Sabtu, 04 November 2017

Kota Welas Asih

Kota Welas Asih
Haidar Bagir  ;   Pendiri Gerakan Islam Cinta
                                                    KOMPAS, 03 November 2017



                                                           
“Di Jakarta semua jauh, bahkan surga pun jauh”, “Jakarta lebih kejam dari ibu tiri”, dan macam-macam lagi celoteh orang tentang kekerasan dan sifat egoistis atawa individualistis di ibu kota negeri kita ini.

Orang-orang yang berkelebihan pun merasa tak nyaman, apalagi penduduk Jakarta yang lebih kurang beruntung. Sudah bukan soal yang perlu diperdebatkan bahwa orang-orang miskin di kota-kota besar seperti Jakarta mengalami penderitaan berlipat ganda dibandingkan dengan orang-orang miskin di kampung-kampung dan desa-desa.

Di kampung, orang-orang miskin masih terpantau dan terdukung oleh kedekatan dan pergaulan yang relatif akrab antarsesama warga dan semangat gotong royong antarmereka. Tidak demikian halnya dengan orang- orang miskin di kota besar. Bukan saja mereka termarginalisasi secara ekonomi, mereka pun jadi kasta yang terabaikan di tengah deru dan ingar-bingar pembangunan fisik kota.

Boleh jadi kesusahan mereka tak terlihat atau yang lain sudah tak peduli atau setidaknya sebagian sudah habis pikiran dan tenaganya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri yang tak kalah ruwetnya. Yang miskin harus membanting tulang untuk memenuhi sekadar kebutuhan subsistensi belaka, sedangkan yang berlimpah harus menghadapi banyak kesulitan yang tak begitu saja bisa diatasi dengan keberlimpahan mereka.

Kesepian sosial

Persoalan absurditas dan krisis makna kehidupan menimpa warga perkotaan. Bukan saja akibat filosofi penguasaan atas segala sesuatu, yang bercampur egoisme yang menguras semua energi psikologis, juga persaingan yang menekan, renggangnya hubungan keluarga karena langkanya waktu kebersamaan, hingga ancaman moral yang bisa setiap saat menimpa anak-anak mereka. Maka, bukan saja orang-orang susah dan miskin kota menjadi terabaikan, bahkan para warga yang berkelimpahan pun merasakan depresi dan kesepian dalam kerumunan pergaulan yang mengitari mereka. Maka, kota sebesar dan semaju Jakarta pun bisa menjadi panggung drama gemerlapan dengan banyak kisah yang menyedihkan.

Padahal, seperti diungkapkan PBB, sejak 2006 setiap hari seorang bayi dilahirkan di rumah sakit di perkotaan atau seorang migran terdesak sehingga harus pindah ke kota-kota besar, seperti Jakarta. Diramalkan pada saatnya setidaknya separuh penduduk dunia akan tinggal di kota-kota. Pada 2030, penduduk perkotaan diramalkan akan mencapai sedikitnya 5 miliar orang. Mereka berupaya memburu sumber daya di kota-kota besar yang memang menyimpan kekayaan ketimbang kemiskinan yang ada di desa asal mereka.

Padahal, jika seseorang menilai pencapaian kebahagiaan dengan tingkat kekayaan belaka, setengah abad terakhir seharusnya merupakan saat yang membahagiakan bagi orang-orang di AS dan negara-negara kaya lainnya. Nyatanya, sebagai contoh, Inggris bertambah kaya lebih dari 40 persen pada 1993-2012, tetapi tingkat gangguan kejiwaan dan neurosis di negeri itu malah meningkat.

Satu tim ekonom Italia, yang dipimpin oleh Stefano Bartolini, pada 2008 menemukan bahwa faktor paling kuat yang bertanggung jawab atas kebahagiaan manusia adalah menurunnya modal sosial di negara tersebut, yaitu melemahnya jaringan sosial dan interaksi yang seharusnya membuat kita tetap terhubung dengan orang lain. Tidak ada yang lebih buruk bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis ketimbang kesepian sosial. Semakin terhubung kita dengan keluarga dan masyarakat, semakin besar kemungkinan kita mendapatkan kebahagiaan.

Maka, jadi relevan gagasan semacam compassionate cities yang dilancarkan oleh organisasi Compassionate Action International, besutan Karen Amstrong, pemikir dan penulis isu-isu keagamaan kondang itu. Dengan sangat kreatif, Amstrong mendefinisikan kota welas asih sebagai kota “yang warganya selalu resah…” Ajaib? Tidak!

Dalam suatu kota welas asih, setiap warga selalu resah karena tahu dan prihatin pada kesusahan sesama warga miskin atau terasing, yang mereka tahu ada di kota mereka. Karena kepedulian mereka itu, mereka akan secara bersama-sama mencari cara apa pun untuk memastikan bahwa mereka bisa membantu kesulitan sesama warga yang kurang beruntung itu. Hasilnya adalah suatu kesatuan warga yang dicirikan oleh melemahnya egoisme individualistik yang digantikan sifat selflessness, semangat kesukarelaan, gotong royong, dan kemandirian.

Jangan cuma teori

Persoalannya, bagaimana cara mengembangkan kota welas asih? Sebelum yang lain-lain, harus ada kesadaran di pihak pemerintahan kota dan masyarakat akan perlunya pembangunan sikap sosial dalam bentuk pengembangan budaya welas asih di tengah warga.

Cara tradisionalnya bisa saja berupa pendidikan karakter atau budi pekerti, internalisasi nilai-nilai Pancasila, ataupun revitalisasi nilai-nilai spiritual dan budaya asli daerah. Mediumnya bisa lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, ataupun informal, termasuk melalui organisasi-organisasi di unit kewargaan terendah, seperti RT/RW ataupun kecamatan, tak terkecuali organisasi-organisasi remaja, ibu-ibu, dan sebagainya.

Tentu saja juga bisa lewat lembaga keagamaan, khususnya masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya. Sebab, bukankah pada puncaknya agama dan budaya memang adalah soal kemanusiaan, kepemilikan sifat welas asih, dan membantu orang susah? Ringkasnya, harus dijaga adanya wacana atau percakapan tentang budaya welas asih di tengah masyarakat, lewat berbagai cara yang mungkin.

Akan tetapi, semua ini tak akan efektif jika hanya dibatasi pada wacana teoretis yang tak disertai praksis. Semua gagasan itu harus dikawinkan dengan praktik amal-amal baik kolektif oleh pemerintah bersama warga, yang diupayakan lahir dari semangat tanpa pamrih, solidaritas, dan kolaborasi yang produktif di antara mereka.

Pembangunan fasilitas-fasilitas fisik yang menimbulkan kenyamanan dan memungkinkan komunikasi dan keterhubungan warga kota pada akhirnya juga penting bagi kesejahteraan psikologis warganya. Terbukti, misalnya, kota dengan ruang-ruang publik dan taman-taman yang cukup, yang asri dan jadi tempat berkumpul bagi warga dan kompleks perumahan yang tak dibatasi tembok-tembok tinggi, ikut menentukan kebahagiaan warga. Juga pusat-pusat seni dan budaya, perpustakaan umum yang terjangkau, pusat pelayanan publik yang ramah dan berbiaya rendah, pusat-pusat kebajikan bagi warga yang kesusahan, serta fasilitas-fasilitas pelayanan pada warga berkebutuhan khusus, serta fasilitas publik yang nyaman bagi orang untuk bersepeda dan berjalan kaki.

Bukan saja keterlibatan nyata ini akan dapat melahirkan keyakinan terhadap makna dan guna kebaikhatian dan kebersamaan, ia juga akan dapat memperkuat kembali keyakinan akan kelayakan dan keberlanjutan cara hidup penuh welas asih. Sesuatu yang mungkin sudah tergerus akibat gaya hidup individualis ala kota besar yang telah telanjur berurat berakar selama beberapa dekade belakangan ini.

Sebuah kerja besar, memang, tetapi tak kurang dari kesejahteraan hidup warga Jakarta dipertaruhkan di sini. Selamat bekerja Pak Anies dan Pak Sandi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar