Surat
Terbuka untuk Presiden Jokowi
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 04 Januari
2017
Kepada
YM Presiden Joko Widodo
Melalui
surat terbuka, kolom ini menyampaikan Selamat Tahun Baru 2017 kepada Bapak,
memasuki tahun ketiga masa kekuasaan demokratis ketika sebagai kepala negara
membentuk landasan ”100 bunga berkembang, 100 aliran bersuara”. Banyak yang
terjadi dalam dua tahun ini, dalam dan luar negeri, dan Bapak Presiden sudah
melakukan kontemplasi di Istana Bogor pada malam Tahun Baru kemarin.
Sepanjang
2016, banyak perubahan terjadi dalam skala nasional, regional, dan global
yang berdampak langsung terhadap kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Pertumbuhan pembangunan Indonesia pun tak seburuk yang dibayangkan banyak
orang, masih 5 persen hingga 5,1 persen yang tetap lebih baik daripada
negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika Utara.
Di
sisi lain, perilaku internasional Indonesia perlu perhatian sendiri,
mengingat banyaknya titik panas yang berpotensi menjadi konflik terbuka yang
ganas, melibatkan negara besar yang tidak saling dominan, seperti Amerika
Serikat, Rusia, RRT, Turki, atau India. Fenomena ini diikuti meningkatnya
perilaku populisme kiri dan kanan di banyak negara demokratis, menghadirkan
nasionalisme yang tinggi dan xenofobia yang berlebih di tengah keterbukaan
globalisasi.
Masalah
ini menjadi ancaman langsung cita-cita Indonesia, seperti tertuang dalam
Mukadimah UUD 1945, Bapak Presiden, untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Populisme
lahir bukan karena sistem politik demokrasi yang dianut kebanyakan negara
sekarang ini, melainkan karena ketidaksetaraan yang menyebabkan munculnya
kecemburuan sosial, kedengkian etnis dan kepercayaan, serta anti kemapanan.
Populisme
ekstrem kanan menghasilkan berbagai ketidakpuasan dan unjuk rasa berbentuk
Occupy Wall Street, ”We Are the 99 Percent” dan gerakan 15 M anti pengetatan
ekonomi di Spanyol, membentuk spektrum politik ekstrem dalam wahana Tea Party
di AS, Front Nasional di Perancis, Pegida di Jerman. Mereka memiliki
pemikiran dan pandangan sama, marah pada apa yang dirasakan mengambil
keuntungan atas biaya mereka.
Di
ekstrem kiri, populisme menjadi kemarahan pada mereka yang sangat kaya dan
semakin kaya yang hidup di rumah 50 juta dollar AS, mengadakan perkawinan
sampai 10 juta dollar AS, menginap di kamar-kamar 10.000 dollar AS per malam
ketika liburan. Kemarahan populisme kanan ditujukan kepada para imigran yang
mampu bersaing menghadapi buruh lokal serta mengancam kebudayaan dan gaya
hidup mereka.
Dalam
suasana global seperti ini, ada faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama,
perlunya peran aktif Indonesia menjadi sosok inti dalam menjaga sentralisme
di Asia Tenggara. Kedua, diplomasi ekonomi Indonesia harus dipersepsikan
sesuai kepentingan nasional dan saling menguntungkan, bukan berdasarkan
kondisi transaksional dikendalikan kekuatan kekuasaan atau pengusaha. Dan
ketiga, menebalkan peran diplomasi Indonesia di berbagai forum internasional,
termasuk menempatkan diplomat-diplomat ulung di PBB maupun ikut ambil bagian
penyelesaian konflik, seperti di Suriah atas nama kemanusiaan bagi
terciptanya perdamaian dan keadilan.
Kolom
ini, Bapak Presiden, adalah refleksi pandangan internasional tentang
persoalan dunia. Sistem internasional modern memiliki ciri tidak seimbangnya
kekuatan militer di berbagai kawasan, menghasilkan wilayah-wilayah tidak
terpetakan dalam tata internasional. Sejak masa kejayaan Sriwijaya dan
Majapahit, Nusantara yang kita tempati memiliki kemampuan dalam mengelola
dinamika kesetimbangan kawasan karena kebijakan para pemimpinnya. Terima
kasih, Bapak Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar