Rabu, 22 November 2017

Mati Ketawa Cara Setya Novanto

Mati Ketawa Cara Setya Novanto
J Kristiadi ;  Peneliti Senior CSIS
                                                    KOMPAS, 21 November 2017



                                                           
“Ketua DPR Setya Novanto menghindari langkah hukum mempertontonkan sikap tidak terpuji dari seorang pejabat negara terhadap rakyat dan hukum”.

Jusuf Kalla, “Kompas”, Minggu (19/11).

Respons publik terhadap siasat Setya Novanto yang berkelit dari incaran Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mempertanggungjawabkan dugaan skandal megakorupsi KTP elektronik menimbulkan beragam reaksi. Tidak sedikit yang meradang, geram, gemas, jijik, uring-uringan, serta kesal, sebagaimana diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada kutipan di atas.

Beberapa hari sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyarankan kepada Novanto agar mengikuti hukum. Namun, dapat dipastikan banyak anggota masyarakat terpingkal-pingkal sampai terjungkal menyaksikan episode serial akrobat dan drama komedi, terutama episode saat Novanto dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu, dan kemudian kecelakaan tunggal menabrak tiang lampu pada Kamis malam lalu.

Ekspresi publik di media sosial menunjukkan skenario viktimisasi diri sebagai kemanjen (bahasa Jawa), jampi-jampi yang pernah mujarab, kini sudah usang, dicoba didaur ulang secara sembarangan sehingga rakyat merasa dibodohi habis-habisan. Spekulasi skenario loyalis Novanto mengharapkan klimaksnya, adalah yang bersangkutan dinyatakan “gegar otak” dan mengalami amnesia permanen. Namun, yang terjadi antiklimaks.

Setelah peristiwa tabrak tiang lampu, yang bersangkutan diperiksa penyidik sebagai tersangka dan kemudian ditahan di Rumah Tahanan KPK pada Senin (20/11) dini hari. Ajaibnya, setelah Novanto diperiksa, ia sanggup bangkit dari rasa sakit dan berdiri tegak seakan siap sepenuh hati untuk diadili.

Karena itu, alih-alih masyarakat bersimpati dan iba menyaksikan peristiwa itu, jurus itu justru menjadi bahan tertawaan publik. Media sosial dihujani sindiran, mulai dari mereka yang sakit hati sampai foto-foto yang membuat geli. Memang, tertawa dan humor dekat dengan politik. Misalnya, tahun 1980-an beredar buku yang sangat terkenal berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (Dolgopolova (ed); 1982), yang merupakan kumpulan cerita kegelisahan rakyat Uni Soviet terhadap para elite politiknya.

Mungkin tahun mendatang akan terbit buku sejenis yang merangkai drama perpaduan komedi dan tragedi yang mengekspresikan kegelisahan rakyat Indonesia terhadap perilaku koruptor yang sudah kehilangan urat malunya. Dalam studi filsafat, humor adalah fenomena kemanusiaan yang mempunyai fungsi kritik sosial, maka mempunyai signifikansi sosial. Ketika ketegangan politik, sosial, dan budaya tidak mereda, humor menjadi salah satu senjata dan pelarian sosial. Ketika hasrat berkuasa menggebu-gebu, kebutuhan akan tertawa jadi penting (Henri Bergson, 1914, Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic, terjemahan Cloudesley Brereton & Fred Rothwell).

Menghadapi kasus dugaan korupsi yang hampir menyentuh angka Rp 3 triliun, Novanto harus memusatkan perhatian pada megaskandal korupsi tersebut dengan sikap kesatria. Hanya dengan bersikap jantan dan perwira, ia dapat mengembalikan harga diri dan martabat pribadinya. Bersedia menjadi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator), merupakan pilihan bijaksana, karena akan memberikan kontribusi bagi pemberantasan korupsi politik serta mewujudkan kehidupan politik yang bermartabat.

Agenda berikutnya adalah konsolidasi. Namun, konsolidasi tidak dilakukan alakadarnya, apalagi disertai siasat adu cerdik berebut kekuasaan. Kekhawatiran terjadinya pertarungan elite sudah tercium sejak dini. Karena itu, Partai Golkar sebagai partai kelas atas tentu banyak yang berkepentingan, terutama menghadapi Pilkada 2018 dan Pemilu Serentak 2019. Hampir dapat dipastikan setelah Novanto menjadi urusan KPK, baik mereka yang berpandangan harus taat hukum-dengan harapan Novanto bersedia mengundurkan diri-maupun mereka yang diam-diam membela Novanto akan berkompetisi merebut Partai Golkar sebagai bagian dari kekuatan dalam pertarungan kekuasaan dua tahun ke depan.

Oleh karena itu, konsolidasi harus mampu menemukan kembali roh dan cita-cita partai, yaitu merawat dan memuliakan kebinekatunggalikaan dan berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila serta berkarya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Agenda ini sangat mendesak mengingat partai berlambang beringin itu semakin tidak berdaya memihak rakyat karena dicengkeram kekuatan kapital dan dikendalikan oleh para pembiak kekuasaan (political entrepreneur). Gagasan besar itu semakin kabur karena tertutup oleh limbah polusi hasrat kuasa yang nyaris menghalalkan cara. Karena itu, konsolidasi harus komprehensif, yaitu meliputi konsolidasi ideologi, wawasan, dan organisasi.

Dalam melakukan konsolidasi sebaiknya juga mengikutsertakan semua unsur yang masih mempunyai komitmen terhadap kejayaan Partai Golkar, termasuk tokoh-tokoh senior, sesepuh, dan pendiri. Mereka tersingkir dari Partai Golkar karena kekuatan sosial politik yang didirikan tahun 1960-an itu semakin dicengkeram oleh kapital.

Karena itu, skandal megakorupsi yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar dan sekaligus Ketua DPR itu harus dijadikan momentum kembalinya Partai Golkar sebagai pembela Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, serta mampu menyejahterakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar