Jumat, 03 November 2017

Islam dan Dialog Peradaban untuk Perdamaian

Islam dan Dialog Peradaban untuk Perdamaian
Muhbib Abdul Wahab  ;  Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
                                                 REPUBLIKA, 02 November 2017



                                                           
Belum lama ini Presiden Joko Widodo menunjuk M Din Syamsuddin sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban. Penunjukan ini merupakan langkah strategis pemerintah dalam mempromosikan Islam moderat kepada dunia internasional, di tengah konstelasi global yang penuh kekerasan, konflik, dan perang. Dalam dua bulan terakhir, dunia nyaris diam terkait genosida atas Rohingya.

Tragedi krisis kemanusiaan dan kejahatan perang di Myanmar, Palestina, Suriah, Irak, dan sejumlah negara Timur Tengah semakin membenarkan tesis Samuel Huntington bahwa “setelah Uni Soviet runtuh, 'musuh dan rival utama' Barat adalah Islam".

Benarkah yang terjadi saat ini adalah benturan peradaban antara dunia Islam dan dunia Barat? Apakah ruang dialog peradaban atas nama kemanusiaan sudah tertutup untuk dibangun dan dikembangkan di tengah maraknya kekerasan, konflik, dan terorisme?

Menurut Yusuf al-Qaradhawi (2016), yang terjadi saat ini bukanlah benturan peradaban, melainkan benturan kepentingan. Kapitalisme Barat yang dimotori AS sangat berambisi menancapkan hegemoni politik dan ekonomi di dunia Islam, terutama di Timur Tengah.

Karena, dua per tiga cadangan minyak dunia berada di kawasan ini. Selain itu, negara-negara Islam umumnya masih berminda “ketergantungan teknologi”, khususnya teknologi perminyakan dan militer pada Barat.

Akibatnya, dua kutub kepentingan yang saling memiliki dependensi itu berada dalam situasi konfrontasi. Dunia Islam saat ini, lanjut al-Qaradhawi, perlu mengakui kemajuan dan keunggulan Barat di bidang sains dan teknologi, sembari berupaya keras mengejar ketertinggalan.

Maka itu, menjadi tidak relevan jika Barat dan dunia Islam harus “dibenturkan” dengan kekuatan militer dan perang fisik, meskipun AS dan sekutunya telah menabuh “genderang perang” dan “proyek politik adu domba dan pecah belah” di Afganistan, Irak, Palestina, Suriah, Yaman, dan sebagainya.

Sikap konfrontatif tidak diperlukan dalam menghadapi Barat, karena kekuatan dunia Islam dalam berbagai bidang masih sangat lemah. Alternatif terbaik adalah membangun dialog peradaban dan dialog humanis. Islam adalah agama dialogis.

Islam tidak pernah membenarkan tindakan teror, apa pun modus operandinya. Misi perdamaian ini juga tampak jelas dalam kebijakan Nabi SAW mengirim surat-surat dialogis dengan pemimpin dua super power saat itu, yakni Raja Heraklius dari Romawi dan Kisra Persia.

Sejarah Islam terlalu lama dihiasi “kultur politik” yang cenderung penuh konflik dan intrik perebutan kekuasaan dengan kekerasan. Kita perlu kembali belajar bagaimana umat Islam pada masa al-Khulafa’ al-Rsyidîn mampu hidup berdampingan.

Mereka hidup rukun, dan penuh toleransi dengan umat beragama lainnya di Suriah, Mesir, Palestina, Yordania, dan sebagainya. Umat Islam perlu memiliki kearifan ilmiah seperti pernah ditunjukkan oleh Khalifah al-Makmun dalam pengembangan sains dan teknologi.

Sang khalifah memberdayakan para sarjana Kristen sebagai penerjemah dan peneliti pada Bait al-Hikmah, seperti Hunain bin Ishaq dan Ishaq bin Hunain. Islam dialogis adalah Islam yang mengedepankan keluhuran moral dan intelektual.

Setidaknya, ada tiga prinsip dialog peradaban yang dapat membuahkan tatanan dunia yang adil dan damai. Pertama, keterbukaan dan saling pengertian. Melalui dialog terbuka dan berkesetaraan, umat Islam perlu terus membangun jembatan dialog dengan dunia Barat.

Sikap apriori dan antipati terhadap pihak lain tidak pernah menyelesaikan persoalan. Boleh jadi Barat bersikap “memusuhi” dunia Islam, antara lain, karena belum sepenuhnya memahami dan mengerti hakikat ajaran Islam yang sangat properdamaian.

Fakta menunjukkan, eksistensi Islam di Amerika pascatragedi 11 September justru membuat sebagian warga Amerika semakin tertarik mempelajari dan memahami Islam sehingga tidak sedikit di antara mereka itu kemudian menjadi mualaf.

Kedua, sikap adil dan saling menghormati. Dalam membangun jembatan dialog peradaban, Islam dan Barat belum sepenuhnya bersikap adil dan saling menghormati, baik menghormati eksistensi masing-masing maupun menghormati kedaulatan negara lain.

Jika Barat cenderung mengintervensi dan menerapkan standar ganda terhadap dunia Islam, sebaliknya dunia Islam terkadang kurang mau membuka diri. Dua sikap kontradiktif semacam ini tentu sulit dipertemukan. Jembatan dialog antara dua dunia harus dipertemukan.

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam konteks ini adalah memberdayakan institusi dunia Islam, seperti Rabithah al-‘Âlam al-Islami dan Organisasi Kerja sama Islam agar menunjukkan wibawa dan pengaruhnya terhadap proses dialog peradaban dengan Barat.

Lembaga dunia Islam ini seharusnya mampu melakukan lobi dan diplomasi perdamaian dengan dunia Barat, sehingga dampak kekerasan di kawasan Timur Tengah dapat dieliminasi.

Ketiga, kebersamaan dan saling kemitraan. Pada era digital dan millennial ini, tidak ada satu pun negara yang mampu berdiri sendiri.

Semua negara di dunia saling membutuhkan. Karena itu, dialog peradaban harus diletakkan dalam konteks signifikansi hidup dalam kebersamaan dan saling kemitraan. Jika prinsip ini dapat diwujudkan, niscaya Barat dan Islam tidak pernah berada dalam posisi vis a vis.

Dengan budaya dialog, umat Islam akan terlatih memberdayakan diri sendiri, sehingga umat menjadi tercerahkan, bermartabat, dan berkemajuan. Ketiga prinsip tersebut pada dasarnya merupakan nilai-nilai dasar Islam yang sangat kompatibel dengan sistem demokrasi.

Namun, dalam aktualisasinya, menurut Mohammed ‘Abid al-Jabiri dalam al-Demokratiyyah wa Huqûq al-Insan (2015), dunia Islam masih mengalami kendala psikis dan mental dalam berdemokrasi. Ini disebabkan kultur transisi.

Baik dari kultur pascakolonialisme menuju kultur merdeka maupun dari kultur politik otoriter menuju politik demokratis. Menarik dicatat, mentalitas inferior yang dialami sebagian besar negara di dunia Islam akibat penjajahan Barat menjadi salah satu kendala untuk menerima demokrasi yang notabene berasal dari Barat.

Dengan demikian, dialog peradaban dalam konteks nilai-nilai demokrasi substantif perlu diorientasikan kepada aktualisasi persamaan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, dan keharmonisan dalam berbangsa dan benegara.

Untuk aktualisasi dialog peradaban dalam rangka demokrasi substantif itu, umat Islam perlu berkomitmen memiliki kesadaran dan kebangkitan Islam. Kebangkitan ini hanya dapat dilakukan melalui sinergi iman, ilmu, dan amal saleh secara terpadu.

Kata kuncinya adalah tetap kembali menjadikan Alquran dan as-Sunnah sebagai referensi utama dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya secara demokratis, sambil terus belajar dan bekerja cerdas memajukan sains dan teknologi dengan.

Dengan dialog peradaban untuk perdamaian, dunia Islam tidak hanya belajar nilai-nilai positif dari mana pun asalnya, tetapi juga melejitkan kesadaran bersama bahwa Islam sejatinya tidak pernah memusuhi demokrasi dan kemajuan.

Dunia Islam harus senantiasa berkolaborasi dengan pihak mana pun dalam membangun dialog peradaban humanis untuk perdamaian abadi di dunia. Dengan dialog peradaban humanis, krisis Rohingya dan dunia Islam niscaya dapat dicarikan solusinya.

Dalam konteks inilah, peran strategis dan kontribusi positif Indonesia melalui utusan khusus di bidang dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban menjadi taruhan, sekaligus harapan baru untuk perdamaian dunia yang berkeadilan, bermartabat, dan berkemajuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar