Selasa, 21 November 2017

Anies Baswedan, Ananda Sukarlan, dan Sikap Kekanakan

Anies Baswedan, Ananda Sukarlan,
dan Sikap Kekanakan
Abdullah Sammy ;  Jurnalis Republika
                                                 REPUBLIKA, 16 November 2017



                                                           
Akhir-akhir ini kata boikot ramai menghiasi jagad sosial media. Ini tak terlepas aksi seorang komposer bernama Ananda Sukarlan di tengah acara perayaan HUT almamaternya, sekolah Kanisius.

Boikot yang dilakukan sang pianis nyatanya merupakan cermin dari ketidaksetujuannya pada sosok gubernur DKI, Anies Baswedan. Anies dinilai Ananda sebagai sosok yang memakai segala cara untuk meraih kursi kuasa, bahkan dengan menyeret sentimen SARA.

Itu semua dinilai oleh kepala dan emosi seorang Ananda sebagai bentuk sikap yang tak sesuai dengan ajaran Kanisius. Karena itu, Ananda memilih meninggalkan ruangan ketika Anies mulai berpidato.

Di sisi lain Anies berpidato bukan atas permintaan pribadinya. Sebaliknya sang gubernur diundang resmi dan diminta berpidato oleh pihak Kanisius. Anies pun menghormati undangan itu untuk hadir dan berpidato. Ternyata yang diterima Anies saat berpidato adalah aksi boikot dari sebagian besar hadirin.

Boikot dari alumni Kanisius, terutama Ananda , menjadi bayaran yang harus diterima Anies yang berstatus undangan resmi. Ada yang menyebut aksi itu sebagai ekspresi politik dan buah dari sakit hati di Pilkada DKI. Saya sendiri tak mau buru-buru menarik kesimpulan atas aksi boikot Ananda dan kawan-kawannya.

Yang jelas aksi boikot sejatinya merupakan budaya yang kerap terjadi akhir-akhir ini di tengah masyarakat. Saya ingin terlebih dahulu menarik jauh soal boikot pada konteks sejarah.

Boikot sejatinya sebuah kata dalam kamus bahasa Inggris yang diambil dari nama seorang mandor tanah di daratan Inggris Raya bernama Charles Boycott. Pada 1880, di Irlandia terjadi sebuah peristiwa yang disebut Perang Tanah Irlandia. Boycott merupakan orang yang bertanggung jawab mengawasi tanah milik bangsawan bernama Lord Erne di wilayah Lough Mask, Irlandia.

Karena pada 1880 hasil panen di lahan milik Lored Erne buruk, maka sang pemilik tanah menawarkan pemotongan biaya sewa tanah sebesar 10 persen. Para penyewa tanah masih merasa keberatan dan meminta 25 persen pengurangan uang sewa. Erne menolak permintaan itu. Kemudian Kapten Boycott yang merupakan 'mandor' tanah milik Erne mengusir 11 orang penyewa tanah.

Pengusiran itu kemudian menimbulkan perlawanan dari penyewa tanah lain. Mereka kompak untuk tak bekerja dan menolak membayar sewa. Aksi ini diikuti oleh petugas pengantar surat yang enggan mengantar surat kepada Erne atau Boycott. Hampir seluruh pekerja di lahan milik Erne juga enggan bekerja. Usaha Boycott dan Erne akhirnya diisolasi. Kerugian besar harus diterima Erne akibat aksi sang mandor, Boycott.

Reporter New York Tribune, James Redpath kemudian menuliskan kisah itu dalam laporannya pada koran edisi 20 November 1880.

Lepas dari kisah di Irlandia itu, the Times kemudian menciptakan terminologi bahasa baru. Setiap aksi isolasi yang dilakukan secara terencana kemudian disebut dengan istilah boycotted (diboikot) yang berarti dibuat seperti yang dialami Boycott pada November 1880.

Kini, tepat menjelang ulang tahun ke-137 dari penemuan istilah 'boikot' (20 November), terminologi ini ramai dipakai masyarakat Indonesia. Ya, pemantiknya adalah kisah Ananda Sukarlan.

Tapi latarbelakang dari pemboikotan jauh berbeda dengan kisah di Irlandia 1880. Filosofinya atas aksi Ananda pun tak sesuai dengan filosofi boikot sesungguhnya. Sebab yang terjadi pada tahun 1880 adalah usaha untuk mencari ruang diskusi dan keadilan yang setara.

Pada 1880, Charles Boycott dinilai melakukan usaha isolasi usaha secara sepihak kepada 11 penyewa tanpa ada ruang untuk berdiskusi secara setara. Karena alasan itu kemudian isolasi yang sama dilakukan kepada Boycott.

Isolasi itu pun bukan sebagai bentuk usaha untuk mempermalukan pribadi Charles Boycott. Sebaliknya sebagai bentuk perundingan secara tak langsung. Sehingga akhirnya kemudian Boycott mengendurkan sikapnya pada para penyewa tanah.

Nah, yang terjadi kepada Anies sulit diartikan dengan filosofi yang sama. Karena setidaknya aksi yang dilakukan adalah sepihak oleh Ananda tanpa membuka ruang diskusi yang setara. Ananda cs pun seakan sengaja menunggu momentum keluar ruangan saat Anies berpidato.

Jika dia keberatan terhadap sikap Anies, bukankah lebih gentle kalau disampaikan langsung ke yang bersangkutan tanpa harus menunggu dia pulang? Kritik atau bahkan kecaman yang dilakukan saat muka dan muka berhadapan, niscaya jauh lebih konstruktif. Tapi kalau tindakan itu dimaksudkan untuk mempermalukan, maka itu jadi lain soal.

Yang dilakukan Ananda pada Anies malah lebih mirip dengan posisi seorang Boycott keada sang penyewa lahan. Tanpa sempat membuka ruang diskusi, Ananda malah melakukan aksi sepihak. Walhasil kemudian muncul reaksi balik dari para pendukung Anies.

Lucunya aksi balasan dari pendukung Anies malah salah sasaran. Aksi balasan malah menyasar pada Traveloka. Sialnya, pemilik Traveloka Derianto Kusuma dianggap ikut pada aksi boikot pada pidato Anies di Kanisius. Sebab nama Derianto bersanding bersama Ananda selaku penerima penghargaan malam itu. Padahal si empunya Traveloka itu tak ada di lokasi.

Tapi hoax sudah menjadi bubur. Derianto dianggap ikut menginisiasi tindakan 'mengisolasi' Anies sehingga aksi isolasi balasan dilakukan pada usahanya yakni Traveloka. Sehingga muncul kemudian gerakan uninstall pada aplikasi Traveloka yang diserukan dan dilakukan oleh Aniser (pendukung Anies).

Pada poin ini bukan soal hoax-nya yang ingin dijadikan benang merah. Tapi soal aksi dan reaksi yang terjadi akibat tindakan Ananda. Ini layaknya aksi 'boycott' dan kemudian di-'boycott' oleh para penyewa lahan.

Apa pun itu, aksi Ananda malah membuka kembali garis demarkasi yang tegas lepas Pilkada DKI. Sebab bukan rahasia bahwa Ananda adalah pendukung Ahok. Dan ini mengakibatkan munculnya kembali sentimen Pilkada DKI antara kedua kubu. Dan sebagai salah satu tokoh publik di dunia musik, sikap ini jadi kurang elok.

Sebagian besar yang mendukung Ahok pasti memuji tindakan Ananda. Tapi, Anies pun didukung oleh 58 persen warga di DKI. Dan bisa jadi mayoritas pemilih Anies itu marah dengan tindakan Ananda. Walhasil ini tercermin di ranah sosial media di mana aksi Ananda membakar kembali perseteruan Ahoker vs Aniser.

Jika apabila alasan aksi Ananda itu dengan alasan ketidaksetujuannya pada sosok Anies yang dinilai merusak persatuan, maka hal itu jadi paradoks. Sebab aksi yang dilakukan Ananda sebagai tokoh publik juga jauh dari kata menyatukan, malah menebar perseteruan.

Orang pun jadi berpikir sikap Ananda ini bukan sebuah bentuk ideologis tapi emosi belaka. Ini ibarat peristiwa yang kerap terjadi di sepak bola Indonesia. Saat sebuah tim yang sedang kalah dan merasa diperlakukan tidak adil, maka tim itu mogok bertanding dan meninggalkan lapangan begitu saja. Padahal risiko pertandingan adalah menang dan kalah serta kontroversi yang menyulut emosi.

Dan yang terjadi kini memang benar-benar laksana laga sepak bola Liga Indonesia. Yang mana sikap lebih dipengaruhi sentimen sebagai suporter. Tak peduli apakah itu Ahoker atau Aniser.

Mungkin Ahoker dulu juga meradang saat di sejumlah kesempatan Ahok diboikot oleh sejumlah masyarakat. Saya juga masih ingat bagaimana Ahoker dulu nyinyir ketika ada aksi boikot pada sebuah produk roti sebagai bentuk aksi 212. Dan di sisi lain, sebagian yang kini Aniser adalah inisiator dari aksi boikot zaman Ahok itu.

Tapi kini lakon telah beranti. Yang dulu nyiyir karena jagonya diboikot, malah senang bukan kepalang saat sang lawan yang diboikot. Saat Anies yang diboikot, giliran Ahoker yang menjadi dalangnya.

Jadi atas nama logika sehat, jangan bawa kata objektifitas dari semua aksi boikot memboikot ini. Ini bukan bentuk keobjektivan tapi ke-baperan.

Sulit beragumentasi soal nilai ideologis yang termuat dalam setiap tindakan boikot kepada lawan politik. Sebab relasi yang terbangun adalah haters vs fanboy. Semua ini mirip perseteruan antara suporter kesebelasan sepak bola.

Tapi sejauh apa pun fanboy dan haters berseteru di sepak bola, mesti ada titik tengah bernama legawa. Sebab pada akhirnya di setiap pertandingan ada yang menang dan kalah begitu wasit meniup peluit. Meski menang dan kalah dalam sepak bola kerap dibumbui sebuah kontroversi, itu adalah hal yang niscaya dan biasa-biasa saja.

Pun halnya di politik. Dalam pemilu pasti ada silang pendapat dan jual beli artikulasi yang kerap menyulut emosi. Tapi saat palu KPU atau MK sudah mengetuk palunya, maka semua harus menghormatinya secara dewasa.

Tapi apa pun itu sikap Ananda adalah haknya secara pribadi. Sebab menjadi dewasa atau kekanakan adalah sebuah pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar