang mengedepankan pertarungan gagasan terbaik
untuk membangun sebuah daerah. Dengan demikian, pemimpin yang terpilih ialah
pemimpin yang betul-betul berdasarkan sebuah proses rasional dan mampu
mempertanggungjawabkan semua program dalam bentuk implementasi yang nyata.
Lalu bagaimana dengan peran parpol?
Peran parpol
Secara kuantitatif, parpol di
Indonesia tumbuh subur dari waktu ke waktu. Pertumbuhan parpol ini secara
matematis memberikan kemudahan dalam melakukan pendidikan politik bagi
masyarakat. Pendidikan politik bagi masyarakat merupakan salah satu fungsi
yang melekat dalam diri setiap parpol. Kalau semua parpol menjalankan fungsi
mereka, negara ini menuju ke negara yang matang secara politik.
Namun, pertanyaannya, apakah
parpol sudah menjalankan fungsi pendidikan politiknya? Menurut pendapat saya,
parpol perlu berbenah diri. Tidak sekadar hadir saat kontestasi politik.
Parpol mesti melakukan fungsi pendidikan politik sehingga mampu mengusung
kader yang matang.
Fakta yang terjadi saat ini,
parpol pada titik tertentu mengalami krisis kader. Pada gilirannya mereka
mendukung kader yang bukan dididik secara baik dalam partai itu, tetapi
mengambil kader di luar parpol. Karena itu, konsekuensinya, kader yang bukan
lahir dan berproses dalam parpol akan mengalami kesulitan menjalankan
kekuasaan. Kesulitan yang dimaksud ialah adanya perbedaan pandangan dalam
membangun sebuah daerah. Oleh karena itu, parpol mesti intens melakukan
pendidikan politik jika tidak ingin kehilangan dari radar konstetasi politik
di setiap tingkatan baik pilkada, pileg, maupun pilpres.
Pendidikan politik menjadi roh
penting dalam membangun demokrasi sehat dan rasional. Coba dibayangkan saja,
kalau parpol tidak melakukan pendidikan politik, yang terjadi ialah lahirnya
pemimpin yang tidak matang secara politik dan ideologi, dan bisa membawa
dampak buruk dalam membuat kebijakan publik.
Parpol sebagai lembaga inklusif
mesti menjadi garda terdepan memastikan kontestasi dalam pilkada mengedepankan
nalar dan logika rasional daripada menggunakan sentimen SARA yang hanya
membawa dampak polarisasi dalam masyarakat. Kita tidak ingin ada fragmentasi
politik dalam masyarakat. Apalagi, dalam waktu bersamaan kita akan menghadapi
pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada 2019 yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar