Menimbang
Efek Puasa
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 02
Juni 2017
DI berbagai forum diskusi keagamaan sering muncul
pertanyaan, mengapa Indonesia yang
warganya rajin meramaikan masjid, ibadah umrah, haji, dan puasa Ramadan,
masih saja mau melakukan korupsi dan lemah dalam etika sosialnya?
Tulisan ini tidak akan memberi jawaban panjang lebar.
Silakan pembaca ikut memikirkannya dan mencari jawaban yang tepat serta
mencarikan jalan keluar.
Dalam ibadah puasa setidaknya terdapat tiga aspek yang
saling berkaitan. Pertama, aspek puasa yang bersifat metafisis, vertikal, sepenuhnya
menuntut respons iman.
Sebuah hubungan yang sangat pribadi antara seseorang dan
Tuhannya. Misalnya pahala orang puasa dan keyakinan bahwa bulan puasa adalah
bulan pembakaran dosa serta pengampunan, itu semua merupakan keyakinan iman.
Evidence ilmiah secara empiris tidak bisa
diukur dan dibuktikan sekarang ini. Pendeknya, orang dituntut untuk
meyakininya sebagai respons iman.
Kedua, dampak terhadap aspek psikologis dan fisik terhadap
individu yang berpuasa. Berkat ilmu kedokteran dan psikologi, aspek ini bisa
diamati dan dibuat instrumen pengukurannya, seperti apakah dampak puasa bagi
kesehatan mental dan fisikal.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian neurosains, berpuasa
selama sebulan akan membantu terjadinya peremajaan sel-sel jaringan otak serta
terjadi semacam detoksifikasi, sehingga kinerja otak lebih tenang dan lebih
jernih berpikir. Kontribusi ilmu kedokteran untuk meneliti dampak puasa sudah
banyak ditulis.
Intinya, puasa itu mendatangkan kesehatan jasmani,
sebagaimana sabda Nabi: Berpuasalah niscaya kamu akan sehat. Begitu juga
halnya hasil kajian ilmu psikologi, mereka yang berpuasa akan lebih bisa
mengendalikan emosi dan memiliki daya juang lebih ketika menghadapi masalah.
Aspek ketiga, yaitu dampak puasa dalam konteks sosial. Ini
juga mudah diamati. Perhatikan saja bagaimana suasana di kantor dan kehidupan
sosial selama Ramadan.
Terjadi perubahan perilaku dan relasi sosial yang
signifikan. Lebih damai, sejuk dan masyarakat lebih mampu menahan diri agar
tidak menciptakan keributan yang akan
merusak kesucian dan kemuliaan bulan Ramadan. Agenda demonstrasi massa pun
biasanya tidak terjadi selama bulan puasa.
Kesan saya mendengarkan berbagai ceramah keagamaan,
umumnya yang ditekankan adalah puasa merupakan bulan pembakaran dan pengampunan
dosa. Dalam bahasa Arab, kata ramadhan memang punya konotasi pembakaran.
Tetapi jika penekanannya hanya pada aspek metafisiknya,
yaitu bulan pahala dan ampunan, maka Ramadan seakan menjadi bulan penebusan
dosa yang terakumulasi selama sebelas bulan sebelumnya. Nanti setelah
berakhir puasa ditandai datangnya hari Lebaran. Artinya tugas berat sudah
usai dilakukan, lalu masuk agenda rutin seperti sedia kala.
Di sini muncul kesan, puasa itu sebuah siklus pengulangan,
bukan sebuah proses metamorfosis untuk naik kelas, ibarat ulat berproses
menjadi kupu-kupu. Padahal jika dikaji rangkaian ayat tentang perintah
berpuasa, juga berbagai sabda Rasulullah, maka aspek puasa mesti berlanjut
pada pembentukan pribadi dan masyarakat yang tahan godaan terutama dari
korupsi yang tak kunjung surut pertumbuhannya.
Salah satu kata kunci puasa adalah imsak. Kemampuan
menahan diri dari rayuan kenikmatan fisik (physical pleasure) sesaat yang merusak aset kebaikan lebih besar.
Pesan imsak ini berlaku universal. Kalau saja dilaksanakan dengan konsisten,
dampaknya mudah diamati serta diuji.
Seseorang atau bangsa yang
maju ekonominya pada umumnya memiliki ketahanan mental untuk
membiasakan hidup hemat, tidak mudah tergoda menghamburkan uang untuk membeli
gaya hidup glamour. Tidak senang hidup foya-foya.
Ceramah-ceramah Ramadan mestinya juga menekankan urgensi
pembentukan karakter, berangkat dari kesalehan pribadi menuju kesalehan
sosial, politik, dan birokrasi. Saya pernah baca sebuah buku, lupa persisnya
judul dan pengarangnya, bahwa keberagamaan yang lebih menekankan ritual
sebagai lembaga atau sosok penebusan dosa, akan membuat etika sosialnya
lembek karena merasa berbagai salah dan dosa yang dilakukan akan mudah
dihapus cukup lewat ritual.
Dosa sosial-horizontal diselesaikan dengan formula
ritual-vertikal. Asumsi atau sinyalemen ini menarik direnungkan.
Jangan-jangan sebagian pejabat negara yang rajin umrah, puasa, dan haji
tujuan utamanya adalah untuk penebusan dosa-dosa politiknya, termasuk dosa
korupsi.
Perlu ditegaskan di sini, tak ada yang salah seseorang
melakukan ritual untuk minta ampun pada Tuhan. Tapi perlu juga diingat bahwa
berapa banyak ayat-ayat Alquran dan sabda Nabi yang mengajarkan bahwa iman
itu mesti berlanjut pada pembentukan karakter serta bertindak jujur dan adil
ketika memangku amanat jabatan publik.
Makanya perlu dibuat pembedaan antara sin dan crime. Yang
pertama lebih bersifat pribadi dan vertikal, yang kedua adalah kejahatan
horizontal di mana sikap Islam sangat tegas dan jelas hukumannya.
Asumsi di atas mungkin juga membantu menjelaskan, mengapa
banyak negara sekuler dan kafir tingkat korupsinya rendah. Karena hukumannya
langsung dijatuhkan di dunia melalui lembaga pengawasan dan pengadilan yang
tegas, tidak mesti menunggu di akhirat, sehingga orang lain mesti berpikir
ulang kalau mau korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar